Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami
Fa.
Maret 30, 2018
0 Comments
ROBOHNYA
SURAU KAMI
Karya AA. Navis
Kalau
beberapa tahun yang
lalu Tuan datang
ke kota kelahiranku
dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di
dekat pasar. Maka
kira-kira sekilometer dari
pasar akan sampailah
Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecilke kanan,
simpang yang kelima,membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di
ujung jalan nanti
akan Tuan temui
sebuah surau tua.
Di depannya ada
kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah
pancuran mandi.
Dan
di pelataran kiri
surau itu akan
Tuan temui seorang
tua yang biasanya
duduk di sana dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya
beribadat. Sudah bertahun-tahun ia
sebagai garin, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag
surau, Kakek tidak mendapat apa-apa.
Ia hidup dari
sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat.
Sekali enam bulan
ia mendapat seperempat
dari hasil pemungutan
ikan mas dari kolam
itu. Dan sekali
setahun orang-orang mengantarkan
fitrah Id kepadanya. Tapi
sebagai garin ia tak begitu
dikenal. Ia lebih
di kenal sebagai
pengasah pisau. Karena
ia begitu mahir
dengan pekerjaannya itu. Orang-orang
suka minta tolong
kepadanya, sedang ia
tak pernah minta
imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan
yang minta tolong
mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai
imbalan. Orang laki-laki
yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang
uang. Tapi yang
paling sering diterimanya
ialah ucapan terima
kasih dan sedikit senyum.
Tapi
kakek ini sudah
tidak ada lagi
sekarang. Ia sudah
meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya. Hingga
anak-anak menggunakannya sebagai
tempat bermain, memainkan
segala apa yang disukai
mereka. Perempuan yang
kehabisan kayu bakar,
sering suka mencopoti
papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran
yang mengesankan suatu kesucian yang
bakal roboh. Dan
kerobohan itu kian
hari kian cepat
berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di
dalamnya, secepat perempuan
mencopoti pekayuannya. Dan
yang terutama ialah
sifat masa bodoh manusia sekarang, yang takhendakmemelihara apa yang
tidak di jaga lagi.
Dan
biang keladi dari
kerobohan ini ialah
sebuah dongengan yang
tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari
aku datang pula
mengupah Kakek. Biasanya
Kakek gembira menerimaku,
karena aku suka memberinya
uang. Tapi sekali
ini Kakek begitu
muram. Di sudut
benar ia duduk
dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya.
Pandangannya sayu ke
depan, seolah-olah ada sesuatu
yang yang mengamuk
pikirannya. Sebuah belek
susu yang berisi
minyak kelapa, sebuah asahan
halus, kulit sol
panjang, dan pisau
cukur tua berserakan
di sekitar kaki
Kakek. Tidak pernah aku
melihat Kakek begitu
durja dan belum
pernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu.
Kemudian aku duduk
disampingnya dan aku
jamah pisau itu.
Dan aku tanya
Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat
Ajo Sidi, si pembual itu.Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin
ketemu dia lagi.
Aku senang mendengar
bualannya. Ajo Sidi
bisa mengikat orang-orang dengan bualannya
yang aneh-aneh sepanjang
hari. Tapi ini
jarang terjadi karena
ia begitu sibuk dengan
pekerjaannya. Sebagai pembual,
sukses terbesar baginya
ialah karena semua
pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi
model orang untuk
diejek dan ceritanya
menjadi pameo akhirnya. Ada-ada
saja orang-orang di
sekitar kampungku yang
cocok dengan watak
pelakupelaku ceritanya. Ketika
sekali ia menceritakan
bagaimana sifat seekor
katak, dan kebetulan
ada pula seorang yang
ketagihan menjadi pemimpin
berkelakuan seperti katak
itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami
sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku
ingat lagi pada Kakek dan
kedatang Ajo Sidi
kepadanya. Apakah Ajo
Sidi telah membuat bualan
tentang Kakek? Dan
bualan itukah yang
mendurjakan Kakek? Aku
ingin tahu. Lalu aku tanya
Kakeklagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini,
yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya,
kalau aku masih
muda, tapi aku
sudah tua. Orang
tua menahan ragam.
Sudah lama aku tak
marah-marah lagi. Takut
aku kalau imanku
rusak karenanya, ibadatku
rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat,
bertawakalkepada Tuhan. Sudah begitu lama
aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang
sabardan tawakal."
Ingin
tahuku dengan cerita
Ajo Sidi yang
memurungkan Kakek jadi
memuncak. Aku tanya
lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi
Kakek diam saja.
Berat hatinya bercerita
barangkali. Karena aku
telah berulang-ulang bertanya, lalu
ia yang bertanya
padaku, "Kau kenal
padaku, bukan? Sedari
kau kecil aku
sudah disini. Sedari mudaku,
bukan? Kau tahu
apa yang kulakukan
semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah
semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi.
Sebab aku tahu,kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku
biarkan Kakekdengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda
aku di sini,
bukan? Tak kuingat
punya isteri, punya
anak, punya keluarga
seperti orang lain, tahu?
Tak kupikirkan hidupku
sendiri. Aku tak
ingin cari kaya,
bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir
batin, kuserahkan kepada
Allah Subhanahu wataala.
Tak pernah aku menyusahkan orang
lain. Lalat seekor
enggan aku membunuhnya.
Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan
neraka. Marahkah Tuhan
kalau itu yang
kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku
kalau selama hidupku
aku mengabdi kepada-Nya?
Tak kupikirkan hari
esokku, karena aku yakin
Tuhan itu ada dan pengasih dan
penyayang kepada umatnya
yang tawakal. Aku bangun
pagi-pagi. Aku bersuci.
Aku pukul beduk
membangunkan manusia dari
tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya.
Aku sembahyang setiap
waktu. Aku puji-puji
Dia. Aku baca
Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut.
Masya Allah kataku
bila aku kagum.
Apa salahnya pekerjaanku
itu? Tapi kini
aku dikatakan manusia
terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku
menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk.
Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan
aku melihat mata
Kakek berlinang. Aku
jadi belas kepadanya.
Dalam hatiku aku mengumpati
Ajo Sidi
yang begitu memukuli hati Kakek.
Dan ingin tahuku menjadikan akunyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu
waktu, ‘kata Ajo
Sidi memulai, ‘di
akhirat Tuhan Allah
memeriksa orang-orang yang sudah
berpulang. Para malaikat
bertugas di samping-Nya.
Di tangan mereka
tergenggam daftar dosa dan
pahala manusia. Begitu
banyak orang yang
diperiksa. Maklumlah dimana-mana
ada perang. Dan di
antara orang-orang yang
diperiksa itu ada
seirang yang di
dunia di namai
Haji Saleh. Haji Saleh
itu tersenyum-senyum saja,
karena ia sudah
begitu yakin akan
di masukkan ke dalam
surga. Kedua tangannya
ditopangkan di pinggang
sambil membusungkan dada
dan menekurkan kepala ke
kuduk. Ketika dilihatnya
orang-orang yang masuk
neraka, bibirnya menyunggingkan senyum
ejekan. Dan ketika
ia melihat orang
yang masuk ke
surga, ia melambaikan tangannya,
seolah hendak mengatakan
‘selamat ketemu nanti’.
Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di
muka, bertambah yang di belakang. Dan
Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. Akhirnya sampailah
giliran Haji Saleh.
Sambil tersenyum bangga
ia menyembah Tuhan.
Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke
Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidaktanya nama. Nama bagiku,
takperlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu,
Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan
setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu. ’
‘Lain.’
‘Ya,
Tuhanku, tak ada
pekerjaanku selain daripada
beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit,nama-Mu
menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu
untukmenginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji
Saleh tak dapat
menjawab lagi. Ia
telah menceritakan segala
yang ia kerjakan.
Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan
bukan asal bertanya
saja, tentu ada
lagi yang belum
di katakannya. Tapi menurut
pendapatnya, ia telah
menceritakan segalanya. Ia
tak tahu lagi
apa yang harus dikatakannya. Ia
termenung dan menekurkan
kepalanya. Api neraka
tiba-tiba menghawakan
kehangatannya ke tubuh
Haji Saleh. Dan
ia menangis. Tapi
setiap air matanya
mengalir, diisap kering oleh hawa
panas neraka itu.
‘Lain lagi?’tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Muceritakan semuanya,
o, Tuhan
yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji
Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan
pengharapan semoga Tuhan
bisa berbuat lembut
terhadapnya dan tidak
salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada
lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu
membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan
semuanya, o, Tuhanku.
Tapi kalau ada
yang lupa aku
katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan
di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan
malaikat dengan sigapnya
menjewer Haji Saleh
ke neraka. Haji
Saleh tidak mengerti
kenapa ia di bawa
ke neraka. Ia
tak mengerti apa
yang di kehendaki
Tuhan daripadanya dan
ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang
Haji Saleh, karena
di neraka itu
banyak teman-temannya di
dunia terpanggang hangus, merintih
kesakitan. Dan ia
tambah tak mengerti
dengan keadaan dirinya, karena semua
orang yang dilihatnya
di neraka itu
tak kurang ibadatnya
dari dia sendiri.
Bahkan ada salah seorang
yang telah sampai
empat belas kali
ke Mekah dan
bergelar syekh pula.
Lalu Haji Saleh mendekati
mereka, dan bertanya
kenapa mereka dinerakakan
semuanya. Tapi sebagaimana Haji
Saleh, orang-orang itu pun, takmengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’kata Haj iSaleh kemudian, ‘Bukankahkita di suruh-Nya
taat beribadat, teguh beriman? Dan
itu semua sudah
kita kerjakan selama
hidup kita. Tapi
kini kita dimasukkanNya ke neraka.’
‘Ya,
kami juga heran.
Tengoklah itu orang-orang
senegeri dengan kita
semua, dan tak
kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang
itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta
kesaksian atas kesalahan kita. ’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan,
kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang
lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau
Tuhan tak mau
mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’
suatu suara melengking
di dalam kelompok orang
banyakitu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata
Haji Saleh.
‘Apa
kita revolusikan juga?’
tanya suara yang
lain, yang rupanya
di dunia menjadi
pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu
tergantung kepada keadaan,’
kata Haji Saleh.
‘Yang penting sekarang,
mari kita berdemonstrasi
menghadap Tuhan. ’
‘Cocok sekali.
Di dunia dulu
dengan demonstrasi saja,
banyak yang kita
perolah, ’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka
bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama
menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji
Saleh yang menjadi
pemimpin dan juru
bicara tampil ke
depan. Dan dengan
suara yang menggeletar dan
berirama rendah, ia
memulai pidatonya: ‘O,
Tuhan kami yang
Maha besar. Kami yang menghadap-Mu
ini adalah umat-Mu
yang paling taat
beribadat, yang paling
taat menyembahmu. Kamilah orang-orang
yang selalu menyebut
nama-Mu, memuji-muji kebesaranMu,mempropagandakan keadilan-Mu,
dan lain-lainnya. Kitab-Mu
kami hafal di
luar kepala kami. Tak
sesat sedikitpun kami
membacanya. Akan tetapi,
Tuhanku yang Mahakuasa
setelah kami Engkau panggil
kemari, Engkau memasukkan
kami ke neraka.
Maka sebelum terjadi
hal-hal yang tak diingini,
maka di sini,
atas nama orang-orang
yang cinta pada-Mu,
kami menuntut agar hukuman
yang Kaujatuhkan kepada
kami ke surga
sebagaimana yang Engkau
janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal dimana?’
tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal
diIndonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur
itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak,
dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar.
Benar. Benar. Tuhan
kami. Itulah negeri
kami.’ Mereka mulai
menjawab serentak. Karena fajar
kegembiraan telah membayang
di wajahnya kembali.
Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap
menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnyabegitu subur,
sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri
kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya
sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudaknegeri
lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah
itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang
mengeruknya,dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami
takmendapatapa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di
negeri yang selalu
kacau itu, hingga
kamu dengan kamu
selalu berkelahi, sedang
hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku.
Tapi bagi kami
soal harta benda
itu kami tak
mau tahu. Yang
penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anakcucumu
tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak
cucu kami itu
melarat, tapi mereka
semua pintar mengaji.
Kitab-Mu mereka hafal di luar
kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang
disebutnya tidakdi masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada,kenapa engkau biarkan
dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu
kaubiarkan orang lain
mengambilnya untuk anak
cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi
antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang
kaya raya, tapi kau
malas. Kau lebih
suka beribadat saja,
karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang aku
menyuruh engkau semuanya
beramal kalau engkau
miskin. Engkau kira aku
ini suka pujian,
mabuk di sembah
saja. Tidak. Kamu
semua mesti masuk
neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan
di keraknya! "
Semua
menjadi pucat pasi
tak berani berkata
apa-apa lagi. Tahulah
mereka sekarang apa
jalan yang diridai Allah
di dunia. Tapi
Haji Saleh ingin
juga kepastian apakah
yang akan di
kerjakannya di dunia itu
salah atau benar.
Tapi ia tak
berani bertanya kepada
Tuhan. Ia bertanya
saja pada malaikat yang
menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau
kami, menyembah Tuhan di dunia? ’tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan
engkau, karena engkau
terlalu mementingkan dirimu
sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu
kau taat sembahyang.
Tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan
anak isterimu sendiri,
sehingga mereka itu
kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang
terbesar, terlalu egoistis.
Padahal engkau di
dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau
takmempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang
kudengardari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun
rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku takpergi menjenguk.
"Siapa yang
meninggal?"tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi
subuh Kakek kedapatan
mati di suraunya
dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernyadengan pisau
cukur."
"Astaga! Ajo
Sidi punya gara-gara," kataku
seraya cepat-cepat meninggalkan
istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi
aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab
istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan
pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku
kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang
tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi
hampa.
"Ya, dia pergi kerja."
*
ANALISIS
ROBOHNYA SURAU KAMI
1. Tema
Cerpen ini merupakan cerpen yang tergolong cerpen keagaman karena
terdapat nilai-nilai agama yang terkandung di dalamnya, cerpen ini memiliki
tema kesalah pahaman seseorang yang
beragama Tema tersebut dapat dilihat dalam percakapan antara Haji Saleh dan
Tuhan-Nya yang diceritakan oleh tokoh Ajo Sidi kepada tokoh yang dipanggil
Kakek, isi dalam percakapan tersebut ialah bahwa Allah tidak membenarkan kepada
umatnya untuk selalu bertaqwa kepada-Nya tanpa memperdulikan kehidupannya.
Sehingga, orang-orang yang hidup tanpa peduli akan kehidupan anak-istrinya dan
hanya memperdulikan bagaimana ketaatannya kepada Tuhan-Nya adalah keegoisan
diri sendiri dan tidak dibenarkan oleh Tuhan-Nya. Tuhan tidak hanya
memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya, tapi juga bekerja serta menghidupi
keluarga.
Tema tersebut juga didukung oleh dialog yang terdapat dalam cerpen, kesalahpahaman
tersebut dapat dilihat dalam dialog tokoh Kakek kepada tokoh Aku:
“Sedari muda aku
di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti
orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya,
bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu
wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku
membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah
Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama
hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin
Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari
tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji
Dia. Aku baca Kitab-Nya. ‘Alhamdulillah’ kataku bila aku menerima karunia-Nya.
‘Astagfirullah’ kataku bila aku terkejut. ‘Masya Allah’ kataku bila aku kagum.
Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Dari dialog diatas membuktikan bahwa
tokoh Kakek menjalani hidupnya hanya dengan bertaqwa kepada Allah tanpa pernah
melakukan hal lain seperti membangun keluarga, dan dialog diatas merupakan
kesalahpahaman tokoh Kakek tentang keinginan Tuhannya yang terlihat dalam
dialog Haji Saleh dan Tuhan-Nya:
“Salahkah
menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.
“Tidak.
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.
Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
mempedulikan mereka sedikit pun.”
Dari dialog
diatas membuktikan bahwa tema yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami
karya AA.Navis ialah kesalahpahaman seseorang yang beragama.
2.
Penokohan
·
Kakek
Dalam
cerpen ini Kakek merupakan tokoh yang menjadi pusat dalam cerita ini, Kakek
dalam cerpen ini digambarkan menjadi seorang yang saat taat kepada Tuhan,
selalu beribadah tanpa pernah mengeluh tentang kekurangannya. Namun, sifat
tersebut hanyalah sebuah bukti keegoisan tokoh
Kakek yang hanya mementingkan dirinya sendiri, ia hanya memperdulikan
kewajiban-Nya menyembah Tuhan dan tidak memperdulikan kewajibannya yang lain.
Tokoh Kakek juga tokoh yang sangat mudah terpengaruh oleh orang lain, hal ini
dapat dilihat diakhir cerita bahwa tokoh Kakek akhirnya bunuh diri karena memikirkan
cerita dari tokoh Ajo Sidi.
·
Aku
Dalam
cerpen ini, tokoh Aku dalam cerpen ini memiliki sifat selalu ingin tahu tentang
masalah orang lain. Hal ini terlihat dari pertanyaannya saat bertemu dengan
Kakek di Surau dan ia bertanya apa yang membuat Kakek gundah, pertanyaan
tersebut menegaskan bahwa tokoh Aku dalam cerpen ini memiliki sifat selalu
ingin tahu.
·
Ajo Sidi
Dalam
cerpen ini, Ajo Sidi hanya muncul melalui percakapan antara tokoh Kakek dan
tokoh Aku. Tokoh ini merupakan tokoh yang menjadi sumber dari puncak cerita
yang terdapat dalam cerpen ini. tokoh Ajo Sidi digambarkan oleh tokoh Aku
sebagai tokoh yang tukang bual, karena semua ceritanya membuat semua orang
terpikat. Dalam akhir cerpen ini dijelaskan bahwa tokoh Ajo Sidi merupakan tokoh
yang giat bekerja.
·
Haji Saleh
Haji Saleh
dalam cerita ini sebenarnya bukanlah tokoh asli dalam cerita ini, ia hanyalah
tokoh yang diciptakan oleh tokoh lain dalam cerita yakni Ajo Sidi. Tokoh ini
terlihat sangat hidup dari cerita Ajo Sidi, tokoh ini digambarkan sebagai orang
yang sangat beribadah namun tidak memperdulikan keluarganya sehingga
keluarganya selalu miskin. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tokoh ini memiliki
sifat terlalu mementingkan diri sendiri.
3. Latar
a. Latar Sosial
Latar
sosial yang terdapat dalam cerpen ini dapat dilihat dari
kebiasaan-kebiasaan para tokoh, hal tersebut dapat dilihat dari narasi yang
terdapat dalam cerpen yakni:
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua
yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya
beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu.
Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga
surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan
ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id
kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai
pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang
suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa.
Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,
memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Dari dua paragraf narasi tersebut terlihat
kebiasaan tokoh Kakek yang suka duduk di pelataran kiri surau dan ia sudah
bertahun-tahun menjadi penjaga surau. Kemudian dapat dilihat bahwa masyarakat
dalam cerpen tersebut memberikan sedekah kepada tokoh Kakek sekali se-Jumat dan
fitrah Id sekali setahun. Latar sosial yang lain juga dapat dilihat dari
orang-orang dalam cerpen tersebut yang suka meminta tolong kepada Kakek untuk
mengasah pisau atau gunting.
b. Latar Fisik
·
Latar
dimensi ruang
Latar
ruang dalam cerpen ini tidak digambarkan secara langsung melainkan secara
tersirat dari narasi-narasinya, seperti:
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek
gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek
begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan
dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang
mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah
pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
Dalam narasi tersebut tidak
digambarkan tempat yang didatangi tokoh aku, namun secara tidak langsung
pembaca akan langsung mengetahui bahwa tokoh aku datang di surau tua di
perkampungan tersebut karena tokoh aku mengungkapkan bahwa ia datang menemui
Kakek. Sehingga, latar ruang yang terdapat
dalam narasi tersebut ialah Surau yang dijaga oleh tokoh Kakek.
·
Latar
dimensi waktu
Latar
waktu yang terdapat dalam cerpen ini juga tidak digambarkan secara jelas, namun
dapat dilihat dari narasi atau dialog yang terdapat didalam cerpen, seperti:
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku
berkata apa aku tak pergi menjenguk.
Dalam narasi tersebut disebutkan “besoknya” sehingga secara
tidak langsung menunjukkan waktu yang terdapat dalam cerpen sekalipun tidak
diungkapkan secara rinci hari atau suasana waktu yang terdapat dalam cerpen.
4.
Sudut Pandang
Sudut
pandang yang dipakai dalam cerpen ini ialah sudut pandang orang pertama bukan utama (first person peripheral), karena dalam cerita tersebut tokoh
Aku yang terdapat dalam cerita bukanlah pusat dari cerita melainkan hanya
sebagai tokoh yang menceritakan tentang tokoh lain, yakni tokoh Kakek.
5.
Alur
Jika
dilihat dari urutan waktu yang terdapat dalam cerpen, maka cerpen ini termasuk
cerpen yang beralur mundur karena dikisahkan melalui kisah sekarang lalu mundur
dengan menceritakan kisah sebelumnya. Kelima bagian alur yang terdapat dalam
cerpen ini disusun secara runtut, dimulai dari:
a. Pengarang mulai melukiskan keadaan, hal tersebut dapat
dilihat di awal cerpen tentang penggambaran tempat dalam cerpen ini sebelum
menceritakan kisah yang terdapat dalam cerpen.
b. Peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak, hal
tersebut dapat dilihat dipertengahan awal cerita saat pengarang mulai
menceritakan kisah yang terdapat dalam cerpen, sehingga mulai kembali ke waktu
sebelum masa sekarang yang terdapat dalam cerpen.
c. Keadaan mulai memuncak, hal tersebut dapat dilihat
dipertengahan cerita saat tokoh Kakek menceritakan ucapan tokoh Ajo Sidi kepada
tokoh Aku.
d. Peristiwa-peristiwa klimaks, hal tersebut dapat
dilihat dari pertengahan akhir cerita dalam dialog-dialog Haji Saleh dan
Tuhan-Nya.
e. Pengarang memberikan pemecahan soal dan semua
peristiwa, hal tersebut dapat dilihat diakhir cerita saat pengarang
menceritakan bahwa tokoh Kakek meninggal karena bunuh diri.
6.
Sekuen
Cerita ini diawali dengan tokoh Aku yang menceritakan kota kelahirannya,
ia menceritakan bahwa tempat tinggalnya berada satu kilometer dari pasar.
Kampung tempat tinggalnya terdapat sebuah surau tua dengan kolam ikan berada di
depannya. Ia bercerita dulu surau itu dijaga oleh seorang laki-laki yang
dipanggil oleh masyarakat kampungnya Kakek. Kakek hidup dengan menerima sedekah
dari orang-orang kampung, orang-orang kampung lebih mengenalnya sebagai
pengasah pisau karena kemahirannya. Orang-orang kampung suka meminta tolong
kepadanya untuk mengasah pisau atau gunting dengan memberikan bayaran seadanya,
bahkan lebih sering dengan ucapan terima kasih. Sekarang kakek telah tiada,
surau tua itu hanya menjadi bangunan yang mulai roboh karena ulah manusia jaman
sekarang yang tidak mau merawat sesuatu yang tidak mempunyai penjaga. Kakek
meninggal karena sebuah dongeng yang tidak dapat disangkal kebenarannya.
Tokoh Aku datang menemui Kakek, biasanya Kakek tersenyum akan
kedatangannya karena tokoh aku suka memberikan Kakek uang tapi saat itu kakek
bermuram durja bahkan salamnya tidak dihiraukan. Sehingga, bertanyalah tokoh
Aku kepada Kakek penyebabnya. Kakek menceritakan bahwa penyebabnya adalah Ajo
Sidi. Tokoh Aku menyebut Ajo Sidi si
pembual karena suka bercerita sesuatu yang membuat semua orang terpikat. Kakek
bercerita bahwa ia marah mendengar cerita Ajo Sidi, Ajo Sidi mengatakan bahwa
Kakek adalah umpan neraka. Kakek bercerita bahwa sedari muda ia tidak pernah
berhenti menyembah Allah, bahkan ia tidak memiliki keluarga hanya demi
beribadah kepada Allah tapi Kakek mengatakan bahwa Ajo Sidi menganggapnya orang
terkutuk.
Ajo Sidi menceritakan kepada Kakek, cerita Haji Saleh yang telah berada
di akhirat. Haji Saleh adalah orang yang sangat taat beribadah, anak, istri,
dan cucunya diajari mengajari dan beribadah seperti dirinya, namun ia
dimasukkan oleh Tuhan-Nya di neraka. Saat Haji Saleh melakukan demo tentang
keputusan ia dimasukkan ke neraka, Tuhan mengatakan bahwa ia keliru jika hanya
menyembah dirinya dan mengajarkan anak-cucunya beribadah seperti dirinya. Tuhan
mengatakan bahwa semua itu tidak dimasukkan dalam hati, karena apabila Haji
Saleh mengamalkan ibadah tersebut secara benar maka ia tidak akan membiarkan
anak-cucunya untuk terus hidup melarah dan teraniaya karena keegoisannya yang
hanya ingin menyembah Tuhan. Ia dimasukkan kedalam neraka bukan karena ia tidak
beribadah tapi karena ia melupakan kehidupan sekitarnya sehingga menelantarkan
istri dan anak-cucunya.
Cerita tersebutlah yang membuat Kakek murung.
Keesokkan harinya, pagi-pagi sekali istri tokoh aku menyuruhnya untuk
pergi menjenguk Kakek yang telah meninggal. Istrinya bercerita bahwa Kakek
meninggal karena menggoroh lehernya dengan pisau cukur. Tokoh Aku marah dan
menghampiri rumah Ajo Sidi untuk meminta pertanggung jawaban akan peristiwa
yang terjadi karena Ajo Sidi. Disana ia
hanya bertemu dengan istri Ajo Sidi, ia megatakan bahwa Ajo Sidi pesan untuk
membelikan Kakek kain kafan tujuh lapis tapi saat itu ia sedang pergi bekerja.