Fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani “phainestai”
yang berarti menunjukkan dan menampakkan diri sendiri. Fenomenologi
diperkenalkan oleh Edmund Husserl yang kemudian dikembangkan oleh M.Acheler dan
M. Merlau Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa kita harus mengenalkan
gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan
argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori-teori umum. Fenomenologi dapat
diartikan menunjukkan dan menampakkan kesadaran diri sendiri.
Secara
umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi, yang pertama ia
merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme. Yang kedua, sebagai pemikiran
kritisme Immanuel Kant yang merupakan filsuf dasar fenomenologi, tentang proses
pengetahuan manusia adalah suatu proses sintesa antara apa yang disebut dengan apriori (bentuk pengetahuan yang didapat
sebelum pengalaman atau bisa dianggap sebagai teori) dan aposteori (terapan yang didapat setelah pengalaman). Bagi Immanuel Kant, kebenaran hanya
terbatas dunia dan fenomena, Immanuel Kant mengatakan bahwa objek itu harus ada
dalam diri sendiri dan kemudian harus kembali ke objek.
Para
ahli mengartikan fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami,
mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran
filsafat. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang
murni, yaitu:
1) Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif, yaitu membebaskan diri dari pikiran tentang pengetahuan atau sejarah. Dilakukan dengan menggunakan metode reduksi, yaitu fenomenologi, editis, dan transidental. 2) Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis. 3) Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
1) Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif, yaitu membebaskan diri dari pikiran tentang pengetahuan atau sejarah. Dilakukan dengan menggunakan metode reduksi, yaitu fenomenologi, editis, dan transidental. 2) Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis. 3) Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Eksistensialisme
lahir karena adanya paham idealisme yang secara umum merupakan suatu aliran
filsafat yang muncul akibat ketidakpuasan beberapa filosof yang memandang bahwa
filsafat pada masa Yunani hingga Modern, seperti protes terhadap rasionalisme
Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia.
Eksistenialisme
menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa
memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Seorang
eksistensialis menyadari bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karena itu
masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensi
diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, menusia
dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan
berdasarkan pengalaman yang konkret. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pusat
renungan eksistenialisme adalah manusia. Eksistensialisme memandang manusia
sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh
dirinya, karena hanya manusialah yang bisa bereksistensi, yang sadar akan
dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Eksistensialisme
mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat
kebebasan.
Jean
Paul Sartre berpendapat bahwa pada kebebasan manusia, setelah diciptakan
mempunyai kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi
diri sendiri. Jean Paul Sartre mengatakan, “hilangkan makna atas dunia, biar
‘aku’ yang memberi makna” yang mempunyai maksud yaitu jangan memperdulikan
apapun kata/ penjelasan dari selain “aku”. Sartre berpendapat bahwa kenyataan
yang benar adalah kenyataan berdasarkan “aku” bukan orang lain, namun kebenaran
tersebut dapat dipertangung jawabkan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
kebenaran tida terbentuk dari eksistensi orang lain.
Menjadi
eksistensialis bukan hanya selalu menjadi seorang yang lain dari pada yang
lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali
manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi
esensi dari eksitensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan
sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari
eksistensialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar