Senin, 18 Februari 2019

Kronologi terjadinya bahasa-bahasa di Dunia.

Februari 18, 2019 0 Comments

1.      TeoriTekanan Sosial
Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya The Theoryof Moral Sentiments. Teori ini mengatakan bahwa apabila apabila manusia ingin menyatakan objek tertentu, mereka akan mengucapkan bunyi-bunyi tertentu. Bunyi-bunyi yang menyatakan objek dan telah mereka kenal baik akan dikenal sebagai tanda untuk menyatakan hal-hal itu. Tutur adalah produk dari sebuah tekanan sosial, bukan dari perkembangan manusia itu sendiri.

2.      Teori Onomatopetik atau Ekoik
Teori imitasi bunyi atau gema ini mula-mula dikemukakan oleh J.G. Herder yang menyatakan bahwa objek diberi nama sesuai dengan bunyi yang dihasilkan oleh objek tersebut. Objek itu adalah bunyi binatang atau peristiwa alam. D. Whitney  mengatakan bahwa pada masa anak-anak, kata timbul pada saat anak itu menirukan bunyi kereta api, bunyi mobil, dan sebagainya.
Leverve, seorang penganut yang lain mengatakan bahwa suara binatang memiliki dua elemen penting, yaitu teriakan refleks karena emosi atau kebutuhan dan teriakan sukarela untuk memberikan peringatan. Namun, banyak pula yang menentang teori ini karena tidak logis manusia meniru bunyi-bunyi makhluk yang lebih rendah.

3.      Teori Interjeksi
Teori ini juga dikenal dengan nama teori pooh-pooh. Teori ini bertolak dari asumsi bahwa bahasa lahir dari ujaran-ujaran instinktif. Namun, penganut teori ini tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana caranya bahasa muncul dalam kenyataan. Menurut Whitney, seseorang akan mengeluarkan setiap ekspresi yang ia rasakan dan memberikan makna tertentu. Whitney juga menghubungkan teorinya dengan teori onomatopetiknya. Namun, banyak pula yang tidak sependapat dengan teori ini.
Sapir menganatakan bahwa interjeksi tidak bersifat simbolik. Interjeksi juga hanya bersifat sebagai luapan emosi dan interjeksi tidak dipakai untuk menyatakan sesuatu kepada orang lain. Sarjana lain yang menolak teori ini adalah Jepersen. Pada teori ini yang keluar biasanya adalah bahasa afektif.

4.      Teori Nativistik atau Tipe Fonetik
Teori ini juga dikenal dengan nama teori ding-dong. Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Max Muller. Teori yang diajukannya tidak bersifat imitasi atau interjeksi. Teorinya didasarkan pada konsep mengenai akar yang lebih bersifat tipe fonetik. Dasar teorinya adalah setiap barang mempunyai bunyi dan bunyi-bunyi khas itu akan menimbulkan respons dari manusia pada bunyi-bunyi tersebut.
Kata adalah bermacam-macam impresi yang diambil dari perpaduan fonetik, dari peragaman dan perubahan fonetik. Dengan kata lain, setiap stimulus akan menimbulkan reaksi tertentu dan pada manusia separuhnya berbentuk vokal.

5.      Teori ‘Yo-He-Ho’
Teori ini disebut teori yo-he-ho karena orang-orang primitif yang belum mengenal peralatan maju mempunyai pekerjaan yang berat. Maka, mereka melakukan pekerjaan secara bersama-sama. Untuk memberikan semangat, mereka mengucapkan bunyi-bunyi khas yang berkaitan dengan pekerjaan yang khusus itu. Oleh sebab itu, bunyi yang dikeluarkan saat melakukan pekerjaan dipakai pula untuk menyebut perbuatan itu.

6.      Teori Isyarat
Teori isyarat dikemukakan oleh WilhelmWundt, seorang psikolog yang terkenal pada abad ke-19. Teori ini didasarkan pada hukum psikologi bahwa setiap perasaan manusia mempunyai bentuk ekspresi yang khusus dan ada keterkaitan tertentu antara syaraf reseptor dan saraf efektor. Bahasa isyarat timbul dari emosi dan gerakan ekspresif yang tidak disadari. Komunikasi gagasan-gagasan dilakukan dengan gerakan-gerakan tangan yang membantu gerakan-gerakan mimetik wajah sesorang. Kemampuan mendengar memungkinkan manusia menciptakan gerakan artikulatoris selain adanya gerakan mimetik dan gerakan pantomimetik. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan artikulatoris lebih berkembang dibanding gerakan-gerakan lainnya. Namun, tak dapat disangkal bahwa artikulasi awalnya dibantu oleh gerakan mimetik dan gerakan pantomimetik.Wundt mengatakan bahwa bahasa isyarat dan bahasa artikulatoris dipakai bersama-sama, tetapi kemudian bahasa ujaran mendapat status yang lebih tetap karena fleksibilitasnya.

7.      Teori Permainan Vokal
Teori ini dikemukakan oleh seorang filolog Denmark yang bernama Jesspersen. Ia berusaha mengkoordinasikan semua teori yang telah dikembangkan sebelumnya dan mengadakan suatu sintesa ke dalam sebuah hipotesa yang lebih baik. Bahasa mulai tumbuh dalam wujud ungkapan-ungkapan yang berbentuk setengah musik yang tak dapat dianalisis. Perkembangannya, mula-mula secara lamban, namun tetap bergerak maju menuju suatu kejelasan. Dengan demikian, teori Jesspersen berusaha menjembatani kesenggangan antara vokalisasi emosional dan ideasional.

8.      Teori Isyarat Oral
Teori ini dikemukakan oleh Sir Richard Paget dalam bukunya Human Speech (Paget, 1930: Bab VII). Ia membuktikan bahwa ketika manusia mulai menggunakan peralatan, tangannya tidak bisa dipergunakan dengan bebas untuk berkomunikasi. Oleh sebab itu, manusia memerlukan alat lain.
Pada awalnya, manusia menyatakan gagasannya dengan isyarat tangan, namun, tanpa disadari juga diikuti oleh gerakan bibir, lidah, dan rahang yang membuat gerakan sesuai dengan isyarat tangan tadi. Saat tangan mempunyai banyak aktivitas lain, maka bagian pelengkap (bibir, lidah, rahang) mengambil alih geraan itu dengan cara pantomimik. Kemudian, manusia mulai menggunakan isyarat dengan lidah, bibir, dan rahang dan akan terdengar ujaran berbisik. Selanjutnya, Paget memperlihatkan kesamaan antara bunyi-bunyi sintetik dan beberapa kata dari bahasa primitif. Ia berusaha mensugestikan maksud tertentu melalui isyarat lidah dan bibir dan disertai isyarat oral dengan mempergunakan vokalisasi. Teori ini sebenarnya bukanlah teori asli Paget. Teori ini awalnya dikemukakan oleh Dr. J. Rae. Paget dianggap sebagai orang yang meneruskan ide Wundt. Tetapi, Wundt tidak menjelaskan transisi dari isyarat ke bahasa oral dan teori Paget-lah yang menjelaskan transisi ini. Teori Paget memang didukung oleh cukup banyak bukti. Namun, menurut de Laguna, masih terdapat kelemahan. Pertama adalah adanya asumsi bahwa bahasa ujaran berkembang sebagai fenomena individual yang tergantung pada ide yang memerlukan pengungkapan, sedangkan bahasa adalah alat untuk mengungkapkan ide-ide tersebut. Yang kedua adalah adanya asumsi bahwa awal mula ujaran baru muncul sesudah adanya ras manusia. Teori isyarat oral dari Paget beranggapan bahwa bukan masyarakat saja yang diorganisir dalam tingkat yang lebih tinggi, tetapi juga telah dicapai sebuah situasi budaya yang cukup tinggi.

9.      Teori Kontrol Sosial
Teori kontrol sosial diajukan oleh Grace Andrusde Laguna dalam bukunya Speech: ItsFunctionand Development (1927, Bab I). Menurut de Laguna, ujaran adalah suatu medium besar yang memungkinkan manusia untuk bekerja sama. Bahasa merupakan upaya yang mengkoordinasi dan menghubungkan macam-macam kegiatan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Kompleksitas hidup yang semakin bertambah menciptakan kebutuhan akan kerja sama yang lebih kompak, baik untuk mengadakan pertahanan bersama, maupun untuk mengadakan serangan bersama. Perubahan dalam kondisi sosial ini memerlukan alat kontrol sosial yang lebih ampuh. Oleh sebab itu, timbullah perbedaan antara proklamasi, yaitu pengumuman tentang sebuah unsur yang mengganggu dalam situasi dengan perintah, yaitu call yang menghendaki pengkhususan responsi oleh kelompok.

10.  Teori Kontak
Dalam bukunya The OriginsandPrehistoryofLanguage (terjemahan J. Butler), G. Revesz mengemukakan sebuah teori mengenai asal-usul bahasa yang disebut teori kontak. Sebagian kecil dari teori ini menyerupai teori tekanan sosial yang diajukan Adam Smith, tetapi dalam bagian-bagian yang penting menyerupai teori kontrol sosial dari de Laguna.
Hubungan sosial pada makhluk hidup memperlihatkan bahwa kebutuhan untuk mengadakan kontak satu sama lain tidak pernah memberi kepuasan antara individu-individu dari tiap spesies. Pada tahap yang sangat rendah di tingkat instinktif, kebutuhan mengadakan kontak ini dipenuhi oleh kontak spasial, yaitu kontak karena kerapatan jarak fisik. Kemudian dilanjutkan dengan tahap kontak emosional, yaitu kontak di mana kepuasan akan tercapai karena kedekatan emosional dengan orang lain yang akan menimbulkan pengertian, simpati, dan empati pada orang lain. Kontak selanjutnya adalah kontak intelektual yang berfungsi untuk bertukar pikiran.


11.  Teori Hockett-Ascher
Teori ini diajukan oleh Charles F. Hockett dan Robert Ascher dalam tulisan mereka yang berjudul The Human Revolution (dalam majalah CurrentAnthropology, vol. 5 no.3, Juni 1964). Teori ini merupakan sintesis dari berbagai penelitian yang dilakukan sarjana lain.
Sistem call dan bahasa berbeda dalam tiga hal, yaitu (1) sistem call tidak mengandung ciri pemindahan. Ciri ini hanya dimiliki oleh bahasa yang mengandung pengertian bahwa kita dapat berbicara dengan bebas mengenai sesuatu yang jauh letaknya dari pandangan, di masa lampau, bahkan sesuatu yang tidak ada. (2) ujaran dari sebuah bahasa terdiri dari susunan unit-unit tanda yang disebut fonem (komponen fonologis) yang tidak mengandung makna, tetapi berfungsi untuk memisahkan ujaran-ujaran yang bermakna (morfem atau kata) satu dari yang lain. Ciri ini tidak dimiliki oleh call. (3) konvensi-konvensi yang terperinci dari sebuah bahasa dialihkan secara tradisional, walaupun kapasitas mempelajari bahasa dan rangsangan untuk berbahasa bersifat genetis.

Deskripsi bagaimana proses subgrowping bahasa-bahasa di dunia.
Stammbaum merupakan metode pengelompokan bahasa yang menunjukkan hubungan dan tingkat perkembangan antara bahasa-bahasa kerabat. Hal tersebut sama dengan garis keturunan manusia. Istilah yang digunakan disamakan dengan organism biologis. Dalam hal ini, perubahan dalam bahasa terbentuk oleh manusia dan bukan oleh bahasa itu sendiri. Tentu saja, teori ini tidak luput dari kelemahan.
Kelemahan teori ini adalah tiap cabang hanya menurunkan dua cabang baru dan pencabangan tersebut terbentuk secara tiba-tiba. Contoh pohon keluarga rumpun Sino-Tibet
-Dalam teori Wellentheorie  atau teori gelombang
Diungkapkan bahwa bahasa pada suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada wilayah lain di sekitarnya. Perubahan tersebut menyebar ke segala arah, seperti gelombang dalam sebuah kolam. Kolam akan menghasilkan gelombang jika ada benda yang jatuh ke dalam kolam tersebut. Misalnya, dalam bahasa Sunda kata putih mempunyai arti bodas, dalam bahasa Bima, Sika, dan bahasa-bahasa Lamaholot adalah bura, yang secara fonetis dianggap berkerabat. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa penyebaran bahasa berasal dari pusat menuju pinggir daerah. 
-Metode pemeriksaan sekilas atau (inspection)
Pengamat hanya mengadakan peninjauan sepintas lalu mengenai persamaan  dan perbedaan antara bahasa-bahasa yang dibandingkan. Dengan menggunakan metode ini, pengamat hanya mengadakan peninjauan sepintas lalu mengenai persamaan dan  perbedaan antara bahasa-bahasa yang dibandingkan.  Misal dengan mengamati data-data berikut, dapat ditentukan bahwa bahasa Melayu lebih dekat dengan bahasa Sunda, sedangkan bahasa Jawa lebih jauh hubungannya.
Metode ini kadang-kadang berhasil, tetapi kadang-kadang juga gagal, tergantung dari materi yang dipergunakan.

-Metode Kosa Kata Dasar
Metode yang menggunakan kata perbendaharaan kata dasar, karena kata-kata itu dianggap sebagai warisan bersama dari bahasa proto. Dengan mempergunakan prinsip-prinsip korespondensi fonemis dan memperhatikan pula perubahan-perubahan yang terjadi maka dapat ditetapkan kata-kata mana dari daftar itu dapat dianggap sebagai kata kerabat.
-Metode Inovasi

Pertama-tama terjadi karena salah ucap atau salah tulis  sebuah kata dalam teks lama. dalam membandingkan unsur kata dasar dalam bahasa-bahasa berikut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Jawa yang mempergunakan kata asu lebih dahulu memisahkan diri.

Kritik atas Hukum Bunyi

Februari 18, 2019 0 Comments

Kritik mengenai metode Indo-Eropa:
1.      Aliran Neo-Linguistica (Italia) menyerang Junggrammatiker dengan alasan idealisme dimana menurut mereka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mencipta sendiri tanpa terikat oleh hukum-hukum atau peraturan-peraturan tertentu. Sehingga, bahasa tidak dapat diatur atau diredusir dalam rumus-rumus atau hukum-hukum tertentu karena bahasa merupakan hasil idelisme dalam diri tiap manusia yang selalu berkembang sesuai daya cipta manusia.
2.      Aliran N.Marr (Rusia) menolak hukum bunyi dari segi materialisme, dimana menurutnya rumus-rumus yang dikemukakan Junggrammatiker terlalu abstrak sifatnya dan tidak mengindahkan soal-soal sosial dalam masyarakat. Secara singkat, menurutnya manusia tidak boleh diikat oleh hukum-hukum atau kaidah-kaidah tertentu.
Meskipun begitu, kedua aliran ini tidak berhasil mengganti dasar pikiran Junggrammatiker karena tak berhasil membuat rumus-rumus yang lebih baik. Sehingga, prinsip Indo-Eropa itu masih dipakai.
Korespondensi Bunyi
Istilah hukum bunyi mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat, sehingga istilah tersebut diganti menjadi korespondesnsi fonemis (phonemic correspondence atau kesepadanan bunyi). Segmen-segmen yang berkorespondesni bagi glos yang sama, baik dari segi bentuk maupun makna, dalam bermacam-macam bahasa, diperbandingkan satu sama lain, hasil perbandingan itu disusun menjadi satu perangkat korespondensi. Tiap fonem yang terdapat dalam posisi yang sama dimasukkan dalam satu perangkat korespondensi. Dalam sebuah glos dapat diperoleh sejumlah perangkat koresponsensi, sesuai dengan besar atau panjangnya segmen dari bahasa-bahasa yang diperbandingkan.
Untuk mengkongkretkan bagaimana prinsip perbandingan tersebut diterapkan dalam kenyataan, pertama diperlihatkan teknik perbandingan yakni dengan dipilih kesepuluh bilangan utama, yang merupakan kata-kata pembentuk suatu perangkat yang memiliki kermiripan satu sama lain. Sehingga nanti akan ditemukan kesamaan antara kesepuluh bilangan utama yang bukan bersifat kebetulan melankan memperlihatkan suatu pantulan dari perkembangan yang sama.
Semakin banyak data yang diperbandingakan maka semakin banyak kemungkinan untuk memperoleh perangkat korespondensi fonemisnya. Suatu perangkat korespondensi fonemis tidak hanya diperoleh dari satu pasang melainkan harus diturunkan dari seluruh kemungkinan yang dapat diperoleh dari bahasa-bahasa yang diperbandingkan.
Pembentukan Korespondensi Fonemis
a.    Rekurensi Fonemis
Rekurensi fonemis (phonemic recurrence) yaitu  prosedur untuk menemukan perangkat bunyi yang muncul secara berulang-ulang dalam sejumlah pasang kata yang lain. Untuk menetapkan secara pasti bahwa terdapat korespondensi fonemis, maka perlu dibuktikan bahwa ada rekurensinya, yaitu bahwa tiap perangkat itu akan muncul kembali dalam pasangan-pasangan yang lain.
b.    Ko-okurensi
Ko-okurensi (co-occurence) yaitu gejala-gejala tambahan yang terjadi sedemikian rupa pada kata-kata kerabat yang mirip bentuk dan maknanya, sehingga dapat mengaburkan baik kemiripan bentuk-maknanya maupun koresnpondensi fonemisnya dengan kata-kata lain dalam bahasa kerabat lainnya. Sehingga, dalam menetapkan korespondensi fonemis harus diperhatikan pula apakah sepasang kata yang tampaknya tidak sama itu sebenarnya mengandung gejala lain yaitu ko-okurensi, yaitu gejala-gejala yang timbul dalam kata itu sehingga sudah mengubah bentuk kata itu. Bila ada, maka kedua kata itu tetap dimasukkan dalam kata yang identik atau mirip.
c.    Analogi

Analogi adalah suatu proses pembentukan kata mengikuti contoh-contoh yang sudah ada. Analogi dapat muncul dalam suatu situasi peralihan yang lain, dalam hubungan dengan bahasa-bahasa non-kerabat. Pola perubahan antara baasa kerabat dapat dipakai sebagai daar untuk mengubah bentuk-bentuk dari bahasa non-kerabat sehingga dapat diterima dalam bahasa sendiri. Pembentukan baru berdasarkan analogi bisa terjadi dalam bahasa-bahasa kerabat, atau juga dalam bahasa sendiri, baik pada morfem dasar maupun pada morfem terikat, sehingga tampaknya seolah-olah ada semacam kemiripan bentuk karena warisan. Jadi, dalam menetapkan korespondensi fonemis harus diperhatikan masalah analogi. Apakah kata-kata yang dipakai dalam perbandingan itu tidak dibentuk berdasarkan prinsip analogi.

MANUSIA HIDUP UNTUK BUDAYA

Februari 18, 2019 0 Comments

Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak dapat hidup secara individu, sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan orang lain untuk melakukan setiap kegiatan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk sosial akan menciptakan suatu bentuk interaksi untuk saling mengerti satu sama lain. Interaksi itu selanjutnya melahirkan sebuah bahasa, dimana bahasa adalah merupakan salah satu bentuk wujud konkrit kebudayaan dari manusia. Koetjaraningrat membagi 7 unsur kebudayaan yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, teknologi, sistem pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Karl Marx yang pandangannya kemudian disebut Marxisme adalah seorang tokoh yang berpendapat bahwa suatu kebudayaan (kegiatan yang dilkaukan berulang-ulang) akan berkembang dan berproses menjadi lebih baik, sehingga muncullah suatu komunitas sosial budaya yang merupakan sebuah subjek atau pelaku dari kebudayaan tersebut. Kebudayaan dan kehidupan manusia adalah suatu bentuk yang saling tarik-menarik dan tidak dapat dipisahkan satu sama yang lain, karena keduanya merupakan suatu bentuk memberi dan menerima yang dilakukan manusia.
Kata Kunci: Manusia, Budaya, Kebudayaan
Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak dapat hidup secara individu, sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan orang lain untuk melakukan setiap kegiatan. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk sosial akan menciptakan suatu bentuk interaksi untuk saling mengerti satu sama lain. Interaksi itu selanjutnya melahirkan sebuah bahasa, dimana bahasa adalah merupakan salah satu bentuk wujud konkrit kebudayaan dari manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Dewasa ini, banyak sekali masyarakat yang menilai kebudayaan adalah suatu bentuk kegiatan tradisional semata. Meskipun begitu jika dilihat dari segi pengertian kebudayaan, maka sesungguhnya kebudayaan adalah suatu bentuk apreasiasi kegiatan manusia yang melahirkan banyak hal baik dalam bentuk tradisional maupun modern, berwujud maupun tidak berwujud, dan lain sebagainya.


Sehingga, sebuah opini secara detail mengenai manusia dan budaya patut untuk disebarluaskan dengan tujuan untuk merombak pola pikir masyarakat yang masih sangat sempit mengenai pengertian sebuah kebudayaan dan memberikan gambaran pasti kepada masyarakat bahwa suatu kebudayaan adalah kehidupan mereka sendiri.

Pembahasan
Menurut Koentjaraningrat (1994), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dari pengertian tersebut kita dapat melihat bagaimana luasnya suatu kebudayaan, kebudayaan tidak hanya suatu hal yang tradisional, terjadi pada masa lampau, atau dilakukan oleh nenek moyang melainkan sebuah warisan yang didapat oleh generasisebelum kita yang kemudian berkembang dan akan terus berkembang seiring bertambah lamanya warisan tersebut.
Kebudayaan sendiri lahir karena adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus, sehingga menghasilkan sebuah kegiatan yang kemudian diwariskan secara turun temurun. Warisan turun temurun inilah yang kemudian disebut dengan sebuah kebudayaan, dimana kebudayaan itu sendiri bukanlah suatu warisan yang didapat dari per individu melainkan dari sekelompok manusia yang berkumpul dalam suatu komunitas yang sama, atau tempat yang sama, atau struktur sosial yang sama, dan lain sebagainya.
Sehingga, dapat dipastikan bahwa manusia adalah creator dari sebuah kebudayaan dimana manusia menciptakan kebudayaan itu sebagai suatu bentuk identitas diri yang ingin ditunjukkan kepada manusia yang lain.
Kebudayaan sendiri merupakan suatu bentuk yang amat luas karena dapat meliputi semua bentuk lapisan kehidupan dan mempunyai ciri khas yang selalu berbeda di setiap lapisan masyarakat, komunitas, sosial, umur dan lain sebagainya. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan  mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa bangsa di dunia. Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu
  1. Bahasa adalah suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan sekaligus menjadi alat perantara yang utama bagi manusia untuk meneruskan atau mengadaptasi kan kebudayaan. Bentuk bahasa ada dua yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan.
  2. Sistem Pengetahuan  itu berkisar pada pegetahuan tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat sifat peralatan yang dipakainya. Sistem pengetahuan meliputi ruang pengatahuan tentang alam sekitar, flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan, sifat sifat dan tingakh laku sesama manusia, tubuh manusia.
  3. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial adalah sekelompok masyarakat yang anggotanya merasa satu dengan sesamanya. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup, perkumpulan.
  4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh para anggota suatu masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan bahan mentah, pemrosesan bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat trasportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda meterial. Unsur teknologi yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik yang meliputi, alat alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta alat alat transportasi. 
  5. Sistem mata pencaharian hidup merupakan segala usaha manusia untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi, berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, perdagangan. 
  6. Sistem Religi dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang terpadu antara keyakinan dan praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal hal suci dan tidak terjangkau oleh akal. Sistem religi yang meliputi, sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, dan upacara keagamaan. 
  7. Kesenian dapat diartikan sebagai segala hasrat manusia terhadap keindahan. bentuk keindahan yang beraneka ragam itu timbul dari  imajinasi kreatif yang dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia. Secara garis besar, kita dapat memetakan bentuk kesenian dalam tiga garis besar, yaitu seni rupa, seni suara dan seni tari.
Jika dilihat dari bentuk-bentuk kebudayaan di atas, maka kita juga dapat menarik kesimpulan bahwa fungsi kebudayaan sendiri adalah sebagai pelengkap suatu kehidupan dari manusia dimana kebudayaan tak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Kebudayaan merupakan hasil, pola pikir, tingkah laku, kegiatan, pengetahuan yang selalu dimiliki oleh setiap manusia, sehingga kebudayaan memiliki tujuan untuk menjaga keberlangsungan hidup suatu manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial tentu memiliki suatu pemikiran yang berkembang mengikuti perkembangan yang ada. Suatu manusia tidak mungkin hanya memiliki pemikiran tradisional semata atau pun sekadar berpikir secara modern. Tentu pemikiran manusia memiliki peralihan dari pemikiran tradisional menuju modern, dan mungkin dari modern lalu memikirkan kembali suatu pemikiran tradisional.
Pemikiran manusia tersebut mengalami sebuah evolusi yang berjalan meningkat, dimana awalnya manusia memiliki kepercayaan atau pemikiran mengenai adanya makhluk-makluk lain yang patut untuk diagungkan dan disembah, kemudian beralih menjadi pemikiran bahwa kehidupan manusia berjalan dengan maksud dan tujuan tertentu sehingga manusia kemudian menciptakan hal-hal baru untuk tujuan mempermudah kehidupan mereka. Hingga, manusia akhirnya berpikir untuk melakukan kegiatan-kegiatan berpola yang melahirkan hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut dengan pemikiran bahwa generasi di penerus mereka dapat menikmati apa yang mereka temukan. Perkembangan pemikiran manusia inilah yang selanjutnya melahirkan kebudayaan itu sendiri.
Tokoh penting mengenai asal mula pemikiran bahwa kebudayaan melahirkan suatu sosial budaya adalah Karl Marx, dimana pemikirannya selanjutnya disebut dengan pandangan Marxisme. Marxisme sendiri adalah sebuah pandangan yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik dimana pandangan tersebut mencakup materialism dialektis dan materialism historis serta penerapannya pada kehidupan sosial.
Pokok-pokok pemikiran marxisme dibagi menjadi tiga bagian, yaitu materialisme dialektis, matearialisme historis dan ekonomi marxis. Tiga bagian tersebut merupakan bagian utama dari Marxisme. Namun pada dasarnya, materialisme historis adalah pemahaman sejarah dengan metode materialisme dialekts, dan ekonomi marxis adalah pemahaman ekonomi dengan metode materialisme dialektis. Bahkan semua aspek kehidupan bisa ditelaah menggunakan metode materialisme dialektis, seperti kebudayaan, kesenian, ilmu sains, dan lain sebagainya. Hanya dengan metode matrialisme dialektis semua aspek kehidupan dapat dipahami secara menyeluruh dari sumbernya. Sehingga, pada dasarnya, pokok marxsisme adalah marxisme dialektis.
Karl Marx juga berpendapat bahwa,”sejarah berproses melalui serangkaian situasi dimana sebuah ide yang diterima akan eksis, tesis. Namun segea akan berkontradiksi dengan oposisinya, antitesis. Yang kemudian melahirkanlah antitesis, kejadian ini akan terus berulang, sehingga konflik-konflik tersebut akan meniadakan segala hal yang berproses menjadi lebih baik.”
Jika dilihat dari pokok-pokok pemikiran Marx di atas tentu dapat terlihat bahwa menurutnya suatu kebudayaan (kegiatan yang dilkaukan berulang-ulang) akan berkembang dan berproses menjadi lebih baik, sehingga muncullah suatu komunitas sosial budaya yang merupakan sebuah subjek atau pelaku dari kebudayaan tersebut.

Penutup
Kebudayaan adalah suatu bentuk kegiatan dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia sebagai makhluk sosial yang bertujuan untuk mempermudah kehidupan sehari-hari dan untuk menunjukkan jati diri sebagai makhluk sosial yang berbeda satu sama lain.
Kebudayaan dan kehidupan manusia adalah suatu bentuk yang saling tarik-menarik dan tidak dapat dipisahkan satu sama yang lain, karena keduanya merupakan suatu bentuk memberi dan menerima yang dilakukan manusia.
Sehingga, dapat dikatakan manusia merupakan mahkluk sosial yang menciptakan kebudayaan, melakukan kebudayaan, perombak kebudayaan, dan pengembang kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan pula bahwa manusia sebagai makhluk sosial semata-mata melakukan kehidupan untuk kebudayaan.

Referensi
Kemdikbud. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-17. Jakarta: PT Gramedia.
Santoso, Listiyono, dkk. 2003. Epistemologi Kiri.  Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia

Wikipedia. “Marxisme” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Marxisme/ diunduh pada 9 Oktober 2017.

BENTUK-BENTUK RESISTENSI KEBUDAYAAN

Februari 18, 2019 0 Comments

Kebudayaan sebagai suatu hasil dari kegiatan berpola yang dilakukan secara terus menerus dan diwariskan secara turun temurun tentu selalu memiliki perubahan-perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Perubahan-perubahan tersebut dipengarungi oleh beberapa unsur yang memberikan sentuhan-sentuhan baru bagi suatu kebudayaan.
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan  mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa bangsa di dunia. Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu
  1. Bahasa adalah suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan sekaligus menjadi alat perantara yang utama bagi manusia untuk meneruskan atau mengadaptasi kan kebudayaan. Bentuk bahasa ada dua yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan.
  2. Sistem Pengetahuan  itu berkisar pada pegetahuan tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat sifat peralatan yang dipakainya. Sistem pengetahuan meliputi ruang pengatahuan tentang alam sekitar, flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan, sifat sifat dan tingakh laku sesama manusia, tubuh manusia.
  3. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial adalah sekelompok masyarakat yang anggotanya merasa satu dengan sesamanya. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup, perkumpulan.
  4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh para anggota suatu masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan bahan mentah, pemrosesan bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat trasportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda meterial. Unsur teknologi yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik yang meliputi, alat alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta alat alat transportasi. 
  5. Sistem mata pencaharian hidup merupakan segala usaha manusia untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi, berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, perdagangan. 
  6. Sistem Religi dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang terpadu antara keyakinan dan praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal hal suci dan tidak terjangkau oleh akal. Sistem religi yang meliputi, sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, dan upacara keagamaan. 
  7. Kesenian dapat diartikan sebagai segala hasrat manusia terhadap keindahan. bentuk keindahan yang beraneka ragam itu timbul dari  imajinasi kreatif yang dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia. Secara garis besar, kita dapat memetakan bentuk kesenian dalam tiga garis besar, yaitu seni rupa, seni suara dan seni tari.
Jika diambil contoh bentuk resistensi kebudayaan yang sederhana adalah cara berpakaian seorang wanita jawa, dimana sebelumnya wanita jawa dulunya selalu mengenakan kebaya dan jarik. Saat ini tentunya, pakaian-pakaian tradisional tersebut hanya dikenakan oleh wanita jawa pada acara-acara tertentu. Saat ini pakaian seorang wanita jawa sama beragamnya dengan laki-laki bahkan seorang wanita pun memiliki hak untuk menggunakan pakaian yang sama seperti yang digunakan oleh laki-laki. Perubahan ini tentu muncul karena banyak sekali faktor, feminisme misalnya yang mengungkapkan mengenai kesetaraan gender.
Kesetaraan gender yang awalnya hanya dilakukan untuk mendapatkan pendidikan yang sama tentu tersebar lebih luas karena wanita tak lagi dianggap hanya mempunyai kewajiban “masak, macak, manak” saja. Wanita dianggap mampu untuk bekerja atau mengerjakan hal-hal yang dulunya hanya dilakukan oleh laki-laki saja.

Perubahan signifikan dari kodrat 3M (masak, macak, manak) seorang wanita jawa tentu dapat dikatakan sebagai salah bentuk resistensi kebudayaan dimana resistensi sendiri diartikan sebagai penolakan suatu kebudayaan. Dalam hal ini seorang wanita jawa menolak kodrat 3M yang dulunya merupakan sebuah keharusan dan satu-satunya “fungsi” seorang wanita jawa, kini tentunya masih banyak M-M lain bahkan huruf-huruf lain yang dapat disandingkan dengan wanita jawa.

KEBUDAYAAN, PERADABAN, DAN PEMBANGUNAN

Februari 18, 2019 0 Comments


Kebudayaan, peradaban, dan pembangunan merupakan sebuah kesatuan dari sebuah proses pembiasaan berpola. Menurut Koentjaraningrat (1994), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Dari kedua pengertian tersebut kita dapat melihat bagaimana luasnya suatu kebudayaan, kebudayaan tidak hanya suatu hal yang tradisional, terjadi pada masa lampau, atau dilakukan oleh nenek moyang melainkan sebuah warisan yang didapat oleh generasi sebelum kita yang kemudian berkembang dan akan terus berkembang seiring bertambah lamanya warisan tersebut.
Kebudayaan sendiri lahir karena adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus, sehingga menghasilkan sebuah kegiatan yang kemudian diwariskan secara turun temurun. Warisan turun temurun inilah yang kemudian disebut dengan sebuah kebudayaan, dimana kebudayaan itu sendiri bukanlah suatu warisan yang didapat dari per individu melainkan dari sekelompok manusia yang berkumpul dalam suatu komunitas yang sama, atau tempat yang sama, atau struktur sosial yang sama, dan lain sebagainya. Sebuah kesamaan pada individu-individu itulah yang kemudian melahirkan sebuah peradaban-peradaban yang memiliki ciri khas dan memberikan warisan kebudayan-kebudayaan yang berbeda.
Peradaban sendiri yang merupakan sebuah turunan kata dari adab yang berartikan kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak. Peradaban menurut KBBI adalah hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Dari pengertian tersebut terlihat jelas bahwa peradaban merupakan sebuah wujud dari kebudayaan, bahkan diartikan sebagai kebudayaan itu sendiri.
Sebuah peradaban tersebut akhirnya menganggap warisan yang dimilikinya sebagai suatu jati diri yang berbeda dari warisan yang lain, sehingga mereka akan membangun suatu hal dalam bentuk nyata terlihat jati diri mereka. Sebagai contoh bentuk nyata dari suatu warisan kebudayaan adalah bentuk rumah adat, dimana tentunya rumah-rumah tersebut menunjukkan jati diri suatu peradaban berbeda-beda yang tidak memungkinkan peradaban lain untuk mengakui warisan pasti itu.
Pembangunan sendiri meliputi proses, cara, dan perbuatan membangun. Sehingga terlihat jelas mengenai hubungan antara kebudayaan, peradaban, dan pembangunan. Dimana sebuah kebudayaan juga lahir dari suatu proses yang terjadi berulang-ulang dalam waktu yang lama, kemudian melahirkan suatu cara-cara tertentu, dan menumbuhkan suatu proses pelestarian itu sendiri. Sehingga, dapat disimpulan bahwa pembangunan adalah sebuah bentuk pelestarian dari suatu kebudayaan.
Sebuah kebudayaan merupakan suatu hal yang berkembang sehingga pengaruh-pengaruh asing di luar kebudayaan asli merupakan faktor yang berubah sebuah kebudayaan. Sehingga, dalam pembangunan nasional dibutuhkan strategi kebudayaan yang berartikan bahwa kita harus menggali ulang, menata ulang, dan memunculkan kembali sebuah kearifan lokal yang belum terjamah oleh faktor-faktor yang merubah sebuah kebudayan. Dengan menemukan kebudayaan asli atau kebudayaan murni maka pembangunan nasional sebagai bentuk wujud kebudayaan yang berlangsung dapat diproses menjadi lebih baik dengan memilah hal-hal baik dan buruk dari suatu kebudayaan, kemudian hal baik tersebut dapat dikembangkan menjadi hal yang lebih luas, yang kemudian akan memunculkan karakteristik dan ciri khas pembangunan nasional berbasis kebudayaan yang baik.
Sebuah pembangunan nasional suatu bangsa merupakan sebuah bentuk menunjukkan jati diri suatu bangsa, sehingga kebudayaan yang baik merupakan hal pokok atau suatu sumber terwujudnya suatu pembangunan. Jika pembangunan nasional tidak didasari oleh kebudayaan maka pembangunan itu hanya akan menjadi suatu pembangunan tanpa makna dimana langkah berdirinya pembangunan tersebut tak jadi suatu hal yang patut untuk dipelajari dan dilestarikan.

Referensi
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-17. Jakarta: PT Gramedia.

Kemdikbud. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Balai Pustaka.

PERBANDINGAN DIALEK SURABAYA DAN KEDIRI: KAJIAN DIALEKTOLOGI

Februari 18, 2019 1 Comments
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi manusia sebagai makhluk sosial tentu memiliki berbagai macam perbedaan dalam berbagai segi. Misalnya menggunaan bahasa yang sama namun terdapat beberapa kata yang berbeda, hal tersebut dilandasi oleh perbedaan wilayah, perbedaan sosial, dan pengaruh bahasa-bahasa yang terdapat dalam tempat bahasa tersebut berkembang.
Penggunaan bahasa yang sama dan hanya terdapat beberapa kata yang berbeda, dapat disebut dengan dialek. Sebuah bahasa tidak langsung dapat disebut merupakan yang bahasa yang baru, jika memiliki kesamaan dengan bahasa proto lebih dari 80%. Sehingga, bahasa yang hampir sama tersebut lebih dikenal dengan sebutan dialek.
Dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang berpadanan dengan logat. Kata ini mula-mula digunakan untuk menyatakan sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya yang bertentangga tetapi menggunakan sistem yang erat hubungannya. Berdasarkan etimologi, dialektolohi adalah ilmu yang mempelajari dialek atau ilmu yang mempelajari variasi bahasa.
Dialektologi merupakan sebuah cabang dari kajian linguistik yang timbul antara lain karena dampak kemajuan kajian linguistik komparatif atau linguistik diakronis. Dialektologi juga dikenal dengan nama geografi dialek atau geolinguistik.karena adanya penyempitan bidang kajian dialektologiilmu tentang variasi bahasa” yang kini menyempit menjadi telaah variasi bahasa secara spasial. Dalam dialektologi, hasil akhir analisisnya secara dikronis mengacu pada prabahasa yang berupa pemetaan bahasa sebgai visualisasi sehingga kebenarannya dapat diperiksa, sedangkan linguistik bandingan, hasil akhirnya mengacu pada proto bahasa yang berupa asumsi sebagai hasil rekonstruksi sehingga kebenarannya sulit dibuktikan.
Dalam makalah berjudul “Perbandingan Dialek Surabaya dan Kediri: Kajian Dialektologi” ini, penulis akan menjabarkan mengenai hasil perbandingan antara dialek Surabaya atau yang biasa dikenal dengan Boso Suroboyoan dengan dialek Kediri yang biasa disebut dengan Boso Kediri. Kedua dialek tersebut sesungguhnya menggunakan bahasa yang sama, yakni bahasa jawa namun memiliki sedikit perbedaan karena pengaruh lokasi yang sejarah munculnya dialek tersebut. Penulis mencoba menjabarkan kedua dialek tersebut untuk memperlihatkan perbedaan dan persamaan antara kedua dialek yang merupakan ragam dialek wilayah Jawa Timur.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan masalah agar penelitian ini terarah dan mengana pada tujuan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1.2.1 Bagaimana perbandingan antara Dialek Surabaya dan Dialek Kediri?
1.2.2 Apa faktor yang melandasi perbedaan yang terdapat pada Dialek Surabaya dan Dialek Kediri?

1.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan metode analisis kualitatif. Mahsun (2005: 233) memaparkan bahwa analisis kualitatif fokusnya pada penunjukan makna, deskriptif, penjernihan, dan penempatan data dalam bentuk kata-kata daripada dalam angka-angka. Pada penelitian kualitatif, metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatis yakni sebuah penelitian hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan berupa potret atau paparan apa adanya.
Arikunto (2002: 197) menyatakan bahwa penelitian deskriptif meliputi metode pengumpulan data dan analisis data, penerapan metode ini sesuai dengan cara linguistik dalam menangani masalah kebahasaan. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan analisis metode deskriptif kualitatif dalam hasil analisis datanya yang membahas mengenai perbandingan Dialek Surabaya dan Dialek Kediri.




1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah tercapainya sasaran yang sesuai dengan harapan yang diinginkan. Tujuan dari penelitian ini adalah
1.4.1 Untuk mengetahui perbandingan antara Dialek Surabaya dan Dialek Kediri
1.4.2 Untuk mengetahui faktor yang melandasi perbedaan yang terdapat pada Dialek Surabaya dan Dialek Kediri
BAB II
PEMBAHASAN

Dialek Surabaya dan Dialek Kediri sesungguhnya berada dalam satu bahasa yakni Dialek Arek atau lebih dikenal dengan Bahasa Arekan. Dialek Arekan atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Arekan (Bahasa Jawa : basa Arekan) atau bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Bahasa Arekan sendiri tidak memiliki batasan wilayah penggunaan yang jelas. Dialek Surabaya dan Dialek Kediri masuk dalam satu rumpun Bahasa Arekan yang berada pada batas wilayah selatan bersama wilayah Perak, Jombang, dan Malang. Sekalipun kedua dialek tersebut terdapat dalam rumpun bahasa yang sama, tetapi keduanya memiliki logat yang berbeda serta memiliki beberapa kata yang berbeda.

Perbandingan Kata dalam Dialek Surabaya dan Dialek Kediri
No.
Surabaya
Kediri
Arti/Makna
1
Gak/Ogak
Ora
Tidak
2
Wah
Peh
(Tidak terdapat arti, kata ini merupakan kata yang biasanya ditambahkan dalam ucapan atau sebagai penekanan)
3
Koen/Awakmu
Kowe
Kamu
4
Tibakno
Ndelalah
Ternyata
5
Tetep
Panggah
Tetap
6
Mari
Bar
Selesai
7
-
Nda
(Sebagai penekanan di akhir kalimat)
8
-
Ye
(Sebagai penekanan di akhir kalimat)
9
Arek
Cah
Bocah (Anak Kecil)
10
Moro-moro
Ujug-ujug
Tiba-tiba
11
Pol
Jan
Sangat
12
-
No
(Sebagai penekanan di akhir kalimat)
13
Gorong
Gong
Belum
14
Yo Opo
Piye
Bagaimana
15
Mbujuki
Ngapusi
Berbohong

Ke-15 kata di atas merupakan beberapa kata yang terlihat sangat berbeda antara Dialek Surabaya dan Dialek Kediri, kata-kata dalam tabel hanyalah sebagian kecil kata dalam kedua dialek tersebut yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan. Dari ke-15 kata tersebut tentu dapat dibuktikan bahwa Dialek Surabaya dan Dialek Kediri walaupun terdapat pada rumpun bahasa yang sama namun memiliki perbedaan dialek yang cukup mencolok.

Perbandingan Nada dalam Dialek Surabaya dan Dialek Kediri
Selain memiliki penggunaan kata yang berbeda, perbedaan yang cukup mencolok yang lain adalah dalam hal intonasi atau nada. Nada yang digunakan antara Dialek Surabaya dan Dialek Kediri sangat berbeda, perbedaannya adalah sebagai berikut:
No.
Surabaya
Kediri
1
Sedikit tinggi dan tidak terdapat penekanan nada, sehingga tidak terdengar khas dari segi nada.
Memiliki penenakan dalam nada (medok), sehingga terdengar kekhasan dari segi nada.
2
Terdengar kasar, karena pengucapannya yang sedikit cepat dan menggunakan intonasi yang tinggi.
Terdengar jauh lebih lembut, karena pengucapannya diucapkan perlahan dan menggunakan bahasa yang tidak terlalu tinggi.

Faktor Pembeda Dialek
Pembeda dialek terdiri dari lima macam perbedaan, yaitu :
·    Perbedaan fonetik                : perbedaan ini berada dibidang fonelogi dan biasanya pemakai dialek/ bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.
·    Perbedaan semantik             : dengan terciptanya kata-kata baru berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk.
·    Perbedaan onomasiologis    : menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan dibeberapa tempat yang berbeda.
·    Perbedaan semasiologis       : pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda.
·    Perbedaan morfologis          : terciptanya inovasi bahasa.
Selain lima perbedaan di atas, terdapat pembeda lain dari segi wilayah yakni berdasarkan pengertian. Berdasarkan pengertian dialek dibedakan sebagai berikut;
  • Dialek regional, cirri-cirinya dibatasi tempat. Misalnya dialeg melayu, manado.
  • Dialek sosial dipakai oleh kelompok sosial tertentu, misalnya dialeg wanita jepang.
  • Dialek temporal adalah dialeg bahasa yang berbeda dari waktu ke waktu. Misalnya dialeg melayu kuno, melayu klasik dan modern
Faktor-faktor di atas merupakan factor umum pembeda dialek, jika dalam kasus Dialek Surabaya dan Dialek Kediri perbedaannya disebabkan oleh:
·         Wilayah, sekalipun masih dalam lingkup wilayah selatan keduanya tidak berada pada wilayah yang berdekatan sehingga memiliki banyak perbedaan dari segi kata, makna, dan intonasi.
·         Dialek Kediri merupakan percampuran antara Bahasa Arekan dan Bahasa Mataraman sehingga, dialek tersebut memunculkan banyak kosakata Arekan maupun Mataraman.




BAB III
PENUTUP

Dialek Surabaya dan Dialek Kediri merupakan dua dialek yang terdapat dalam kawsan Jawa Timur yang masih berada dalam rumpun yang sama yakni rumpun Bahasa Arekan dan terdapat dalam batas wilayah yang sama yakni wilayah selatan. Sekalipun kedua dialek tersebut terdapat dalam wilayah yang sama namun kedua dialek tersebut tetap disebut sebagai dialek yang berbeda karena memiliki beberapa perbedaan yang sangat mencolok, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai satu dialek yang sama.
Dialek Surabaya dan Dialek Kediri sama-sama menggunakan bahasa Jawa, perbedaannya ada pada penyebaran kata-kata yang terdapat di keduanya. Dialek Kediri merupakan percampuran antara Bahasa Arekan dan Bahasa Mataraman.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Arekan diakses pada 22 Oktober 2017.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitiian Kuantitatif dan Kualitatis. Bandung:  Alfabeta.