"Dari terminal ke terminal aku buron, sementara di belakangku hidup mengejar, yang fana dan yang rapuh, dan aku pura-pura tidak kenal."
Pertama izinkan aku memberikan tepuk tangan paling meriah untuk Intan Paramaditha yang mewujudkan salah satu mimpiku; membaca karya dengan sudut pandang orang kedua. Salah satu mimpi seorang pembaca yang amat susah menemukan karya dengan sudut pandang tersebut. Sungguh, keberanian yang luar biasa!
Sejak membaca kata "kita" di halaman pertama, aku langsung "Eh?! Apa tadi?! Bentar-bentar, apa TADI?!" dan kuulangi lagi membaca sedari awal dan terpukau karena aku langsung disuguhi dengan sudut pandang orang kedua. Kenapa aku takjub? Karena sesusah itu saudara-saudara menggunakan sudut pandang ini.
Jujur, keberanian pemilihan sudut pandang ini membuatku punya ekspetasi semakin tinggi untuk Malam Seribu Jahanam. Sebenarnya, sejak awal buku ini sudah ada di level berbeda untuk ekspetasiku. Genre sastra, penulis ternama, viral luar biasa, dan berani mengusung tema dari peristiwa pilu yang benar-benar terjadi. Sebagai sosok yang melewati gereja yang menjadi latar hampir setiap hari di masa kuliah, buku ini membuatku bertanya-tanya sejak aku belum membacanya. "Mau dibuat seperti apa kisah itu?"
Standar nilai tidak masuk akal dariku untuk buku ini, menariknya berhasil dilewati. Dengan mudah. Betapa luar biasanya Kak Intan yang mengemas indah isu sosial dalam balutan kisah teroris ini. Malam Seribu Jahanam membuatku benar-benar membuatku menjelma menjadi pelaku, keluarga pelaku, dan keluarga korban. Menarik sekali bukan?! Hanya dalam satu buku, aku bisa masuk dalam berbagai perandaian.
Hal yang aku cintai lagi dari Kak Intan, caranya menunjukkan betapa besarnya wanita di sini patut diacungi jempol. Tak ada laki-laki yang penting dalam karya ini. Semua laki-laki cuma pendukung yang jadi bumbu penyedap dari karya yang sudah enak, kayaknya gak ada mereka juga gak papa HAHAHA.
Aku juga cinta bagaimana aku dibuat menebak terus-menerus setiap kali aku membuka halaman baru. Entah berapa kali aku menyerukan "Apa lagi ini?!" tiap kali bertemu plot twist yang tak kuduga. Kadang cuma bisa tersenyum menyeringai karena menyadari betapa gilanya Kak Intan. Sungguh, Malam Seribu Jahanam adalah karya epik yang memang layak mendapatkan popularitas!
Serius, aku jadi menyesal karena tidak ikut diskusi buku dengan beliau karena aku belum membaca karyanya! Semoga lain waktu aku berkesempatan untuk memeluknya dan berterima kasih karena membuatku jatuh hati. Saat ini, targetku adalah membaca semua karyanya!