BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar belakang
Karya sastra merupakan suatu bentuk
pencapaian dari pemikiran pengarang dalam memahami suatu masalah di sekitar
pengarang. Salah satu bentuk karya tersebut adalah puisi. Puisi menurut Watt-Dunton (Situmorang, 1980) adalah
ekpresi yang konkret dan bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa
emosional dan berirama. Puisi mencerminkan apa yang terdapat di dalam pikiran
seseorang. Puisi karya Thomas Haryanto Sukiran yang berjudul Ketika
Etika Politikus Masuk Kakus merupakan salah satu puisi yang menggunakan
pendekatan ekspresif.
Isi puisi dapat diangkat dari
permasalahan yang terdapat di dalam masyarakat sekitar mulai deari segi sosial,
politik, ekonomi, budaya dan agama. Pada makalah ini akan dibahas mengenai
puisi yang berjudul “Ketika Etika Politikus Masuk Kakus” sebagai bahan kajian teori
etika estetika.
I.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah teori
etika, estetika, dan logika itu?
2. Bagaimana
teori etika, estetika, dan logika diterapkan dalam karya sastra?
I.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. untuk
memahami teori etika, estetika, dan logika
2. untuk
mengetahui penerapan teori etika, estetika, dan logika dalam karya sastra
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Etika,
Estetika, dan Logika
Secara etimologis, etika berasal
dari kata ethos yang berarti adat kebiasaan. Istilah lain yang dianggap sama adalah
moral, secara etimologis berasal dari kata mos atau mores (latin). Moral
digunakan untuk tingkah laku yang sedang dinilai, sedangkan etika merupakan
pengkajian sistem nilai. Dengan kalimat lain, moral memberikan penilaian secara
praktis, penilaian pada tempat tertentu (lokal dan temporal), sedangkan etika
memberikan pada penilaian secara universal. Etika bersifat sosial, nilai-nilainya
besebarkan melalui antar hubungan individu dalam masyarakat. Secara historis
bermula dalam adat kebiasaan, tradisi dan konvensi, kemudian dalam sistem
kepercayaan dan sistem religius. Etika kemudian menjadi suatu ilmu pengetahuan
tersendiri, sebagai bagian dari ilmu filsafat.
Secara etimologis estetika berasal
dari bahasa yunani yaitu aistheta yang diturunkan dari aisthe yang berarti
hal-hal yang berkaitan dengan pikiran, dalam bahasa inggris (aesthethices)
berarti studi tentang keindahan. Orang yang sedang menikmati keindahan disebut
aistheta, sedangkan dalam pengertian luas berarti kepekaan untuk menanggapi
suatu objek, kemampuan pencerapan indah, sebagai sensitifitas. Istilah lain
yang digunakan adalah beauty (inggris), beuthe (perancis), bellus (latin) yang
berarti sesuatu yang baik, sifat yang baik, keutamaan, dan kebajikan.
Logika berasal dari kata logos
(latin) berarti sabda, perkataan. Secara etimologis logika bermakna sebagai
lelucon, dongeng, dan perumpamaan. Namun, sekarang ini lebih banyak dimaksudkan
sebagai ilmu berpikir, atau cara penalaran secara tepat. Definisi lain
menyebutkan bahwa logika adalah teori untu mencapai suatu kesimpulan secara
deduktif. Pengertian luasnya yakni menyangkut perdebatan sistematis dalam usaha
mnemukan kesimpulan, dan bagaimana kesimpulan tersebut dapat dibuktikan secara
ilmiah. Secara hitoris logika termasuk filsafat, sebagai seni berpikir. Logika
berkaitan dengan penggunaan bahasa. Oleh karena itu, logika disebut juga ilmu
pembahasan dan pembahasaan.
Dalam hubungan antara etika,
estetika, dan logika dikategorikan sebagai ilmu-ilmu normatif sebab berhubungan
dengan benar dan salah, baik dan buruk, indah dan tidak indah.
Hakikat
karya sastra adalah keindahan sebagai akibat dari pemanfaatan unsur-unsur
bahasanya, melalui aspek stilistika dan keseimbangan komposisi antar unsurnya
yang tergambar dalam totalitas karya tersebut, maka digunakan tolak ukur berupa
keindahan bahasa itu sendiri. Tujuan karya sastra adalah positif. Oleh karena
itu apapun yang dikemukakan di dalamnya bertujuan untuk memberi pencerahan
kepada pembaca. Karya sastra harus dibaca sebagai karya sastra, sebagai fiksi,
sebagai imanjinasi, dan seistem simbol, bukan ilmu pengetahuan. Karya sastra
juga bukan nasihat, pedoman, dan bentuk aturan lainnya. Oleh karena itu,
apabila di dalam suatu karya sastra terdapat lukisan tentang tokoh-tokoh jahat,
maka harus dipahami dalam aspek yang terkandung di baliknya, aspek yang
menyebabkan terjadinya kejahatan dana akibat dari kejahatan tersebut.
Karya sastra memiliki hubungan yang
ambigu dengan pengarang dalam teori kontemporer peranan pengarang justru
ditolak dan dianggap anonimitas. Sama halnya dengan hubungan antara karya
sastra dengan etika maupun dengan logika. Masyarakat lama menganggap bahwa
fungsi utama karya sastra adalah mengungkap masalah-masalah kebenaran. Berbeda
dengan masyarakat modern yang telah mampu membedakan kebenaran secara faktual.
Puisi karya Thomas Haryanto Sukiran merupakan karya puisi yang lahir dari
seorang masyarakat modern. Berikut adalah puisi Karya Thomas Haryanto Sukiran:
Ketika Etika Politikus
Masuk Kakus
Ketika
logika politik dikritik bertubi-tubi
Maka
pikiran yang sesat dilanggengkan
Dibudidaya
dijungkirbalikkan hingga tak berdaya
Bahasa
menjadi alat menipu rakyat
Hutang
berlebihan dikata pendapatan pembangunan
Anggaran
yang terang benderang kurang dikata berimbang
Tangkap
orang tanpa tatap dikata mengamankan
Menyiksa
dikata mendidik
Memporak-porandakan
perekonomian dikata membuat jalan masa depan
Ketika
etika politika masuk kakus
Menjadi
tikus
Betapapun
dibungkus
2.2 Penerapan Teori Etika, Estetika,
dan Logika dalam karya sastra
Karya puisi dari Thomas Haryanto
Sukiran yang berjudul “Ketika Etika Politikus Masuk dalam Kakus” berkaitan
dengan teori etika karena karya puisi yang ditulis oleh Thomas Karyanto Sukiran
tidak mencerminkan adanya etika. Sedangkan dalam teori Etika sendiri merupakan
kaidah yang diiterapkan dalam norma-norma atau aturan yang berlaku. Karya puisi ini mencerminkan kehidupan duniawai
yang jelas adanya bahwa sering terjadi korupsi. Thomas Haryanto Sukiran hanya
menulis puisi yang sudah jelas dimengerti masyarakat. Thomas tidak memberikan
solusi terhadap masalah korupsi. Thomas hanya memberikan contoh para koruptor
ketika sedang beraksi dan hanya merugikan masyarakat khususnya masyarakat
Indonesia. Puisi tersebut dapat dimaknai bahwa koruptor semakin hari tidak
semakin berkurang tetapi setiap tahun malah banyak koruptor-koruptor dengan
jabatan sebagai orang tinggi atau orang penting. Orang politik harusnya lebih
memahami seluk beluk kelakuan masyarakatnya dan tidak mengambil hak kepada
orang bawah yang seharusnya itu memang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Seorang politikus penghasilannya lebih besar daripada orang yang tidak
mempunyai pangkat. Negara Indonesia memperkaya sumber daya alamnya tetapi
sumber daya manusia tidak dijalankan oleh masing-masing individu. Justru sumber
daya manusia yang dimiliki oleh masyarakat Indoenesia adalah sumber daya
manusia yang lemah. Masyarakat Indonesia lebih mementingkan penghasilan yang
besar daripada harkat martabat yang digunakan.
Maka
dari itu, koruptor tidak pernah berkurang malah makin banyak di setiap
tahunnya. Etika pada puisi karya Thomas Haryanto Sukiran ini tidak menunjukkan
sikap etika pada masyarakatnya dan bertentangan pada hasil solusinya. Etika
bersifat sosial, nilai-nilainya besebarkan melalui antarhubungan individu dalam
masyarakat. Secara historis bermula dalam adat kebiasaan, tradisi dan konvensi,
kemudian dalam sistem kepercayaan dan sistem religius.
Teori Estetika berarti studi tentang
keindahan. Karya puisi Thomas Haryanto Sukiran yang berjudul “Ketika Etika
Politikus Masuk dalam Kakus” memiliki estetika yang dapat kami nikmati yakni
pada penggunaan kata yang digunakan oleh Thomas. Kata-kata yang digunakan oleh
Thomas adalah kata-kata yang berupa tanggapan Thomas dan mendeskripsikan
bagaiaman koruptor pada saat ini. kami merasakan sekali bahwa koruptor di
Indonesia semakin marak dan merugikan masyrakat-masyarakat kecil di Indonesia.
Penggunaan kata yang digunakan oleh Thomas tidak membosankan dan menjadi ciri
khas Thomas ketika menulis karya puisi. Karya-karya puisi yang ditulis oleh
Thomas kebanyakan tentang politik-politik.
Orang yang sedang menikmati keindahan disebut
aistheta, sedangkan dalam pengertian luas berarti kepekaan untuk menanggapi
suatu objek, kemampuan pencerapan indah, sebagai sensitifitas. Istilah lain
yang digunakan adalah beauty (inggris), beuthe (perancis), bellus (latin) yang
berarti sesuatu yang baik, sifat yang baik, keutamaan, dan kebajikan.
Logika berkaitan dengan hal yang benar maupun yang salah.
Dalam etika, manusia dituntut untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. untuk memahami permasalahan yang berkaitan dengan moralitas yakni
moral kaum politikus, maka masyarakat dituntut untuk memahami permasalahan kaum
para elite tersebut berdasarkan pemahaman yang benar akan segala sesuatunya.
Dengan kata lain, untuk memahami permasalahan moralitas, masyarakat memerukan
logika untuk dapat berpikir secara benar sehingga para koruptor bersikap adil
dan tidak sewena-wena terhadap masyarakat. Demikian pula dengan etika dan
estetika, dimana subjeknya adalah tentang keindahan. Dalam puisi ini politikus
dituntut untuk dapat menggunakan pikirannya dengan benar sbeelum ia memutuskan
mana yang indah (pantas dilakukan) dan mana yang tidak indah (tidak pantas
dilakukan)
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Puisi mencerminkan apa yang terdapat di dalam
pikiran seseorang. Puisi karya Thomas Haryanto Sukiran
yang berjudul Ketika Etika Politikus Masuk Kakus merupakan salah satu puisi
yang membahas mengenai dinamika politik di masyarakat. Teori etika, estitika
dan logika digunakan dalam puisi ini. Berdasarkan analisis di atas maka
disimpulkan bahwa kata-kata yang digunakan oleh Thomas adalah kata-kata yang
berupa tanggapan Thomas dan mendeskripsikan bagaiaman koruptor pada saat ini.
3. 2 Saran
Menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber -
sumber yang lebih banyak yang tentunya
dapat di pertanggung jawabkan.
Oleh karena itu kami mengharapkan saran maupun kritikan dari pembaca untuk
mengevaluasi makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Sachari, Agus. 2002.
Estetika, Makna, Simbol, dan Daya. Penerbit
ITB: Bandung
Ratna, Kutha
Nyoman. 2007. Estetika Satra dan Budaya. Pustaka
Belajar: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar