Rabu, 28 Maret 2018

Poskolonialisme


A.  PENDAHULUAN
Poskolonialisme secara umum dikenal sebagai paham yang muncul setelah zaman kolonial.  Sebagaimana istilah-istilah akademis lainnya yang kerap menggunakan istilah  post seperti post-modernisme, post-strukturalisme, maka post-kolonialisme juga berarti “setelah” kolonialisme.  Post-colonial  hendak  menunjukkan  kepada  Barat  (sebagai  penjajah) perlawanan negara non-Barat sebagai bekas koloni.
Salah  satu  tokoh  dari  poskolonialisme  adalah  Edward  W.  Said.  Edward  Said membongkar  kekerasan  epistemologi  barat  terhadap  timur.  Said  berkarya  dalam  bidang kebudayaan,  sastra,  musik,  dan  politik  modern.  Didasari  pengalaman  hidupnya  sendiri, terlahir dari keluarga  Kristen Palestina  di Timur Tengah pada sekitar waktu berdirinya  Israel pada 1948, Said mengajukan pendirian sebuah  negara Palestina. Ia juga menuntut persamaan hak  politik  dan  asasi  manusia  untuk  rakyat  Palestina  di  Israel,  dan  ia  mendesak  Amerika untuk  menekan  Israel  untuk  memberikan  dan  menghormati  hak-hak  itu.  Said  digambarkan sebagai "suara politik rakyat Palestina yang paling keras" oleh oleh jurnalis Robert Fisk.
Said  terkenal  karena  karyanya,  Orientalism  (1978).  Dalam  buku  itu,  ia mendefinisikan  dasar-dasar  pemikiran  orientalisme.  Orientalisme  menjelaskan  tentang bagaimana  barat  mengatur  kehidupan  timur  dengan  melacak  akar  historis,  etnografis, antropologis,  bahasa,  adat  istiadat  dan  lain-lain.  Pada  fase  selanjutnya,  kolonialisme  tak hanya  berpusat  pada  penguasaan  masyarakat  atau  hegemoni.  Hegemoni  berjalan  pada wilayah kesadaran, bahwa dominasi tidak harus diatur dengan senjata dan kekerasan, tetapi juga  bisa  ditata  dengan  peraturan,  undang  undang,  dan  kebijakan,  yang  pada  hakekatnya adalah  mereka  dijajah  tapi  tak  terasa  dijajah.  Sehingga  masyarakat  tanpa  terasa  terpaksa mengikutinya.  Dalam hal ini masyarakat adalah bentuk dari penanaman alam pikir kolonial barat, dan lupa akan identitasnya sendiri sebagai masyarakat nusantara.  Budaya masyarakat jajahan dirancang sedemikian rupa supaya sesuai dengan keinginan penguasa kolonial.
B.  PERMASALAHAN
Selama ini seperti yang kita ketahi bahwa, di mana Barat selalu menampilkan dirinya sebagai  peradabanyang  superior,  sementara  Timur  dianggap  sebagai  inferior.  Peradaban Barat selalu memposisikan dirinya sebagai ordinat, dan timur tak lebih sebagai Sub-Ordinat.
Dalam prefektif sejarah, munculnya kecurigaan Timur atas peradaban Barat memang cukup  beralasan.  Setidaknya  ada  dua  alasan  yang  menguatkan  munculnya  kecurigaan tersebut.  Pertama, tampilannya bangsa-bangsa berpengaruh di Barat sebagai negara kolonial (penjajah)  atas  negara-negara  di  Timur.  Kedua,  kolonialisasi  juga  memunculkan  problem epistemologi  dengan  munculnya  spiritualitas  baru  yang  cenderung  berbeda  dengan  basis peradaban  Timur,  yaitu,  berupa  dominasi  kognitif  oleh  Barat  melalui  berbagai  penciptaan citra Timur secara negatif.
Secara  epistemologi,  kolonialisme  dianggap  sebagai  keinginan  „mulia‟  masyarakat Barat untuk menciptakan sebuah peradaban yang lebih maju, lebih beradab. Bagi masyarakat Barat  peradaban  Timur,  awalnya  dianggap  sebagai  masyarakat  tak  berperadaban,  primitif, dan masih diselimuti oleh mitos, takhayul yang perlu diubah melalui semangat modernisani.
Ironisnya, modernisasi masyarakat Timur oleh Barat kemudian diterjemahakn melalui suatu mega-proyek’ yang bernama kolonialisme.

C.  KONSEP UTAMA POSTKOLONIALISME
Poskolonialisme  adalah  teori  yang  berasumsikan  perbedaan  antara  negara  yang terjajah  dan  menjajah  dalam  menyikapi  perkembangan  kebudayaan.  Poskolonial  dapat  dipandang pula sebagai ancangan teoritis untuk medenkonstruksi pandangan kaum barat yang merendahkan timur atau daerah jajahannya.  Menurut Thomas Suarez dalam Early Mapping of  Southeast  Asia  (1998),  dikutip  oleh  Soendjojo  (2000:75),  sejarah  panjang  kolonialisme pada  dasarnya  simulasi  dari  sebuah  peta.  Melalui  peta  ini,  bangsa  Eropa  mengundang kolonialisme di dunia Timur.
Nyoman  Kutha  Ratna  dalam  bukunya,  Postkolonialisme  Indonesia  Relevansi  Sastra (2008:81—82) mengemukakan lima pokok pengertian postkolonial, yaitu:
(1)   Menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial,
(2)   Memiliki kaitan erat dengan nasionalisme,
(3)   Memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah, sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan,
(4)  Membangkitkan  kesadaran  bahwa  penjajahan  bukan  semata-mata  dalam  bentuk fisik, melainkan juga psikis,dan
(5)      Bukan  semata-mata  teori,  melainkan  kesadaran  bahwa  banyak  pekerjaan  besar yang  harus  dilakukan,  seperti  memerangi  imperalisme,  orientalisme,  rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
Kajian poskolonial muncul ketika Bill Aschroft dkk mencoba memperkenalkan kajian sastra  (postcolonial  literature).  Paham  tersebut,  semla  mencuatkan  pemahaman  model national  dan  Black  writing.  Model  national  memusatkan  perhatian  pada  hubungan  antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekannkann aspek etnisitas. Model nasional  mencari konsep pengaruh lingkungan ke sastra, pengaruh politik ke sastra, dan lainlain. Studi ini sedikit banyak berbau sosiologi satra.
Model  black writing  lebih menitik beratkan aspek refleksi etnisitas ke dalam sastra. Misalnya  saja,  peneliti  mengungkan  subkultur  (Jawa,  Sunda,  Bali,  Bugis,  dan  lain-lain)  ke dalam sastra nasional. Sastra nasional dianggap mewakili keinginan penguasa dan kolonialis.
Poskolonialisme  hadir  dan  menciptakan  fenomena  westernisasi.  Kenyataan  ini ditunjukkan dengan masih bercokolnya sikap superioritas Barat atas Timur. Menurut Edward Said  (1979:  262),  hal  ini  terjadi  karena  Barat  mennggulirkan  ego  melalui  gerakan orientalisme  yang  di  bungkus  dalam  kedok-kedok  ilmiah.  Orientalisme  merupakan kategorisasi kajian ilmiah dunia Barat atas Timur. Ini malah menjadikan dunia Timur sebagai ruang’ eksploitatif bagi kepentingan Barat.
Gejala  superioritas  Barat  tertanam  secara  mendalam  dalam  kesadaran  epistemologi masyarakat  (dunia)  Timur,  yang  tidak  disadari  kehadirannya.  Istilah  Barat-Timur  pun sesungguhnya mengandung pesan-pesan yang diciptakan oleh Eropa untuk menyebut dirinya sebagai  Barat  dengan  rasionalis  dan  kemajuan  peradabannya  dan  masyarakat  lain  (di  luar dirinya) dianggap sebagi ‘the others’.
Bagi Eropa, dunia Timur bukan hanya sekat, ia juga merupakan tempat koloni-koloni Eropa  yang  terbesar,  terkaya,  dan  tertua.  Bangsa  Timur  juga  menjadi  peradaban-peradaban dan bahasa-bahasa, menjadi saingan budaya, dan salah satu imajinasi yang paling dalam dan paling sering muncul tentang „dunia yang lain‟ (Said; 1979: 2)
Dalam  pihak  Spivak  (Gandhi,  2001:2)  studi  sastra  kolonialisme  dapat  mengaitkan dengan  masalah  subaltern  studies.  Artinya,  studi  tentang  masyarakat  yang  tertekan  harus bicara, harus mengambil inisiatif, dan menggelar aksi atas suara mereka  yang terbungkam. Tak  sedikit  karya  sastra  di  era  kolonial  yang  mengungkapkan  masalah  subaltern.  Korbankorban penindasan kolonial dan pemberontakan anti kolonial, akan menjadi sasaran peneliti. Kolonialisme  telah  menabur  ketidakpahaman  sebuah  tatanan,  termasuk  sastra.  Kehadiran postkolonial telah memperkaya studi sastra.
Kajian  postkolonial,  melihat  representasi  historis,  dan  rentetan  akar  peristiwa “penjajah”  dan  “terjajah”  ke  dunia  ketiga  (postkolonial).  Kata  “post”  disini  berartikan “setelah”  kolonial.  “Penjajah  selalu  duduk  dalam  posisi  subyek,  arogan,  superior,  ingin menang,  dan  menguasai  pada  masyarakat  setepat  (“terjajah”).  Akibatnya,  “terjajah”  harus tunduk dalam segala hal, bersikap meniru, mengikuti jejak, dan tak berkreasi sama sekali. Para penulis menyadari bahwa dalam segala “penjajah” selalu ada, tak pernah habis, dan  “terjajah”  pun  merasa  tertindas  terus-menerus,  sehingga  kajian  postkolonial  sangat penting artinya.
Dalam  pandangan  sastra  postkolonial  (Gandhi,  2001:  189-220)  karya  sastra  selalu mengungkapkan  produk  politik.  Sastra  adalah  tanggapan  mengenai  penindasan  dan penyembuhan.  Tekstual  adalah  endemic  terhadap  pertempuran  colonial  dan  dalam  kajian postkolonialisme  hal  semacam  ini  diperhalus  oleh  estetika  sastra.  Sehingga,  muncul  lah “mimikri  kolonial”,  yang  selanjutnya  menjadi  slogan  dari  postkolonial.  Konsensus  yang muncul  dalam  pandangan  sastra  kolonial,  bahwa  penulis  antikolonial  yang  paling  radikal disebut “mimic men” (orang mimikri). Teori sastra postkolonial biasanya jarang menghargai nasionalisme. Hibriditas penulis antikolonial menunjukkan bahwa tak mungkin menciptakan formasi-formasi nasional atau regional yang benar-benar bebas dari implikasi sejarah.
Beberapa hal yang harus diteliti oleh peneliti sastra postkolonial, yaitu:
(1)  Mengkasi refleksi sejarah kolonial tentang penjajahan dan penaklukan fisik.
(2)  Mengkaji refkelsi ideologi, sebagai bentuk penaklukan pemikiran kaum terjajah.
(3)  Mengkaji hegemoni kekuasaan penjajah terhadap terjajah.
(4)  Mengkaji hegemoni dari aspek gender.
Kunci  filosofi  kajian  postkolonial  adalah  kenangan.  Fungsi  kenangan,  menurut Bhabha (Gandhi, 2001:14) ada  dua hal.  Pertama,  sebagai penggalian  yang lebih sederhana atas  ingatan-ingatan  yang  tak  mengenakkan,  berusaha  mengungkap  kekerasan  kolonisasi yang melimpah dan masih tersisa.  Kedua, untuk menciptakan masa lalu yang bermusuhan ke arah perdamaian.
Kolonialisme  menghasilkan  peruabahan  dalam  struktur  kebudayaan  dan  nalar  suatu masyarakat yang pernah dijajah. Dan berkembangnya suatu pendekatan baru negara kolonial untuk melanjutkan imperialismenya dalam bentuk yang lain, yakni penguasaan pikiran.
Study  poskolonial  dimaknai  sebagai  suatu  perlawanan  terhadap  dominasi kolonialisme  dan  warisan  kolonialisme.  Pada  masa  ini  era  globalisasi  harus  diakui  telah membawa pengaruh luar biasa terhadap perkembangan teknologi, tak terkecuali bagi industri komunikasi  modern.  Dampak-dampak  itu  adalah  subversi  kebudayaan  dan  ideologi  Barat.
Dampak nyata globalisasi media adalah sistem kepemilikan global yang menjadi tren industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat lebih rendah dalam hal ini nasional dan lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada masalah sosial politik saja tetapi masuk dalam nilai-nilai budaya masyarakat.

D.  POSKOLONIALISME DI INDONESIA
Indonesia  sendiri  tidak  terlepas  dari  penjajahan.  Sejarah  manyatakan  bahwa Indonesia dijajah hampir 350 tahun dan baru beberapa puluh tahun Indonesia resmi merdeka. Bahkan  sampai  saat  ini,  mental  kolonialisme  masih  ada  di  sekitar  kita  tanpa  kita  sadari. Seperti  penguasaan  bahasa  Inggris  ketimbang  bahasa  lokal  ataupun  bahasa  Indonesia. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan zaman kolonial Belanda, di mana bahasa Belanda lebih istimewa,  sering  di  gunakan,  dan  menunjukkan  status  sosial  dibandingkan  bahasa  Melayu (Indonesia).  Itu  terbukti  menjadi  bahan  perdebatan  di  Budi  Utomo,  apakah  setiap pembicaraan formal dalam organisasi mesti menggunakan bahasa Belanda.Kota  besar  di  Indonesia  kini  sekolah-sekolah,  baik  negeri  ataupun  swasta, berlomba-lomba  menjadi  sekolah  internasional  yang  menggunakan  bahasa  Inggris. Alasannya  sederhana,  anak-anak  yang  unggul  sudah  semestinya  menguasai  bahasa  Inggris untuk dapat bersaing di kancah internasional. Mental berikutnya adalah kecenderungan pop culture  anak  muda,  yang  mengarah  pada  music  rock,  rap,  hip  metal,  punk,   menggunakan pakaian  dengan  merek  internasionalisasi  merek  seperti  Nike,  Adidas  dan  lain  sebagainya, makanan (Coca Cola), nongkrong di kafe, dan gaya hidup kebarat-baratan lainnya.
Modernisme  hanya  „embel-embel‟  dari  kolonial  yang  secara  tidak  sadar  ada  di sekeliling  kita.  Pesatnya  kemjuan  teknologi  informasi,  lahirnya  budaya  konsumen,  dan keamauan  manusia  pada  mumnya  untuk  berlomba-lomba  tampil  ke  permukaan  merupakan faktor  utama  pergantian  gaya.  Dalam  kehidupan  sehari-hari,  misalnya,  masyarakat mengkonsumsi gaya bukan manfaat sebab objek-objek pada dasarnya merupakan perwujudan citra dan tanda. Seorang pergi ke swalayan  kemudian membeli sejumlah barang keperluan sehari-hari semata-mata demi harga diri, membeli oleh karena orang lain membeli, bukan lagi kebutuhan yang memang benar-benar diperlukan.

E.  KESIMPULAN DAN SARAN
Pengalaman  dengan  kolonialisme  menyisakan  banyak  hal  yang  berubah  dari kebudayaan,  tradisi,  nalar  dan  sejarah  masyarakat  yang  dikoloni.  Karena  itu,  lepas  dari kolonialisme  secara  fisik  bukanlah  berarti  bangsa  Indonesia  merdeka  seratus  persen,  tetapi malah  harus  berusaha  untuk  keluar  dari  belenggu  kolonialitas,  atau  minimal  sisa-sisa  dari kolonialisme. Khususnya di negara Indonesia. Indonesia mengalami masa kolonial yang amat panjang karena terjajah oleh piahak barat dengan adanya paham ini masyarakat di Indonesia berani melawan untuk menemukan identitas bangsa dan memperoleh kemerdekaan serta bisa mengimplikasi kebudayaan yang tidak tertinggal.

DAFTAR PUSTAKA
http://wahayu-rohmania-fib13.web.unair.ac.id/artikel_detail-105405-Pengantar%20FilsafatPoskolonialisme.html
Santoso, Listiyono, dkk. 2003. Epistemologi Kiri.  Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia
Endraswara, Suwardi. 2003.  Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sasatra, dan Budaya.Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar