Senin, 18 Februari 2019

Prinsip Kesantunan

Konsep Face

Menurut Brown dan Levinson, Muka atau face adalah image yang ingin dijaga baik oleh penutur maupun mitra tuturnya. Dengan kata lain, selain untuk menyampaikan pesan, komunikasi juga berfungsi untuk menjaga hubungan sosial dan estetis para partisipannya.
Sehingga, secara sederhana face yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson adalah public image, dimana dapat diartikan sebagai “harga diri” dalam pandangan masyarakat. Menurut mereka, bersikap peduli pada “wajah” atau “muka” baik milik penutur maupun milik mitra tutur bahwasannya adalah salah satu ciri bersikap santun.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau perilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Jadi, konsep face yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson adalah persoalan yang berkaitan dengan kesantunan bukan kesopanan.

Positive Face dan Negative Face

Menurut Brown dan Levinson, positive face is the positive and consistent image people have of themselves, and their desire for approval and negative face is the basic claim to territories personal preserves, and rights to non-distraction. Dengan kata lain, positive face adalah kebutuhan untuk terkoneksi atau menjalin hubungan dan negative face adalah kebutuhan untuk mandiri.
Jika dijabarkan lebih lanjut, maka positive face berkeinginan untuk melakukan pendekatan sosial dimana ini berartikan positive face memiliki kebutuhan untuk terhubung, untuk diterima sebagai anggota kelompok yang memiliki tujuan yang sama, untuk mandiri, untuk memiliki kebebasan bertindak, dan tidak terbebani. Sehingga, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa positive face menekankan pada solidaritas dan kesamaan.
Sedangkan, negative face berkeinginan untuk kebebasan dari pembebanan sehingga ia tidak memiliki kebutuhan seperti halnya positive face, ia hanya menekankan pada penghormatan dan kepedulian.

Positive Politeness dan Negative Politeness

Positive politeness bertujuan untuk menyelamatkan dengan menerapkan kedekatan dan solidaritas, biasanya dalam pertemanan atau persahabatan membuat orang merasa nyaman dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan mitra tutur) memiliki tujuan yang sama. Sehingga, secara sederhana positive politeness merupakan tindak penyelamatan wajah yang berkenaan dengan wajah positif seseorang akan cenderung memperlihatkan rasa kesetiakawanan, menandaskan bahwa kedua penutur menginginkan sesuatu yang sama, dan mereka memiliki suatu tujuan bersama atau makna lain menjaga muka positif.
Contoh:
Fafa meminta bantuan kepada Ara untuk memberitahu alamat situs dosen pembimbing mereka. Fafa dan Ara adalah teman dekat, mereka sudah berteman lebih dari 10 tahun.
Fafa: “Ra, kamu kan punya memori yang keren. Nah, lebih keren lagi jika kamu memberitahuku alamat situs dosen baru kita tadi”.
Fafa menggunakan bahasa yang digunakan antarteman kepada Ara yang bertujuan untuk memperlihatkan kedekatan mereka.
Negative politeness memberikan perhatian pada negative face dengan menerapkan jarak antara penutur dan mitra tutur dan tidak mengganggu wilayah satu sama lain. Penutur menggunakannya untuk menghindari paksaan dan memberikan mitra tutur pilihan. Penutur dapat menghindari kesan memaksa dengan menekankan kepentingan orang lain dengan menggunakan permintaan maaf, atau dengan mengajukan pertanyaan yang memberikan kemungkinan untuk menjawab “tidak”.
Contoh:
Fafa meminta bantuan kepada Dewa yang baru ia kenal di kelas mata kuliah pragmatik.
Fafa: “Maaf mengganggu, bisakah kamu memberitahu saya alamat situs dosen kelas pragmatik ini?”
Fafa menggunakan kata yang baku karena ia belum pernah berbicara dengan Dewa sebelumnya, dan memberikan Dewa kesempatan untuk menjawab “tidak” dengan pemilihan kata-kata yang Fafa sampaikan kepada Dewa.

Kesantunan Menurut Brown dan Levinson

Brown dan Levinson (1987) menjabarkan 15 strategi kesantunan positif yang digunakan oleh penutur, yakni:
1.      Memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan pendengar. (Notice, attend to H : his interests, wants, needs, goods).
2.      Membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada pendengar (Exaggerate: interests, symphaty with H).
3.      Mengintensifkan perhatian pendengar dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta (Intensify interest to H).
4.      Menggunakan penanda identitas kelompok: bentuk sapaan, dialek, jargon, atau slang (Use in- group identity markers: addressed forms, dialect, jargon or slang).
5.      Mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian/ seluruh ujaran (seek agreement:safe topics, repetition).
6.      Menghindari ketidaksetujuan dengan berpura- pura setuju, persetujuan yang semu,berbohong untuk kebaikan, kata berpagar (Avoid agreement: Token agreement, pseudo- agreement, white lies, hedging opinions).
7.      Menunjukkan hal- hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa basi dan presuposisi (Presuppose/raise/assert common ground: gossip, small talk).
8.      Menggunakan lelucon (joke).
9.      Menyatakan paham akan keinginan pendengar (Assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s wants).
10.  Memberikan tawaran, janji (offer, promise).
11.  Menunjukkan keoptimisan (be optimistic).
12.  Melibatkan penutur dan pendengar dalam aktifitas (include both S and H in the activity).
13.  Memberikan pertanyaan atau meminta alasan (Give or ask for reasons).
14.  Menyatakan hubungan secara timbal balik (Assume or assert reciprocity).

15.  Memberikan hadiah pada pendengar: simpati, pengertian, kerjasama (give gifts to H (goods, symphaty, understanding, cooperation).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar