Jumat, 30 Maret 2018

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami


ROBOHNYA SURAU KAMI
Karya AA. Navis
Kalau  beberapa  tahun  yang  lalu  Tuan  datang  ke  kota  kelahiranku  dengan  menumpang  bis,  Tuan akan  berhenti  di  dekat  pasar.  Maka  kira-kira  sekilometer  dari  pasar  akan  sampailah  Tuan  di  jalan kampungku. Pada simpang kecilke kanan, simpang yang kelima,membeloklah ke jalan sempit itu. Dan  di  ujung  jalan  nanti  akan  Tuan  temui  sebuah  surau  tua.  Di  depannya  ada  kolam  ikan,  yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan  di  pelataran  kiri  surau  itu  akan  Tuan  temui  seorang  tua  yang  biasanya  duduk  di  sana dengan segala  tingkah  ketuaannya  dan  ketaatannya  beribadat.  Sudah  bertahun-tahun  ia  sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai  penajag  surau,  Kakek  tidak  mendapat  apa-apa.  Ia  hidup  dari  sedekah  yang  dipungutnya sekali  se-Jumat.  Sekali  enam  bulan  ia  mendapat  seperempat  dari  hasil  pemungutan  ikan  mas  dari kolam  itu.  Dan  sekali  setahun  orang-orang  mengantarkan  fitrah  Id  kepadanya.  Tapi  sebagai  garin ia  tak  begitu  dikenal.  Ia  lebih  di  kenal  sebagai  pengasah  pisau.  Karena  ia  begitu  mahir  dengan pekerjaannya  itu.  Orang-orang  suka  minta  tolong  kepadanya,  sedang  ia  tak  pernah  minta  imbalan apa-apa.  Orang-orang  perempuan  yang  minta  tolong  mengasahkan  pisau  atau  gunting, memberinya  sambal  sebagai  imbalan.  Orang  laki-laki  yang  minta  tolong,  memberinya  imbalan rokok,  kadang-kadang  uang.  Tapi  yang  paling  sering  diterimanya  ialah  ucapan  terima  kasih dan sedikit senyum.
Tapi  kakek  ini  sudah  tidak  ada  lagi  sekarang.  Ia  sudah  meninggal.  Dan  tinggallah  surau  itu  tanpa penjaganya.  Hingga  anak-anak  menggunakannya  sebagai  tempat  bermain,  memainkan  segala apa  yang  disukai  mereka.  Perempuan  yang  kehabisan  kayu  bakar,  sering  suka  mencopoti  papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya  akan menjumpai  gambaran  yang mengesankan suatu kesucian yang  bakal  roboh.  Dan  kerobohan  itu  kian  hari  kian  cepat  berlangsungnya.  Secepat  anak-anak berlari  di  dalamnya,  secepat  perempuan  mencopoti  pekayuannya.  Dan  yang  terutama  ialah  sifat masa bodoh manusia sekarang, yang takhendakmemelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan  biang  keladi  dari  kerobohan  ini  ialah  sebuah  dongengan  yang  tak  dapat  disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali  hari  aku  datang  pula  mengupah  Kakek.  Biasanya  Kakek  gembira  menerimaku,  karena  aku suka  memberinya  uang.  Tapi  sekali  ini  Kakek  begitu  muram.  Di  sudut  benar  ia  duduk  dengan lututnya  menegak  menopang  tangan  dan  dagunya.  Pandangannya  sayu  ke  depan,  seolah-olah ada  sesuatu  yang  yang  mengamuk  pikirannya.  Sebuah  belek  susu  yang  berisi  minyak  kelapa, sebuah  asahan  halus,  kulit  sol  panjang,  dan  pisau  cukur  tua  berserakan  di  sekitar  kaki  Kakek. Tidak  pernah  aku  melihat  Kakek  begitu  durja  dan  belum  pernah  salamku  tak  disahutinya  seperti saat  itu.  Kemudian  aku  duduk  disampingnya  dan  aku  jamah  pisau  itu.  Dan  aku  tanya  Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu.Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku  ingin  ketemu  dia  lagi.  Aku  senang  mendengar  bualannya.  Ajo  Sidi  bisa  mengikat  orang-orang dengan  bualannya  yang  aneh-aneh  sepanjang  hari.  Tapi  ini  jarang  terjadi  karena  ia  begitu  sibuk dengan  pekerjaannya.  Sebagai  pembual,  sukses  terbesar  baginya  ialah  karena  semua  pelaku-pelaku  yang  diceritakannya  menjadi  model  orang  untuk  diejek  dan  ceritanya  menjadi  pameo akhirnya.  Ada-ada  saja  orang-orang  di  sekitar  kampungku  yang  cocok  dengan  watak  pelakupelaku  ceritanya.  Ketika  sekali  ia  menceritakan  bagaimana  sifat  seekor  katak,  dan  kebetulan  ada pula  seorang  yang  ketagihan  menjadi  pemimpin  berkelakuan  seperti  katak  itu,  maka  untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba  aku  ingat  lagi  pada  Kakek  dan  kedatang  Ajo  Sidi  kepadanya.  Apakah  Ajo  Sidi  telah membuat  bualan  tentang  Kakek?  Dan  bualan  itukah  yang  mendurjakan  Kakek?  Aku  ingin  tahu. Lalu aku tanya Kakeklagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah?  Ya,  kalau  aku  masih  muda,  tapi  aku  sudah  tua.  Orang  tua  menahan  ragam.  Sudah  lama aku  tak  marah-marah  lagi.  Takut  aku  kalau  imanku  rusak  karenanya,  ibadatku  rusak  karenanya. Sudah  begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakalkepada Tuhan. Sudah begitu lama  aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabardan tawakal."
Ingin  tahuku  dengan  cerita  Ajo  Sidi  yang  memurungkan  Kakek  jadi  memuncak.  Aku  tanya  lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi  Kakek  diam  saja.  Berat  hatinya  bercerita  barangkali.  Karena  aku  telah  berulang-ulang bertanya,  lalu  ia  yang  bertanya  padaku,  "Kau  kenal  padaku,  bukan?  Sedari  kau  kecil  aku  sudah disini.  Sedari  mudaku,  bukan?  Kau  tahu  apa  yang  kulakukan  semua,  bukan?  Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu,kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakekdengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari  muda  aku  di  sini,  bukan?  Tak  kuingat  punya  isteri,  punya  anak,  punya  keluarga  seperti orang  lain,  tahu?  Tak  kupikirkan  hidupku  sendiri.  Aku  tak  ingin  cari  kaya,  bikin  rumah.  Segala kehidupanku,  lahir  batin,  kuserahkan  kepada  Allah  Subhanahu  wataala.  Tak  pernah  aku menyusahkan  orang  lain.  Lalat  seekor  enggan  aku  membunuhnya.  Tapi  kini  aku  dikatakan manusia  terkutuk.  Umpan  neraka.  Marahkah  Tuhan  kalau  itu  yang  kulakukan,  sangkamu?  Akan dikutukinya  aku  kalau  selama  hidupku  aku  mengabdi  kepada-Nya?  Tak  kupikirkan  hari  esokku, karena  aku  yakin  Tuhan itu ada  dan pengasih  dan  penyayang  kepada  umatnya  yang tawakal. Aku bangun  pagi-pagi.  Aku  bersuci.  Aku  pukul  beduk  membangunkan  manusia  dari  tidurnya,  supaya bersujud  kepada-Nya.  Aku  sembahyang  setiap  waktu.  Aku  puji-puji  Dia.  Aku  baca  Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.    Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya  Allah  kataku  bila  aku  kagum.  Apa  salahnya  pekerjaanku  itu?  Tapi  kini  aku  dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan  aku  melihat  mata  Kakek  berlinang.  Aku  jadi  belas  kepadanya.  Dalam  hatiku  aku  mengumpati Ajo  Sidi  yang begitu  memukuli hati  Kakek.  Dan  ingin  tahuku menjadikan akunyinyir  bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada  suatu  waktu,  ‘kata  Ajo  Sidi  memulai,  ‘di  akhirat  Tuhan  Allah  memeriksa  orang-orang  yang sudah  berpulang.  Para  malaikat  bertugas  di  samping-Nya.  Di  tangan  mereka  tergenggam  daftar dosa  dan  pahala  manusia.  Begitu  banyak  orang  yang  diperiksa.  Maklumlah  dimana-mana  ada perang.  Dan  di  antara  orang-orang  yang  diperiksa  itu  ada  seirang  yang  di  dunia  di  namai  Haji Saleh.  Haji  Saleh  itu  tersenyum-senyum  saja,  karena  ia  sudah  begitu  yakin  akan  di  masukkan  ke dalam  surga.  Kedua  tangannya  ditopangkan  di  pinggang  sambil  membusungkan  dada  dan menekurkan  kepala  ke  kuduk.  Ketika  dilihatnya  orang-orang  yang  masuk  neraka,  bibirnya menyunggingkan  senyum  ejekan.  Dan  ketika  ia  melihat  orang  yang  masuk  ke  surga,  ia melambaikan  tangannya,  seolah  hendak  mengatakan  ‘selamat  ketemu  nanti’.  Bagai  tak  habishabisnya orang  yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah  yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. Akhirnya  sampailah  giliran  Haji  Saleh.  Sambil  tersenyum  bangga  ia  menyembah  Tuhan.  Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidaktanya nama. Nama bagiku, takperlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu. ’
‘Lain.’
‘Ya,  Tuhanku,  tak  ada  pekerjaanku  selain  daripada  beribadat  menyembah-Mu,  menyebut-nyebut nama-Mu.  Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit,nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untukmenginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji  Saleh  tak  dapat  menjawab  lagi.  Ia  telah  menceritakan  segala  yang  ia  kerjakan.  Tapi  ia  insaf, pertanyaan  Tuhan  bukan  asal  bertanya  saja,  tentu  ada  lagi  yang  belum  di  katakannya.  Tapi menurut  pendapatnya,  ia  telah  menceritakan  segalanya.  Ia  tak  tahu  lagi  apa  yang  harus dikatakannya.  Ia  termenung  dan  menekurkan  kepalanya.  Api  neraka  tiba-tiba  menghawakan kehangatannya  ke  tubuh  Haji  Saleh.  Dan  ia  menangis.  Tapi  setiap  air  matanya  mengalir,  diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Muceritakan semuanya, o,  Tuhan  yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan  dengan  pengharapan  semoga  Tuhan  bisa  berbuat  lembut  terhadapnya  dan  tidak  salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah  kuceritakan  semuanya,  o,  Tuhanku.  Tapi  kalau  ada  yang  lupa  aku  katakan,  aku  pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan  malaikat  dengan  sigapnya  menjewer  Haji  Saleh  ke  neraka.  Haji  Saleh  tidak  mengerti  kenapa ia  di  bawa  ke  neraka.  Ia  tak  mengerti  apa  yang  di  kehendaki  Tuhan  daripadanya  dan  ia  percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah  tercengang  Haji  Saleh,  karena  di  neraka  itu  banyak  teman-temannya  di  dunia terpanggang  hangus,  merintih  kesakitan.  Dan  ia  tambah  tak  mengerti  dengan  keadaan  dirinya, karena  semua  orang  yang  dilihatnya  di  neraka  itu  tak  kurang  ibadatnya  dari  dia  sendiri.  Bahkan ada  salah  seorang  yang  telah  sampai  empat  belas  kali  ke  Mekah  dan  bergelar  syekh  pula.  Lalu Haji  Saleh  mendekati  mereka,  dan  bertanya  kenapa  mereka  dinerakakan  semuanya.  Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, takmengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita  ini?’kata Haj iSaleh kemudian,  ‘Bukankahkita di  suruh-Nya  taat beribadat, teguh  beriman?  Dan  itu  semua  sudah  kita  kerjakan  selama  hidup  kita.  Tapi  kini  kita  dimasukkanNya ke neraka.’
‘Ya,  kami  juga  heran.  Tengoklah  itu  orang-orang  senegeri  dengan  kita  semua,  dan  tak  kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita. ’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
 ‘Kalau  Tuhan  tak  mau  mengakui  kesilapan-Nya,  bagaimana?’  suatu  suara  melengking  di  dalam kelompok orang banyakitu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa  kita  revolusikan  juga?’  tanya  suara  yang  lain,  yang  rupanya  di  dunia  menjadi  pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu  tergantung  kepada  keadaan,’  kata  Haji  Saleh.  ‘Yang  penting  sekarang,  mari  kita berdemonstrasi menghadap Tuhan. ’
‘Cocok  sekali.  Di  dunia  dulu  dengan  demonstrasi  saja,  banyak  yang  kita  perolah, ’  sebuah  suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji  Saleh  yang  menjadi  pemimpin  dan  juru  bicara  tampil  ke  depan.  Dan  dengan  suara  yang menggeletar  dan  berirama  rendah,  ia  memulai  pidatonya:  ‘O,  Tuhan  kami  yang  Maha besar.  Kami yang  menghadap-Mu  ini  adalah  umat-Mu  yang  paling  taat  beribadat,  yang  paling  taat menyembahmu.  Kamilah  orang-orang  yang  selalu  menyebut  nama-Mu,  memuji-muji  kebesaranMu,mempropagandakan  keadilan-Mu,  dan  lain-lainnya.  Kitab-Mu  kami  hafal  di  luar  kepala  kami. Tak  sesat  sedikitpun  kami  membacanya.  Akan  tetapi,  Tuhanku  yang  Mahakuasa  setelah  kami Engkau  panggil  kemari,  Engkau  memasukkan  kami  ke  neraka.  Maka  sebelum  terjadi  hal-hal  yang tak  diingini,  maka  di  sini,  atas  nama  orang-orang  yang  cinta  pada-Mu,  kami  menuntut  agar hukuman  yang  Kaujatuhkan  kepada  kami  ke  surga  sebagaimana  yang  Engkau  janjikan  dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal dimana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal diIndonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya  yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
 ‘Benar.  Benar.  Benar.  Tuhan  kami.  Itulah  negeri  kami.’  Mereka  mulai  menjawab  serentak.  Karena fajar  kegembiraan  telah  membayang  di  wajahnya  kembali.  Dan  yakinlah  mereka  sekarang,  bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnyabegitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
 ‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudaknegeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya,dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami takmendapatapa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di  negeri  yang  selalu  kacau  itu,  hingga  kamu  dengan  kamu  selalu  berkelahi,  sedang  hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar,  Tuhanku.  Tapi  bagi  kami  soal  harta  benda  itu  kami  tak  mau  tahu.  Yang  penting  bagi  kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anakcucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun  anak  cucu  kami  itu  melarat,  tapi  mereka  semua  pintar  mengaji.  Kitab-Mu  mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidakdi masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada,kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta  bendamu  kaubiarkan  orang  lain  mengambilnya  untuk  anak  cucu  mereka.  Dan  engkau  lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya,  tapi  kau  malas.  Kau  lebih  suka  beribadat  saja,  karena  beribadat  tidak  mengeluarkan  peluh, tidak  membanting  tulang.  Sedang  aku  menyuruh  engkau  semuanya  beramal  kalau  engkau  miskin. Engkau  kira  aku  ini  suka  pujian,  mabuk  di  sembah  saja.  Tidak.  Kamu  semua  mesti  masuk  neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya! "
Semua  menjadi  pucat  pasi  tak  berani  berkata  apa-apa  lagi.  Tahulah  mereka  sekarang  apa  jalan yang  diridai  Allah  di  dunia.  Tapi  Haji  Saleh  ingin  juga  kepastian  apakah  yang  akan  di  kerjakannya di  dunia  itu  salah  atau  benar.  Tapi  ia  tak  berani  bertanya  kepada  Tuhan.  Ia  bertanya  saja  pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia? ’tanya Haji Saleh.
‘Tidak.  Kesalahan  engkau,  karena  engkau  terlalu  mementingkan  dirimu  sendiri.  Kau  takut  masuk neraka,  karena  itu  kau  taat  sembahyang.  Tapi  engkau  melupakan  kehidupan  kaummu  sendiri, melupakan  kehidupan  anak  isterimu  sendiri,  sehingga  mereka  itu  kucar-kacir  selamanya.  Inilah kesalahanmu  yang  terbesar,  terlalu  egoistis.  Padahal  engkau  di  dunia  berkaum,  bersaudara semuanya, tapi engkau takmempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengardari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku takpergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?"tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya.  Tadi  subuh  Kakek  kedapatan  mati  di  suraunya  dalam  keadaan  yang  mengerikan  sekali.  Ia menggoroh lehernyadengan pisau cukur."
"Astaga!   Ajo  Sidi  punya  gara-gara,"  kataku  seraya  cepat-cepat  meninggalkan  istriku  yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."
*

ANALISIS ROBOHNYA SURAU KAMI

1.      Tema
Cerpen ini merupakan cerpen yang tergolong cerpen keagaman karena terdapat nilai-nilai agama yang terkandung di dalamnya, cerpen ini memiliki tema kesalah pahaman seseorang yang beragama Tema tersebut dapat dilihat dalam percakapan antara Haji Saleh dan Tuhan-Nya yang diceritakan oleh tokoh Ajo Sidi kepada tokoh yang dipanggil Kakek, isi dalam percakapan tersebut ialah bahwa Allah tidak membenarkan kepada umatnya untuk selalu bertaqwa kepada-Nya tanpa memperdulikan kehidupannya. Sehingga, orang-orang yang hidup tanpa peduli akan kehidupan anak-istrinya dan hanya memperdulikan bagaimana ketaatannya kepada Tuhan-Nya adalah keegoisan diri sendiri dan tidak dibenarkan oleh Tuhan-Nya. Tuhan tidak hanya memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya, tapi juga bekerja serta menghidupi keluarga.
Tema tersebut juga didukung oleh dialog yang terdapat dalam cerpen, kesalahpahaman tersebut dapat dilihat dalam dialog tokoh Kakek kepada tokoh Aku:
Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. ‘Alhamdulillah’ kataku bila aku menerima karunia-Nya. ‘Astagfirullah’ kataku bila aku terkejut. ‘Masya Allah’ kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Dari dialog diatas membuktikan bahwa tokoh Kakek menjalani hidupnya hanya dengan bertaqwa kepada Allah tanpa pernah melakukan hal lain seperti membangun keluarga, dan dialog diatas merupakan kesalahpahaman tokoh Kakek tentang keinginan Tuhannya yang terlihat dalam dialog Haji Saleh dan Tuhan-Nya:
Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.
Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Dari dialog diatas membuktikan bahwa tema yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya AA.Navis ialah kesalahpahaman seseorang yang beragama.

2.      Penokohan
·         Kakek
Dalam cerpen ini Kakek merupakan tokoh yang menjadi pusat dalam cerita ini, Kakek dalam cerpen ini digambarkan menjadi seorang yang saat taat kepada Tuhan, selalu beribadah tanpa pernah mengeluh tentang kekurangannya. Namun, sifat tersebut hanyalah sebuah bukti keegoisan tokoh  Kakek yang hanya mementingkan dirinya sendiri, ia hanya memperdulikan kewajiban-Nya menyembah Tuhan dan tidak memperdulikan kewajibannya yang lain. Tokoh Kakek juga tokoh yang sangat mudah terpengaruh oleh orang lain, hal ini dapat dilihat diakhir cerita bahwa tokoh Kakek akhirnya bunuh diri karena memikirkan cerita dari tokoh Ajo Sidi.

·         Aku
Dalam cerpen ini, tokoh Aku dalam cerpen ini memiliki sifat selalu ingin tahu tentang masalah orang lain. Hal ini terlihat dari pertanyaannya saat bertemu dengan Kakek di Surau dan ia bertanya apa yang membuat Kakek gundah, pertanyaan tersebut menegaskan bahwa tokoh Aku dalam cerpen ini memiliki sifat selalu ingin tahu.


·         Ajo Sidi
Dalam cerpen ini, Ajo Sidi hanya muncul melalui percakapan antara tokoh Kakek dan tokoh Aku. Tokoh ini merupakan tokoh yang menjadi sumber dari puncak cerita yang terdapat dalam cerpen ini. tokoh Ajo Sidi digambarkan oleh tokoh Aku sebagai tokoh yang tukang bual, karena semua ceritanya membuat semua orang terpikat. Dalam akhir cerpen ini dijelaskan bahwa tokoh Ajo Sidi merupakan tokoh yang giat bekerja.

·         Haji Saleh
Haji Saleh dalam cerita ini sebenarnya bukanlah tokoh asli dalam cerita ini, ia hanyalah tokoh yang diciptakan oleh tokoh lain dalam cerita yakni Ajo Sidi. Tokoh ini terlihat sangat hidup dari cerita Ajo Sidi, tokoh ini digambarkan sebagai orang yang sangat beribadah namun tidak memperdulikan keluarganya sehingga keluarganya selalu miskin. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tokoh ini memiliki sifat terlalu mementingkan diri sendiri.

3.      Latar
a.       Latar Sosial
Latar sosial yang terdapat dalam cerpen ini dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan para tokoh, hal tersebut dapat dilihat dari narasi yang terdapat dalam cerpen yakni:
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
 Dari dua paragraf narasi tersebut terlihat kebiasaan tokoh Kakek yang suka duduk di pelataran kiri surau dan ia sudah bertahun-tahun menjadi penjaga surau. Kemudian dapat dilihat bahwa masyarakat dalam cerpen tersebut memberikan sedekah kepada tokoh Kakek sekali se-Jumat dan fitrah Id sekali setahun. Latar sosial yang lain juga dapat dilihat dari orang-orang dalam cerpen tersebut yang suka meminta tolong kepada Kakek untuk mengasah pisau atau gunting.

b.      Latar Fisik
·         Latar dimensi ruang
Latar ruang dalam cerpen ini tidak digambarkan secara langsung melainkan secara tersirat dari narasi-narasinya, seperti:
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
Dalam narasi tersebut tidak digambarkan tempat yang didatangi tokoh aku, namun secara tidak langsung pembaca akan langsung mengetahui bahwa tokoh aku datang di surau tua di perkampungan tersebut karena tokoh aku mengungkapkan bahwa ia datang menemui Kakek. Sehingga, latar ruang yang terdapat dalam narasi tersebut ialah Surau yang dijaga oleh tokoh Kakek.






·         Latar dimensi waktu
Latar waktu yang terdapat dalam cerpen ini juga tidak digambarkan secara jelas, namun dapat dilihat dari narasi atau dialog yang terdapat didalam cerpen, seperti:
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
Dalam narasi tersebut disebutkan “besoknya” sehingga secara tidak langsung menunjukkan waktu yang terdapat dalam cerpen sekalipun tidak diungkapkan secara rinci hari atau suasana waktu yang terdapat dalam cerpen.

4.      Sudut Pandang
Sudut pandang yang dipakai dalam cerpen ini ialah sudut pandang orang pertama bukan utama (first person peripheral), karena dalam cerita tersebut tokoh Aku yang terdapat dalam cerita bukanlah pusat dari cerita melainkan hanya sebagai tokoh yang menceritakan tentang tokoh lain, yakni tokoh Kakek.

5.      Alur
Jika dilihat dari urutan waktu yang terdapat dalam cerpen, maka cerpen ini termasuk cerpen yang beralur mundur karena dikisahkan melalui kisah sekarang lalu mundur dengan menceritakan kisah sebelumnya. Kelima bagian alur yang terdapat dalam cerpen ini disusun secara runtut, dimulai dari:
a.       Pengarang mulai melukiskan keadaan, hal tersebut dapat dilihat di awal cerpen tentang penggambaran tempat dalam cerpen ini sebelum menceritakan kisah yang terdapat dalam cerpen.
b.      Peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak, hal tersebut dapat dilihat dipertengahan awal cerita saat pengarang mulai menceritakan kisah yang terdapat dalam cerpen, sehingga mulai kembali ke waktu sebelum masa sekarang yang terdapat dalam cerpen.
c.       Keadaan mulai memuncak, hal tersebut dapat dilihat dipertengahan cerita saat tokoh Kakek menceritakan ucapan tokoh Ajo Sidi kepada tokoh Aku.
d.      Peristiwa-peristiwa klimaks, hal tersebut dapat dilihat dari pertengahan akhir cerita dalam dialog-dialog Haji Saleh dan Tuhan-Nya.
e.       Pengarang memberikan pemecahan soal dan semua peristiwa, hal tersebut dapat dilihat diakhir cerita saat pengarang menceritakan bahwa tokoh Kakek meninggal karena bunuh diri.
6.      Sekuen
Cerita ini diawali dengan tokoh Aku yang menceritakan kota kelahirannya, ia menceritakan bahwa tempat tinggalnya berada satu kilometer dari pasar. Kampung tempat tinggalnya terdapat sebuah surau tua dengan kolam ikan berada di depannya. Ia bercerita dulu surau itu dijaga oleh seorang laki-laki yang dipanggil oleh masyarakat kampungnya Kakek. Kakek hidup dengan menerima sedekah dari orang-orang kampung, orang-orang kampung lebih mengenalnya sebagai pengasah pisau karena kemahirannya. Orang-orang kampung suka meminta tolong kepadanya untuk mengasah pisau atau gunting dengan memberikan bayaran seadanya, bahkan lebih sering dengan ucapan terima kasih. Sekarang kakek telah tiada, surau tua itu hanya menjadi bangunan yang mulai roboh karena ulah manusia jaman sekarang yang tidak mau merawat sesuatu yang tidak mempunyai penjaga. Kakek meninggal karena sebuah dongeng yang tidak dapat disangkal kebenarannya.
Tokoh Aku datang menemui Kakek, biasanya Kakek tersenyum akan kedatangannya karena tokoh aku suka memberikan Kakek uang tapi saat itu kakek bermuram durja bahkan salamnya tidak dihiraukan. Sehingga, bertanyalah tokoh Aku kepada Kakek penyebabnya. Kakek menceritakan bahwa penyebabnya adalah Ajo Sidi. Tokoh Aku menyebut Ajo  Sidi si pembual karena suka bercerita sesuatu yang membuat semua orang terpikat. Kakek bercerita bahwa ia marah mendengar cerita Ajo Sidi, Ajo Sidi mengatakan bahwa Kakek adalah umpan neraka. Kakek bercerita bahwa sedari muda ia tidak pernah berhenti menyembah Allah, bahkan ia tidak memiliki keluarga hanya demi beribadah kepada Allah tapi Kakek mengatakan bahwa Ajo Sidi menganggapnya orang terkutuk.
Ajo Sidi menceritakan kepada Kakek, cerita Haji Saleh yang telah berada di akhirat. Haji Saleh adalah orang yang sangat taat beribadah, anak, istri, dan cucunya diajari mengajari dan beribadah seperti dirinya, namun ia dimasukkan oleh Tuhan-Nya di neraka. Saat Haji Saleh melakukan demo tentang keputusan ia dimasukkan ke neraka, Tuhan mengatakan bahwa ia keliru jika hanya menyembah dirinya dan mengajarkan anak-cucunya beribadah seperti dirinya. Tuhan mengatakan bahwa semua itu tidak dimasukkan dalam hati, karena apabila Haji Saleh mengamalkan ibadah tersebut secara benar maka ia tidak akan membiarkan anak-cucunya untuk terus hidup melarah dan teraniaya karena keegoisannya yang hanya ingin menyembah Tuhan. Ia dimasukkan kedalam neraka bukan karena ia tidak beribadah tapi karena ia melupakan kehidupan sekitarnya sehingga menelantarkan istri dan anak-cucunya.
Cerita tersebutlah yang membuat Kakek murung.
Keesokkan harinya, pagi-pagi sekali istri tokoh aku menyuruhnya untuk pergi menjenguk Kakek yang telah meninggal. Istrinya bercerita bahwa Kakek meninggal karena menggoroh lehernya dengan pisau cukur. Tokoh Aku marah dan menghampiri rumah Ajo Sidi untuk meminta pertanggung jawaban akan peristiwa yang terjadi karena  Ajo Sidi. Disana ia hanya bertemu dengan istri Ajo Sidi, ia megatakan bahwa Ajo Sidi pesan untuk membelikan Kakek kain kafan tujuh lapis tapi saat itu ia sedang pergi bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar