A. PENDAHULUAN
Poskolonialisme
secara umum dikenal sebagai paham yang muncul setelah zaman kolonial. Sebagaimana istilah-istilah akademis lainnya
yang kerap menggunakan istilah post seperti
post-modernisme, post-strukturalisme, maka post-kolonialisme juga berarti
“setelah” kolonialisme.
Post-colonial hendak menunjukkan
kepada Barat (sebagai
penjajah) perlawanan negara non-Barat sebagai bekas koloni.
Salah satu
tokoh dari poskolonialisme adalah
Edward W. Said.
Edward Said membongkar kekerasan
epistemologi barat terhadap
timur. Said berkarya
dalam bidang kebudayaan, sastra,
musik, dan politik
modern. Didasari pengalaman
hidupnya sendiri, terlahir dari
keluarga Kristen Palestina di Timur Tengah pada sekitar waktu
berdirinya Israel pada 1948, Said
mengajukan pendirian sebuah negara
Palestina. Ia juga menuntut persamaan hak
politik dan asasi
manusia untuk rakyat
Palestina di Israel,
dan ia mendesak
Amerika untuk menekan Israel
untuk memberikan dan
menghormati hak-hak itu.
Said digambarkan sebagai
"suara politik rakyat Palestina yang paling keras" oleh oleh jurnalis
Robert Fisk.
Said terkenal
karena karyanya, Orientalism
(1978). Dalam buku
itu, ia mendefinisikan dasar-dasar
pemikiran orientalisme. Orientalisme
menjelaskan tentang
bagaimana barat mengatur
kehidupan timur dengan
melacak akar historis,
etnografis, antropologis, bahasa,
adat
istiadat dan lain-lain.
Pada fase selanjutnya,
kolonialisme tak hanya berpusat
pada penguasaan masyarakat
atau hegemoni. Hegemoni
berjalan pada wilayah kesadaran,
bahwa dominasi tidak harus diatur dengan senjata dan kekerasan, tetapi
juga bisa ditata
dengan peraturan, undang
undang, dan kebijakan,
yang pada hakekatnya adalah mereka
dijajah tapi tak
terasa dijajah. Sehingga
masyarakat tanpa terasa
terpaksa mengikutinya. Dalam hal
ini masyarakat adalah bentuk dari penanaman alam pikir kolonial barat, dan lupa
akan identitasnya sendiri sebagai masyarakat nusantara. Budaya masyarakat jajahan dirancang
sedemikian rupa supaya sesuai dengan keinginan penguasa kolonial.
B. PERMASALAHAN
Selama
ini seperti yang kita ketahi bahwa, di mana Barat selalu menampilkan dirinya
sebagai peradabanyang superior,
sementara Timur dianggap sebagai
inferior. Peradaban Barat selalu
memposisikan dirinya sebagai ordinat, dan timur tak lebih sebagai Sub-Ordinat.
Dalam
prefektif sejarah, munculnya kecurigaan Timur atas peradaban Barat memang
cukup beralasan. Setidaknya
ada dua alasan
yang menguatkan munculnya
kecurigaan tersebut. Pertama,
tampilannya bangsa-bangsa berpengaruh di Barat sebagai negara kolonial
(penjajah) atas negara-negara
di Timur. Kedua,
kolonialisasi juga memunculkan
problem epistemologi dengan munculnya
spiritualitas baru yang
cenderung berbeda dengan
basis peradaban Timur, yaitu,
berupa dominasi kognitif
oleh Barat melalui
berbagai penciptaan citra Timur
secara negatif.
Secara epistemologi,
kolonialisme dianggap sebagai
keinginan „mulia‟ masyarakat Barat untuk menciptakan sebuah
peradaban yang lebih maju, lebih beradab. Bagi masyarakat Barat peradaban
Timur, awalnya dianggap
sebagai masyarakat tak
berperadaban, primitif, dan masih
diselimuti oleh mitos, takhayul yang perlu diubah melalui semangat modernisani.
Ironisnya,
modernisasi masyarakat Timur oleh Barat kemudian diterjemahakn melalui suatu ‘mega-proyek’ yang
bernama kolonialisme.
C. KONSEP UTAMA POSTKOLONIALISME
Poskolonialisme adalah
teori yang berasumsikan
perbedaan antara negara
yang terjajah dan
menjajah dalam menyikapi
perkembangan kebudayaan. Poskolonial
dapat dipandang pula sebagai
ancangan teoritis untuk medenkonstruksi pandangan kaum barat yang merendahkan
timur atau daerah jajahannya. Menurut
Thomas Suarez dalam Early Mapping of Southeast Asia
(1998), dikutip oleh
Soendjojo (2000:75), sejarah
panjang kolonialisme pada dasarnya
simulasi dari sebuah
peta. Melalui peta ini, bangsa
Eropa mengundang kolonialisme di dunia
Timur.
Nyoman Kutha
Ratna dalam bukunya,
Postkolonialisme Indonesia Relevansi
Sastra (2008:81—82) mengemukakan lima pokok pengertian postkolonial,
yaitu:
(1) Menaruh
perhatian untuk menganalisis era kolonial,
(2) Memiliki
kaitan erat dengan nasionalisme,
(3) Memperjuangkan
narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah, sekaligus belajar dari masa
lampau untuk menuju masa depan,
(4) Membangkitkan kesadaran
bahwa penjajahan bukan
semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis,dan
(5) Bukan semata-mata
teori, melainkan kesadaran
bahwa banyak pekerjaan
besar yang harus dilakukan,
seperti memerangi imperalisme,
orientalisme, rasialisme, dan
berbagai bentuk hegemoni lainnya.
Kajian
poskolonial muncul ketika Bill Aschroft dkk mencoba memperkenalkan kajian
sastra (postcolonial literature).
Paham tersebut, semla
mencuatkan pemahaman model national dan
Black writing. Model
national memusatkan perhatian
pada hubungan antara negara dan bekas jajahannya. Sedangkan
black writing, menekannkann aspek etnisitas. Model nasional mencari konsep pengaruh lingkungan ke sastra,
pengaruh politik ke sastra, dan lainlain. Studi ini sedikit banyak berbau
sosiologi satra.
Model black writing
lebih menitik beratkan aspek refleksi etnisitas ke dalam sastra.
Misalnya saja, peneliti
mengungkan subkultur (Jawa,
Sunda, Bali, Bugis,
dan lain-lain) ke dalam sastra nasional. Sastra nasional
dianggap mewakili keinginan penguasa dan kolonialis.
Poskolonialisme hadir
dan menciptakan fenomena
westernisasi. Kenyataan ini ditunjukkan dengan masih bercokolnya
sikap superioritas Barat atas Timur. Menurut Edward Said (1979:
262), hal ini
terjadi karena Barat
mennggulirkan ego melalui
gerakan orientalisme yang di
bungkus dalam kedok-kedok
ilmiah. Orientalisme merupakan kategorisasi kajian ilmiah dunia
Barat atas Timur. Ini malah menjadikan dunia Timur sebagai ‘ruang’ eksploitatif
bagi kepentingan Barat.
Gejala superioritas
Barat tertanam secara
mendalam dalam kesadaran
epistemologi masyarakat
(dunia) Timur, yang
tidak disadari kehadirannya.
Istilah Barat-Timur pun sesungguhnya mengandung pesan-pesan yang
diciptakan oleh Eropa untuk menyebut dirinya sebagai Barat
dengan rasionalis dan
kemajuan peradabannya dan
masyarakat lain (di
luar dirinya) dianggap sebagi ‘the others’.
Bagi
Eropa, dunia Timur bukan hanya sekat, ia juga merupakan tempat koloni-koloni
Eropa yang terbesar,
terkaya, dan tertua.
Bangsa Timur juga
menjadi peradaban-peradaban dan bahasa-bahasa,
menjadi saingan budaya, dan salah satu imajinasi yang paling dalam dan paling
sering muncul tentang „dunia yang lain‟ (Said; 1979: 2)
Dalam pihak
Spivak (Gandhi, 2001:2)
studi sastra kolonialisme
dapat mengaitkan dengan masalah
subaltern studies. Artinya,
studi tentang masyarakat
yang tertekan harus bicara, harus mengambil inisiatif, dan
menggelar aksi atas suara mereka yang
terbungkam. Tak sedikit karya
sastra di era
kolonial yang mengungkapkan
masalah subaltern. Korbankorban penindasan kolonial dan
pemberontakan anti kolonial, akan menjadi sasaran peneliti. Kolonialisme telah
menabur ketidakpahaman sebuah
tatanan, termasuk sastra.
Kehadiran postkolonial telah memperkaya studi sastra.
Kajian postkolonial,
melihat representasi historis,
dan rentetan akar
peristiwa “penjajah” dan “terjajah”
ke dunia ketiga
(postkolonial). Kata “post”
disini berartikan “setelah” kolonial.
“Penjajah selalu duduk
dalam posisi subyek,
arogan, superior, ingin menang,
dan menguasai pada
masyarakat setepat (“terjajah”).
Akibatnya, “terjajah” harus tunduk dalam segala hal, bersikap
meniru, mengikuti jejak, dan tak berkreasi sama sekali. Para penulis menyadari
bahwa dalam segala “penjajah” selalu ada, tak pernah habis, dan “terjajah”
pun merasa tertindas
terus-menerus, sehingga kajian
postkolonial sangat penting artinya.
Dalam pandangan
sastra postkolonial (Gandhi,
2001: 189-220) karya
sastra selalu mengungkapkan produk
politik. Sastra adalah
tanggapan mengenai penindasan
dan penyembuhan. Tekstual adalah
endemic terhadap pertempuran
colonial dan dalam
kajian postkolonialisme hal semacam
ini diperhalus oleh
estetika sastra. Sehingga,
muncul lah “mimikri kolonial”,
yang selanjutnya menjadi
slogan dari postkolonial.
Konsensus yang muncul dalam
pandangan sastra kolonial,
bahwa penulis antikolonial
yang paling radikal disebut “mimic men” (orang mimikri).
Teori sastra postkolonial biasanya jarang menghargai nasionalisme. Hibriditas
penulis antikolonial menunjukkan bahwa tak mungkin menciptakan formasi-formasi
nasional atau regional yang benar-benar bebas dari implikasi sejarah.
Beberapa
hal yang harus diteliti oleh peneliti sastra postkolonial, yaitu:
(1) Mengkasi refleksi sejarah kolonial tentang
penjajahan dan penaklukan fisik.
(2) Mengkaji refkelsi ideologi, sebagai bentuk
penaklukan pemikiran kaum terjajah.
(3) Mengkaji hegemoni kekuasaan penjajah terhadap
terjajah.
(4) Mengkaji hegemoni dari aspek gender.
Kunci filosofi
kajian postkolonial adalah
kenangan. Fungsi kenangan,
menurut Bhabha (Gandhi, 2001:14) ada
dua hal. Pertama, sebagai penggalian yang lebih sederhana atas ingatan-ingatan yang
tak mengenakkan, berusaha
mengungkap kekerasan kolonisasi yang melimpah dan masih
tersisa. Kedua, untuk menciptakan masa
lalu yang bermusuhan ke arah perdamaian.
Kolonialisme menghasilkan
peruabahan dalam struktur
kebudayaan dan nalar
suatu masyarakat yang pernah dijajah. Dan berkembangnya suatu pendekatan
baru negara kolonial untuk melanjutkan imperialismenya dalam bentuk yang lain,
yakni penguasaan pikiran.
Study poskolonial
dimaknai sebagai suatu
perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan
warisan kolonialisme. Pada
masa ini era
globalisasi harus diakui
telah membawa pengaruh luar biasa terhadap perkembangan teknologi, tak
terkecuali bagi industri komunikasi
modern. Dampak-dampak itu
adalah subversi kebudayaan
dan ideologi Barat.
Dampak
nyata globalisasi media adalah sistem kepemilikan global yang menjadi tren
industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi dalam
struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah
transmisi kebudayaan global ke tingkat lebih rendah dalam hal ini nasional dan
lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada masalah sosial politik saja
tetapi masuk dalam nilai-nilai budaya masyarakat.
D. POSKOLONIALISME DI INDONESIA
Indonesia sendiri
tidak terlepas dari
penjajahan. Sejarah manyatakan
bahwa Indonesia dijajah hampir 350 tahun dan baru beberapa puluh tahun
Indonesia resmi merdeka. Bahkan
sampai saat ini,
mental kolonialisme masih
ada di sekitar
kita tanpa kita
sadari. Seperti penguasaan bahasa
Inggris ketimbang bahasa
lokal ataupun bahasa
Indonesia. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan zaman kolonial Belanda,
di mana bahasa Belanda lebih istimewa,
sering di gunakan,
dan menunjukkan status
sosial dibandingkan bahasa
Melayu (Indonesia). Itu terbukti
menjadi bahan perdebatan
di Budi Utomo,
apakah setiap pembicaraan formal
dalam organisasi mesti menggunakan bahasa Belanda.Kota besar
di Indonesia kini
sekolah-sekolah, baik negeri
ataupun swasta,
berlomba-lomba menjadi sekolah
internasional yang menggunakan
bahasa Inggris. Alasannya sederhana,
anak-anak yang unggul
sudah semestinya menguasai
bahasa Inggris untuk dapat
bersaing di kancah internasional. Mental berikutnya adalah kecenderungan pop
culture anak muda,
yang mengarah pada
music rock, rap,
hip metal, punk,
menggunakan pakaian dengan merek
internasionalisasi merek seperti
Nike, Adidas dan
lain sebagainya, makanan (Coca
Cola), nongkrong di kafe, dan gaya hidup kebarat-baratan lainnya.
Modernisme hanya
„embel-embel‟ dari kolonial
yang secara tidak
sadar ada di sekeliling
kita. Pesatnya kemjuan
teknologi informasi, lahirnya
budaya konsumen, dan keamauan
manusia pada mumnya
untuk berlomba-lomba tampil
ke permukaan merupakan faktor utama
pergantian gaya. Dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya,
masyarakat mengkonsumsi gaya bukan manfaat sebab objek-objek pada
dasarnya merupakan perwujudan citra dan tanda. Seorang pergi ke swalayan kemudian membeli sejumlah barang keperluan
sehari-hari semata-mata demi harga diri, membeli oleh karena orang lain
membeli, bukan lagi kebutuhan yang memang benar-benar diperlukan.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Pengalaman dengan
kolonialisme menyisakan banyak
hal yang berubah
dari kebudayaan, tradisi, nalar
dan sejarah masyarakat
yang dikoloni. Karena
itu, lepas dari kolonialisme secara
fisik bukanlah berarti
bangsa Indonesia merdeka
seratus persen, tetapi malah
harus berusaha untuk
keluar dari belenggu
kolonialitas, atau minimal
sisa-sisa dari kolonialisme.
Khususnya di negara Indonesia. Indonesia mengalami masa kolonial yang amat
panjang karena terjajah oleh piahak barat dengan adanya paham ini masyarakat di
Indonesia berani melawan untuk menemukan identitas bangsa dan memperoleh
kemerdekaan serta bisa mengimplikasi kebudayaan yang tidak tertinggal.
DAFTAR PUSTAKA
http://wahayu-rohmania-fib13.web.unair.ac.id/artikel_detail-105405-Pengantar%20FilsafatPoskolonialisme.html
Santoso, Listiyono, dkk. 2003. Epistemologi
Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi,
Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo
Ratna, Nyoman Kutha. 2009.
Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sasatra, dan Budaya.Jogjakarta: Pustaka
Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar