Rabu, 28 Maret 2018

Pemikiran Jacques Derrida



Jacques Derrida adalah salah satu pemikir postmodernisme dan poststruktualisme yang lahir pada tahun 1930 di El-Biar, dekat Aljazair. Ia belajar di Ecole Normale Superieure dan akhirnya menjadi dosen filsafat tetap di sekolah tersebut. Derrida merupakan seorang pemikir yang kritis terhadap filsafat modern dan berbagai karya sastra tapi ia sendiri menolak disebut sebagai filsuf atau sastrawan.
Derrida menghasilkan beberapa karya yang hampir semuanya merupakan komentar atas para filsuf, seperti, Plato, Aristoteles, Kant, Hegel, Freud, Nietzche, Heidegger, dan Husserl. Sedangkan aliran yang sangat mempengaruhinya adalah fenomenologi dan struktualisme, terutama fenomenologi Husserl dan struktualisme  Saussure dan Levi-Strauss.
Derrida beranggapan bahwa konsep tidaklah kehadiran “ada”, melainkan hanya merupakan “bekas” (trace). “Bekas” akan hilang jika telah ada yang menggantikannya. “Bekas” merupakan teks yang terjalin dengan teks-teks lain. Menurut Derrida, tidaklah beralasan bahwa kata, tanda, dan konsep telah menghasilkan kenyataan. Derrida menyatakan bahwa dalam kenyataannya “yang ada” bersifat majemuk, tak berstruktur dan tidak bersistem, sehingga tidak sewenang-wenang direkayasa dalam kata, tanda, dan konsep tunggal. Pandangan metafikisa modern tersebut harus dibongkar jika menginginkan solusi atas modernitas. Derrida memandang bahwa pandangan filsuf Barat masih dikungkung oleh tradisi berpikir “logosentrisme” yang berartikan kepercayaan penuh kepada logos atau rasio. Logosentrisme dicirikan dengan dominannya konsep totalitas dan konsep esensi, ciri inilah yang dikritik oleh Derrida karena dianggap memunculkan ketimpangan dalam dunia modern. Dalam perspektif Derrida, filsafat cenderung mencari kebenaran absolut, sehingga meunggalkan pengertian bahasa yang digunakan untuk menyusun konsep dan teori. Derrida menginginkan kebenaran itu tidak harus dibatasi dalam kebenaran tunggal, umum, dan universal, karena dalam kenyataannya kebenaran itu bersifat plural, particular, dan relatif. Derrida mengungkapkan gagasannya tersebut dalam metode dekonstruksi uraian tentang “difference”.
Dekonstruksi bisa diartikan sebagai pembongkaran, namun bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir dengan pandangan monisme atau bahkan kekosongan. Dekonstruksi juga bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan perangkat konseptual yang serba argumentatif dan koheren, bahkan dekonstruksi justru anti metode, anti argumentasi, dan anti koherensi, karena pandangan ini berbau ilmiah dan positifistik. Dengan membaca secara dekonstruktif, teks bisa dikatakan selama ini menjadi pusat yang dipinggirkan, dikeluarkan, dan dianggap sebagai “yang lain”. Namun, menurut Derrida, “tidak sesuatu yang ada diluar teks”, sehingga sang pusat juga tidak bisa mengklaim sebagai lebih dominan, karena ia hanyalah salah satu di antara jaringan teks.
Sasaran dekonstruksi Derrida ditujukan untuk membongkar sifat totaliter dari sistem, terutama yang tercermin dalam bahasanya. Menurut Derrida metafisika dan epistemologi Barat selama ini didominasi oleh logosentrisme dan metafisika kehadiran sehingga harus didekonstruksi. Derrida dengan ekstremnya mengatakan bahwa sejarah filsafat Barat tidak lebih dari sejarah metaphor (kiasan) dan metomini (pemakaian nama atau benda yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya, contoh: si kaca mata, si baju merah, dan lain-lain).
Selain dekonstruksi, ada dua ide Derrida yang sangat berpengaruh, yakni radikalisasi konsep difference menjadi difference, dan prioritas tulisan (eciture) atas percakapan. Konsep difference tidak hanya menentukan makna, namun juga kenyataan.

Pemikiran Derrida bagi pemikiran filsafat utamanya bertujuan menyadarkan dan sebagai juru bicara bagi mereka yang selama ini dipinggirkan, diasingkan, dan yang menginginkan pluralitas, kebenaran relative dan keunikan dalam mendapatkan tempat bernaung. Namun, pemikiran Derrida bersifat ambigu, artinya jika dia mengkritik suatu model pemikiran, maka dia akan terjebak menyusun model yang lain. Pemikiran Derrida sering dikritik bersifat paradox, kontradiksi, inkonsistensi, ambivalensi, dilematik dan tidak pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar