Minggu, 01 April 2018

Analisis Semiotik pada Kumpulan Puisi "Lautan Jilbab" Karya Emha Ainun Najib

BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Sejak kelahirannya, puisi sudah menunjukkan ciri-ciri khas yang telah kita kenal sekarang meskipun puisi telah mengalami perkembangan dan perubahan tahun demi tahun. Sejak di dalam konsepnya, seorang penyair telah mengkonsentrasikan segala kekuatan bahasa dan mengkonsentrasikan gagasan untuk melahirkan puisi. Untuk memahami puisi muncullah ciri-ciri karakteristik puisi dan unsur-unsur yang membedakan puisi dari karya sastra yang lainnya. Dari segi bentuk fisik yang terlihat dalam karya tulis dan dari segi bentuk pengucapan batinnya puisi menunjukkan perbedaannya dengan prosa dan drama.
Dalam menghadapi sebuah puisi, kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyair. Pada pokoknya puisi dibangun oleh dua unsur pokok, yakni struktur fisik yang berupa bahasa yang digunakan dan struktur batin atau struktur makna, yakni pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Kedua unsur tersebut merupakan kesatuan yang saling jalin-menjalin secara fungsional. Penyair mempunyai maksud tertentu mengapa baris-barisnya dan bait-baitnya disusun sedemikian rupa, mengapa digunakan kata-kata, lambang, kiasan, dan lain sebagainya. Bahkan, karena yang digunakan adalah kata-kata yang dikonsentrasikan, yang dipadatkan, maka semua yang diungkapkan oleh penyair harus bermakna. Tidak boleh mengungkapkan sesuatu tanpa makna dan maksud yang terkandung.
Dalam makalah ini, penulis ingin menjabarkan mengenai analisis semiotik yang terdapat dalam kumpulan puisi berjudul Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. Anilisis ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam sajak-sajak dalam sebuah puisi. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2012: 120-121), menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak karena karya sastra merupakan struktur yang bermakna dan juga memiliki sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.
Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Sistem ketandaan itulah yang selanjutnya disebut dengan semiotik.
Kumpulan puisi berjudul Lautan Jilbab oleh Emha Ainun Nadjib ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1989 dengan judul Syair Lautan Jilbab, yang kemudian diperbaharui pada tahun 1991 dengan judul Lautan Jilbab. Di dalam kumpulan puisi tersebut terdapat 33 puisi dengan tema islami yakni tentang wanita dengan berbagai judul yang sangat menarik. Dalam makalah ini, penulis akan menganalisis beberapa puisi yang terdapat didalam kumpulan puisi tersebut dengan menggunakan metode analisis semiotik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan manusia. Sehingga, analisis semiotik yang dipakai penulis dalam makalah ini ialah analisis yang bertujuan untuk menganalisa tanda dan lambang yang berartikan makna atas bahasa yang digunakan dalam puisi-puisi Lautan Jilbab.

II.                Rumusan Masalah
1.      Siapakah Emha Ainun Nadjib?
2.      Bagaimana analisis semiotik dalam puisi-puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib?

III.             Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui makna-makna bahasa sebagai sistem semiotik yang digunakan dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib.



BAB II
PEMBAHASAN
I.                   Perkembangan Puisi di  Indonesia
Dalam perkembangannya di Indonesia, dikenal berbagai jenis tipografi dan model puisi yang menunjukkan struktur puisi tersebut. Ciri-ciri struktur puisi dari jaman ke jaman dan dari periode ke periode tidak hanya ditandai oleh perbedaan unsur fisik, tetapi juga oleh struktur makna atau tematiknya. Perkembangan puisi di Indonesia diawali dengan munculnya mantra yang merupakan puisi tertua di dunia.
Mantra terdapat di dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia yang berhubungan erat dengan sikap religius manusia sehingga mantra bersifat sakral. Kemudian, muncullah pantun dan syair yang merupakan jenis puisi lama yang paling terkenal. Pantun dan syair menunjukkan ikatan yang kuat dalam struktur kebahasaan atau tipografik atau struktur fisiknya yang bersifat anonim atau menyembunyikan penciptanya. Pantun sendiri ialah puisi asli Indonesia, hampir di semua daerah di Indonesia terdapat tradisi berpantun. Kemudian terdapat pula puisi jawa yang memiliki keunikan yakni struktur fisik dan struktur batin berpadu dengan seksama yang artinya struktur fisik tidak dapat dilepaskan dari struktur batin dan begitu juga sebaliknya.
Selanjutnya ialah puisi baru, yakni Angkatan Balai Pustaka yang pada penulisannya masih banyak dipengaruhi oleh puisi lama dan Angkatan Pujangga Baru yang benar-benar menciptakan puisi baru. Angkatan Pujangga Baru berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan puisi lama sekalipun ikatan itu masih sedikit terlihat pada puisi baru. Selanjutnya, perkembangan puisi Indonesia beralih pada
Puisi Angkatan 45 yang benar-benar terjadi revolusi dalam puisi, ikatan puisi lama sudah benar-benar ditinggalkan dengan Chairil Anwar sebagai pelopor berdirinya bentuk puisi pada masa ini. kemudian yang terakhir ialah puisi kontemporer dimana Sutardji Calzoum Bachri sebagai pembaharu dunia puisi di Indonesia.




II.                Biografi Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib atau yang biasa disapa dengan Cak Nun dilahirkan di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 27 Mei 1953. Ia adalah putra keempat dari lima belas bersaudara dari pasangan H.A. Lathif dan Halimah.
Setelah ia tamat Sekolah Dasar di desanya ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Gontor. Pada tahun 1968, ia dikeluarkan dari Pondok Gontor akibat melakukan demo melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik. Kemudian, ia dipindahkan ke Yogyakarta dan menempuh ujian di SMP Muhammadiyah IV Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di SMA Muhammadiyah IV Yogyakarta. Pada masa SMA, ia lagi-lagi berpindah sekolah di SMA 1 Yogyakarta. Hingga pendidikannya berakhir di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang hanya ditempuhnya dengan kurun waktu 4 bulan.
Cak Nun mulai mempelajari sastra antara tahun  1970-1975 pada guru yang sangat dikaguminya, Umbu Landu Paranggi yang kemudian menjadi orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan Cak Nun. Pada masa ini, ia menjalani proses kreatif bersama penyanyi Ebiet G. Ade, penyair Eko Tunas, dan penulis EH. Kartanegara.
Cak Nun mengikuti lokakarya teater di Filipina pada tahun 1980, International  Writing Program di Universitas Lowa, Amerika Serikat pada tahun 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda pada tahun 1984, dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman pada tahun 1985.
Dalam kesehariannya, Cak Nun terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi rakyat. Kajian-kajian islami yang diselenggarakan Cak Nun antara lain: Jamaah Maiyah Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali.
Cak Nun juga aktif dalam dunia teater yang berawal dari jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu. Ia aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama.
Cak Nun telah menghasilkan puluhan karya yang terdiri dari puisi, cerpen, buku, hingga naskah drama. Di Indonesia, namanya dikenal sebagai seorang seniman, budayawan, penyair, pemikir. Ia adalah salah tokoh intelektual di Indonesia yang mengusung napas islami. Menjelang jatuhnya pemerintahan Soeharto, ia merupakan salah satu tokoh yang diundang di Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya yang kemudian kalimatnya diadopsi oleh Soeharto, yakni “Ora dadi presiden ora patheken”.

III.             Analisis Semiotik Pada Kumpulan Puisi Lautan Jilbab
Penyangga `Arsy
O, beribu jilbab!
O, lautan!
Bergerak ke cakrawala

Lautan penyangga
Beribu jilbab perawat peradaban

Barisan ummat terjaga dari tidur
Pergi berdayun memasuki diri sendiri

Lautan jilbab
Bersemayam dijagat mut mainna
Bergerak diwarga iman, belajar menyapa dusta

Biarkan air mata mengucur
Tapi jangan kalian menangis

Duka membelit-belit
Tapi kalian tak bersedih

Kuman apa yang kalian sandang dari tangan sejarah?
Dari abad yang tak kenal diri sendiri?
Tangan kalian mengepal
Memukul-mukul dada

Amarah kalian menggumpal
Namun jiwa lembut bagai ketiadaan

O, lautan jilbab
Bergerak ke janji Tuhan
Dengan mulut bisu mengajarkan keabadian

Makna dari puisi itu adalah betapa mulia ribuan jilbab (kaum wanita), dimata Allah SWT karena disebut sebut sebagai barisan umat yang selalu terjaga dari tidurnya dan betapa mulianya kaum wanita yang mempunya jiwa mut mainna, pada petikan kata “O, beribu jilbab! O, lautan! Bergerak ke cakrawala” maksudnya kekaguman yang bentuk kalimatnya terbang diatas cakrawala yang teramat tinggi. Selanjutnya pada lirik “larutan penyangga `Arsy beribu jilbab perawat peradaban” maksudnya `Arsy merupakan tempat penghuni yang merawat peradaban. Pada petikan kata “lautan jilbab bersemayam dijagat mutma`innah bergerak di sorga iman, belajar menyapu dusta” maksudnya adalah golongan wanita-wanita berjiwa mut`mainnah serta selalu menjaga keimanan kepada Allah dan selalu meninggalkan perbuatan buruk. Bahkan disaat duka menyelimuti dengan berbagai cobaan yang diberikan Allah kepadanya, ia pun tak menangisinya, karena kesabaran yang begitu luar biasa. Hal ini sesuai dengan petikan kata “biarkan air mata mengucur, tapi jangan menangis duka membelit-belit, tapi kalian tak bersedih”
Saat amarah datang melingkupi  diri ia pun tak pernah meronta dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh mulia hati wanita seperti petikan puisi “Amarah kalian menggumpal, namun jiwa lembut bagaikan ketiadaan”. Maka penutup bait ini menggambarkan betapa nikmat Allah yang diberikan kepada hamba wanita yang selalu beriman kepadanya dengan menuju surge yang merupakan janji Allah SWT diakherat dengan segala keabadian. “O, lautan jilbab, bergerak ke janji tuhan dengan mulut bisu mengajarkan keabadian” Maksudnya adalah mengajarkan tentang hikmah mencintai Allah dengan jiwa yang suci sebagai wujud keimanan kita pada Allah.
Dapat kita simpulkan, dalam puisi lautan penyangga ini, matriknya adalah tema terbesar dari puisi, sedangkan matrik puisi larutan penyangga ini yaitu kemuliaan kaum wanita yang berjilbab sebagai penghuni surga di akherat. Dan model adalah lautan berjilbab seperti di teks sedangkan variannya adalah Beribu jilbab disebut sebagai perawat peradaban, Bergerak ke cakrawala, terjaga di mut mainnah seperti yang tertera di teks. Keidaklangsungan ekspresi  ada tiga yaitu pengganti arti, penyimpangan atau perusakan arti dan penciptaan arti. Yang pertama pengantian arti contoh pada kata “Dengan mulut bisu mengajarkan keabadian” artinya  jiwa yang suci, tidak berbicara jelek kepada orang lain, tidak ngrasani orang lain adalah salah satu contoh wajud keimanan kita pada Allah. Salah satu majas metafora.  Selain itu kata ““Amarah kalian menggumpal, namun jiwa lembut bagaikan ketiadaan.” itu  merupakan majas  simile karna ada kata bagaikan yang artinya walau amarah menyerbu tapi hatinya dia tak mengeluh seperti tidak terjadi apa-apa, dia tetap mendekatkan diri kepada Allah. Contoh penciptaan arti yaitu pada bait pertama yaitu “O, lautan! Bergerak ke cakrawala” dan pada bait terakhir “O, lautan jilbab ,Bergerak ke janji Tuhan” selain bermakna kekaguman kaum wanita berjilbab terbang diatas cakrawala yang amat tinggi selain itu juga bermakna kalau kaum wanita beriman kepada Allah dan Allah menjanjikan barang siapa beriman kepadanya akan menjadi penghuni surge di akherat.
Pembacan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur pembacaannya bisa juga disebut pembacaan awal. Pembacaan puisi “larutan penyangga” pembacaan “tata bahasa”  ceritanya yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan, pembacaan ini dapat berupa synopsis. Cerita yang beralur sorot balik yang dibaca lurus. Pembacaan secara heuristik adalah penerangan bagian bagian secara berurutan. Dalam pembacaan heuristic ini sajak dibaca dalam struktur kebahasaan. Untuk memperjelas arti, kata katanya di taruh didalam kurung dan struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku.
Bait 1
O, (golongan) beribu jilbab! O, (seperti) lautan! Bergerak ke (atas) cakrawala
Bait  2
Lautan penyangga, Beribu (kaum wanita)  jilbab perawat  peradaban
Bait ke 3
Barisan ummat (yang) terjaga dari tidur(nya), Pergi berdayun (dan) memasuki diri sendiri
Bait ke 4
Lautan jilbab, Bersemayam di (dalam) jagat mut mainna, Bergerak diwarga iman, belajar menyapa dusta
Bait ke 5                          
Biarkan air mata (saja) mengucur, Tapi jangan (lah)  kalian menangis
Bait ke 6
Kuman apa yang kalian sandang dari tangan sejarah?, Dari abad yang tak (pernah) kenal diri sendiri?
Bait ke 7
Tangan kalian mengepal, Memukul-mukul dada
Bait ke 8
Amarah kalian menggumpal, Namun jiwa (tetap) lembut bagai ketiadaan
Bait ke 9
O, lautan jilbab, Bergerak ke (dalam) janji Tuhan, Dengan mulut (yang) bisu (lalu)  mengajarkan keabadian
Sedangkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan tingkat kedua setelah pembacaan heuristik. Memberikan makna pada ketaklangsungan ucapan. Contoh pembacaan hermeneutic pada puisi “larutan penyangga” sebagai berikut :
Bait ke 1
O, (golongan) beribu kaum wanita-wanita yang mengenakan jilbab! O, (seperti) lautan! Yang begitu  tenang tanpa ombak, menyenangkan semua orang hingga Bergerak ke (atas) cakrawala
Bait ke 2
Lautan penyangga, Beribu (kaum wanita) mengenakan jilbab perawat bagi penghuni peradaban di dunia maupun di akherat yang senantiasa beriman kepada Allah yang menjalankan perintah-perintah Allah juga menjauhi larangan nya

Bait ke 3
Barisan ummat kaum manusia terutama bagi kaum hawa (yang) terjaga dari tidur(nya) dan menjaga keimanannya maka bagai  Pergi berdayun (dan) memasuki diri sendiri kedalam surge milik Allah SWT.
Bait ke 4
Lautan golongan wanita kaum berjilbab, Bersemayam atau berjiwa di (dalam) jagat mut mainna, Bergerak diwarga yang beriman , belajar menyapa dusta atau menghindari perbuatan buruk yang dirang oleh Allah.
Bait ke 5
Biarkan air mata  (saja) dari dalam hati yang mengucur, Tapi jangan (lah)  sesekali kalian menampakkan kalau kalian menangis
Bait ke 6
Kuman apa yang kalian atau kaum wanita wanita sandang dari tangan sejarah nabi Muhammad untuk berjilbab?, Dari ke sekian abad yang tak (pernah) kenal diri sendiri?
Bait 7
Tangan kalian  mengepal, pertanda bahwa kali bisa memegang agama dengan baik dan Memukul-mukul dada sehingga kalian bisa berbicara dalam hati bahwa perilaku baiklah yang Allah senangi
Bait ke 8
Boleh saja amarah kalian menggumpal, Namun jiwa (tetap) lembut bagai ketiadaan karna beriman kepada allah mengantarkan kita menuju surga.
Bait ke 9
O, lautan kaum jilbab, Bergerak ke (dalam) janji Tuhan yaitu menuju surge, berimanlah berimanlah berimanlah , Dengan mulut (yang) bisu yang tidak menjelekkan orang lain, yang tidak ngrasani (lalu)  mengajarkan keabadian yang penuh ketenangan.
Selain itu intelektualitas yaitu hubungan antar teks yaitu hipogram dan teks transformasi. Teks transformasi adalah objek yang di teliti. Dalam lautan penyangga yang di teliti adalah kaum wanita berjilbab, di puisi ini sering menyebutkan kata “lautan jilbab” yang beriman kepada Allah untuk menggapai surganya . sementara hipogramnya adalah pengetahuan tentang kemuliaan kaum kaum wanita. Pengarang ingin memberitahu tentang kemualian kaum wanita yang berjilbab bahwa senantiasa beriman kepada Allah dan nanti di akherat menggapai surganya

Merawat Rahasia
Wanita yang memamerkan pahanya
Hendaklah jangan tersinggung
Kalau para lelaki memandangnya
Sebab demikianlah hakekat tegur sapa
Siapa ingin tak menyapa tak disapa
Tinggallah di balik yang tertutup pintunya
Orang berhak mengetuk dan memasukinya
Maka dengan menonjolkan auratnya
Wanita memberi hak kepada laki-laki siapa saja
Untuk menatapi benda indah suguhannya
Serta membayangkan betapa nikmat rasanya
Hendaklah wanita mempunyai rasa sayang
Dengan tidak menyodorkan godaan
Yang tak ada manfaatnya kecuali untuk
dipandang
Adapun lelaki, sampai habis usia
Hanya bisa berkata: betapa indah wanita!
Maka bantulah ia merawat rahasia
Yang hanya boleh dikuakkan oleh isterinya
           


Puisi Emha Ainun Nadjib tersebut, berisikan himbauan khususnya kepada wanita untuk menjaga auratnya dari pandangan laki-laki yang bukan merupakan suaminya. Nilai religiusitas sangat kuat dan terdapat didalam puisi tersebut . Walaupun tidak dituliskan secara langsung, pembaca dapat memahami nilai religius tersebut yang terdapat dalam isi keseluruhan puisi. Secara intrinsik puisi ini mencerminkan tentang kereligiusan Emha dalam karya "Merawat Rahasia". Hal itu dikarenakan, menurut ajaran serta akidah dalam Islam seorang wanita hendaknya memkai pakaian yang pantas, sopan, serta menutup aurot. Salah satunya, wanita bisa memakai jilbab yang sesuai dan telah dianjurkan di dalam islam. Sehingga dapat dipahami, bahwa Allah memberikan anugerah yang besar kepada kaum wanita dan menciptakan keindahan bagi seorang wanita agar mereka juga bisa untuk menjaganya dengan baik.
            Makna dari puisi tersebut adalah bahwa wanita dianjurkan untuk menjaga aurotnya dari pandangan laki-laki yang bukan suaminya. Allah menjaga kehormatan kaum wanita dari godaan kaum laki-laki yang mudah tertarik dengan keindahan yang dimiliki oleh kaum wanita. Seperti pada bait pertama hingga keempat:
"Wanita yang memamerkan pahanya
Hendaklah jangan tersinggung
Kalau para lelaki memandangnya
Sebab demikianlah hakekat tegur sapa"
            Dapat dipahami, bila laki-laki tidak akan tergoda oleh keindahan yang dimiliki wanita apabila mereka bisa menjaga dan menyembunyikannya. Seperti hakekat dalam bertegur sapa yang saling timbal balik satu sama lain. Laki-laki yang memandangi apa yang ditunjukkan oleh wanita bukanlah murni kesalahannya, seandainya saja wanita tersebut tidak memulai untuk memamerkan sesuatu kepada laki-laki yang bukan mukhrimnya. Kemudian:
"Siapa ingin tak menyapa tak disapa
Tinggallah di balik yang tertutup pintunya
Orang berhak mengetuk dan memasukinya"
           

Pada kutipan tersebut berkesinambungan arti dengan kutipan yang ditulis oleh penyair pada bait berikutnya:
"Maka dengan menonjolkan auratnya
Wanita memberi hak kepada laki-laki siapa saja
Untuk menatapi benda indah suguhannya
Serta membayangkan betapa nikmat rasanya"
            Puisi tersebut menunjukkan, bahwa kaum laki-laki akan tergoda dengan keindahan wanita yang dengan sengaja memamerkan keindahan dirinya. Sudah sewajibnya bila wanita hendaknya berpakaian sepantasnya untuk menjaga mereka dari pandangan laki-laki yang bukan merupakan suaminya. Sebab, dalam kehidupan sosial dan hal tersebut terkait dengan etika, jika keduanya bertemu secara "tidak keberatan" maka akan terjadi sesuatu yang nantinya akan melanggar norma dalam kehidupan masyarat. Baik berupa norma agama, norma adat, dan norma sosial. Serta pada bait berikutnya:
"Hendaklah wanita mempunyai rasa sayang
Dengan tidak menyodorkan godaan
Yang tak ada manfaatnya kecuali untuk
dipandang
Adapun lelaki, sampai habis usia
Hanya bisa berkata: betapa indah wanita!
Maka bantulah ia merawat rahasia
Yang hanya boleh dikuakkan oleh isterinya"
            Kutipan diatas berisikan himbauan kepada wanita untuk tidak memamerkan keindahan yang dimiliki. Yakni, dengan menyodorkan godaan yang tidak diperuntukkan kepada laki-laki yang bukan merupakan suaminya. Agar, laki-laki tersebut hanya bisa berangan dan tidak bertindak kepada hal yang dapat merusak kehormatan wanita. Menghidarkan wanita dari nafsu laki-laki. Wanita diminta untuk menjaga keindahan tersebut, sampai saat ia menikah. Dan berhak memperlihatkannya kepada suaminya kelak.
           

Dalam pembacaan heuristik ini sajak dibaca dalam struktur kebahasaan. Untuk memperjelas arti, kata tersebut di taruh didalam kurung dan struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku.
Bait 1:
Wanita (yang) memamerkan pahanya
Bait 2:
Hendak(lah) jangan tersinggung
Bait 3:
Kalau para lelaki memandang(nya)
Bait 4:
Sebab demikianlah (hakekat) tegur sapa
Bait 5:
Siapa ingin tak menyapa tak disapa
Bait 6:
Tinggallah di balik (yang) tertutup pintunya
Bait 7:
Orang berhak (mengetuk) dan memasukinya
Bait 8:
Maka dengan (menonjolkan) auratnya
Bait 9:
Wanita memberi hak kepada laki-laki siapa saja
Bait 10:
Untuk menatapi benda indah (suguhannya)
Bait 11:
Serta membayangkan betapa (nikmat) rasanya
Bait 12:
Hendaklah wanita mempunyai rasa (sayang)
Bait 13:
Dengan tidak menyodorkan (godaan)
Bait 14:
Yang tak ada manfaatnya kecuali untuk
dipandang
Bait 15:
Adapun lelaki, sampai habis usia
Bait 16:
Hanya bisa berkata: betapa indah wanita!
Bait 17:
Maka bantulah ia (merawat) (rahasia)
Bait 18:
Yang hanya boleh (dikuakkan) oleh isterinya






Sedangkan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan tingkat kedua setelah pembacaan heuristik. Memberikan makna pada ketaklangsungan ucapan. Contoh pembacaan hermeneutic pada puisi “Merawat Rahasia” sebagai berikut :
Bait 1:
Wanita (yang) memamerkan pahanya pada kondisi yang tidak sepantasnya
Bait 2:
Hendak(lah) jangan tersinggung seandainya ada yang mengetahui dan memandangi yang telah dipamerkan
Bait 3:
Kalau para lelaki memandang(nya) tanpa disetujui oleh wanita.
Bait 4:
Sebab demikianlah (hakekat) seseorang saat berada pada kondisi saling tegur sapa
Bait 5:
Siapa ingin tak menyapa tak disapa
Bait 6:
Tinggallah di balik (yang) disembunyikan dan dijaga selama hidupa dari pandangan hawa nafsu sehingga tertutup pintunya
Bait 7:
Orang berhak (mengetuk) keindahan yang dipamerkan dengan sengaja dan memasukinya
Bait 8:
Maka dengan (menonjolkan) auratnya kepada laki-laki yang  bukanlah suaminya
Bait 9:
Wanita memberi hak kepada laki-laki siapa saja

Bait 10:
Untuk menatapi benda indah (suguhannya) berupa keindahan dan dapat merusak kehormatan yang selama ini dijaga dari hawa nafsu laki-laki
Bait 11:
Serta membayangkan betapa (nikmat) keindahan yang diberikan dengan sengaja untuk menikmati rasanya
Bait 12:
Hendaklah wanita mempunyai rasa (sayang) menjaga anugrah Tuhan yang telah diberikan. Karena wanita adalah makhluk yang istimewa.
Bait 13:
Dengan tidak menyodorkan (godaan) yang bersumber dari tipu muslihat setan kepada khalayak dengan mengumbar aurot tanpa mengetahui bahaya yang ditimbulkan. Dan sudah pasti dilarang oleh agama.
Bait 14:
Yang tak ada manfaatnya kecuali untuk
dipandang
Bait 15:
Adapun lelaki, sampai habis usia
Bait 16:
Hanya bisa berkata: betapa indah wanita!
Bait 17:
Maka bantulah ia (merawat) anugerah dari Tuhan kepadanya dan selamanya akan menjadi (rahasia) sampai tiba waktunya saat ia telah menikah


Bait 18:
Yang hanya boleh (dikuakkan) seluruh keindahan tersebut oleh isterinya kepada suami yang telah menjadi mukhrimnya.
            Selain itu intelektualitas yaitu hubungan antar teks yaitu hipogram dan teks transformasi. Teks transformasi adalah objek yang di teliti. Dalam "Merawat Rahasia" yang di teliti adalah menjaga kehormatan wanita dari pandangan nafsu kaum laki-laki.. Sementara hipogramnya adalah pengetahuan tentang kemuliaan kaum wanita. Pengarang ingin memberitahu tentang kemualian kaum wanita yang menutup aurotnya yang nanti akan terhindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Hal tersebut juga dilakukan agar wanita senantiasa beriman kepada Allah dan nanti di akherat menggapai surganya.



BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Emha Ainun Najib telah menghasilkan puluhan karya yang terdiri dari puisi, cerpen, buku, hingga naskah drama. Di Indonesia, namanya dikenal sebagai seorang seniman, budayawan, penyair, pemikir. Ia adalah salah tokoh intelektual di Indonesia yang mengusung napas islami. Kumpulan puisi berjudul Lautan Jilbab oleh Emha Ainun Nadjib ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1989 dengan judul Syair Lautan Jilbab, yang kemudian diperbaharui pada tahun 1991 dengan judul Lautan Jilbab. Di dalam kumpulan puisi tersebut terdapat 33 puisi dengan tema islami yakni tentang wanita dengan berbagai judul yang sangat menarik. Kumpulan puisi ini berisi tentang pesan moral yang secara tidak langsung mengandung tema pendidikan kepribadian muslim, hal ini terlihat dalam setiap judul puisi yang terdapat dalam puisi tersebut serta dapat dilihat melalui bahasa yang digunakan dalam puisi-puisi tersebut. Puisi-puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut menggunakan bahasa yang sangat gamblang yang menjadikan puisi ini unik, dan bahasa itulah yang memberikan pelajaran moral dalam pembentukan karakter seorang muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cetakan Kelima. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Depdiknas. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. http://kbbi.web.id diakses pada 24 Mei 2015.
Nadjib, Emha Ainun. 1991. Lautan Jilbab. Yogyakarta: Sippress.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Cetakan Ketigabelas. Yogyakarta: Gadjah  Mada University Press.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
_______________. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wikipedia. “Emha Ainun Nadjib”. http://id.wikipedia.org/wiki/emha_ainun_nadjib diakses pada 24 Mei 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar