Konsep Face
Menurut Brown dan Levinson, Muka atau face adalah image yang ingin dijaga baik oleh penutur maupun mitra tuturnya.
Dengan kata lain, selain untuk menyampaikan pesan, komunikasi juga berfungsi
untuk menjaga hubungan sosial dan estetis para partisipannya.
Sehingga, secara sederhana face yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson adalah public image, dimana dapat diartikan
sebagai “harga diri” dalam pandangan masyarakat. Menurut mereka, bersikap
peduli pada “wajah” atau “muka” baik milik penutur maupun milik mitra tutur
bahwasannya adalah salah satu ciri bersikap santun.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang
berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukan rasa hormat pada
mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau perilaku)
dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Jadi,
konsep face yang dikemukakan oleh
Brown dan Levinson adalah persoalan yang berkaitan dengan kesantunan bukan
kesopanan.
Positive Face dan
Negative Face
Menurut Brown dan Levinson, positive
face is the positive and
consistent image people have of themselves, and their desire for approval
and negative
face is the basic claim to
territories personal preserves, and rights to non-distraction. Dengan kata
lain, positive face adalah kebutuhan
untuk terkoneksi atau menjalin hubungan dan negative
face adalah kebutuhan untuk mandiri.
Jika dijabarkan lebih lanjut, maka positive face berkeinginan untuk
melakukan pendekatan sosial dimana ini berartikan positive face memiliki kebutuhan untuk terhubung, untuk diterima
sebagai anggota kelompok yang memiliki tujuan yang sama, untuk mandiri, untuk
memiliki kebebasan bertindak, dan tidak terbebani. Sehingga, secara sederhana
dapat disimpulkan bahwa positive face menekankan
pada solidaritas dan kesamaan.
Sedangkan, negative
face berkeinginan untuk kebebasan dari pembebanan sehingga ia tidak
memiliki kebutuhan seperti halnya positive
face, ia hanya menekankan pada penghormatan dan kepedulian.
Positive Politeness dan
Negative Politeness
Positive politeness bertujuan untuk menyelamatkan dengan
menerapkan kedekatan dan solidaritas, biasanya dalam pertemanan atau
persahabatan membuat orang merasa nyaman dan menekankan bahwa kedua pihak
(penutur dan mitra tutur) memiliki tujuan yang sama. Sehingga, secara sederhana
positive politeness merupakan
tindak penyelamatan wajah yang berkenaan dengan wajah positif seseorang akan
cenderung memperlihatkan rasa kesetiakawanan, menandaskan bahwa kedua penutur
menginginkan sesuatu yang sama, dan mereka memiliki suatu tujuan bersama atau
makna lain menjaga muka positif.
Contoh:
Fafa meminta bantuan kepada Ara untuk memberitahu
alamat situs dosen pembimbing mereka. Fafa dan Ara adalah teman dekat, mereka
sudah berteman lebih dari 10 tahun.
Fafa: “Ra, kamu kan punya memori yang keren. Nah,
lebih keren lagi jika kamu memberitahuku alamat situs dosen
baru kita tadi”.
Fafa menggunakan bahasa yang digunakan
antarteman kepada Ara yang bertujuan untuk memperlihatkan kedekatan mereka.
Negative politeness memberikan perhatian pada negative face dengan menerapkan jarak
antara penutur dan mitra tutur dan tidak mengganggu wilayah satu sama lain.
Penutur menggunakannya untuk menghindari paksaan dan memberikan mitra tutur
pilihan. Penutur dapat menghindari kesan memaksa dengan menekankan kepentingan
orang lain dengan menggunakan permintaan maaf, atau dengan mengajukan
pertanyaan yang memberikan kemungkinan untuk menjawab “tidak”.
Contoh:
Fafa meminta bantuan kepada Dewa yang baru ia
kenal di kelas mata kuliah pragmatik.
Fafa: “Maaf mengganggu, bisakah kamu
memberitahu saya alamat situs dosen kelas pragmatik ini?”
Fafa menggunakan kata yang baku karena ia belum
pernah berbicara dengan Dewa sebelumnya, dan memberikan Dewa kesempatan untuk
menjawab “tidak” dengan pemilihan kata-kata yang Fafa sampaikan kepada Dewa.
Kesantunan Menurut Brown dan
Levinson
Brown dan Levinson
(1987) menjabarkan 15 strategi kesantunan positif yang digunakan oleh penutur,
yakni:
1.
Memperhatikan kesukaan, keinginan,
dan kebutuhan pendengar. (Notice, attend
to H : his interests, wants, needs, goods).
2.
Membesar-besarkan perhatian,
persetujuan, dan simpati kepada pendengar (Exaggerate:
interests, symphaty with H).
3.
Mengintensifkan perhatian
pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta (Intensify interest to H).
4.
Menggunakan penanda identitas
kelompok: bentuk sapaan, dialek, jargon, atau slang (Use in- group identity markers: addressed forms, dialect, jargon or
slang).
5.
Mencari persetujuan dengan topik
yang umum atau mengulang sebagian/ seluruh ujaran (seek agreement:safe topics, repetition).
6.
Menghindari ketidaksetujuan dengan
berpura- pura setuju, persetujuan yang semu,berbohong untuk kebaikan, kata
berpagar (Avoid agreement: Token
agreement, pseudo- agreement, white lies, hedging opinions).
7.
Menunjukkan hal- hal yang dianggap
mempunyai kesamaan melalui basa basi dan presuposisi (Presuppose/raise/assert common ground: gossip, small talk).
8.
Menggunakan lelucon (joke).
9.
Menyatakan paham akan keinginan
pendengar (Assert or presuppose S’s
knowledge of and concern for H’s wants).
10. Memberikan tawaran, janji (offer,
promise).
11. Menunjukkan keoptimisan (be
optimistic).
12. Melibatkan penutur dan pendengar dalam aktifitas (include both S and H in the activity).
13. Memberikan pertanyaan atau meminta alasan (Give or ask for reasons).
14. Menyatakan hubungan secara timbal balik (Assume or assert reciprocity).
15. Memberikan hadiah pada pendengar: simpati, pengertian, kerjasama (give gifts to H (goods, symphaty,
understanding, cooperation).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar