BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebuah bahasa akan
mengalami perkembangan sejak bentuk dasar sampai bentuk lanjutannya. Hal inilah
yang menjadikan bahasa bersifat arbiter. Arbiter secara etimologi berarti
‘kesewenagan, manasuka’. Sedangkan, arbiter secara terminologi adalah
ketidakaadaan hubungan wajib antara lambang dengan acuan. Sifat arbitrer pada
bahasa tersebut menyebabkan setiap bahasa mengalami banyak proses berupa
perkembangan, perubahan, penyebaran, dan sebagainya.
Salah
satu proses perubahan yakni rekonstruksi bahasa. Rekonstruksi
bahasa adalah upaya penyusunan kembali sosok bahasa purba yang menurunkan
isolek-isolek modern untuk digunakan oleh para penutur pada masa sekarang.
Rekonstruksi bahasa dapat dilakukan dengan cara membandingkan unsur-unsur yang
terdapat dalam isolek-isolek sekerabat.
Menghitung
perbandingan kekerabatan dalam sebuah bahasa pada umumnya menggunakan metode
kuantitatif. Dalam metode kuantitatif terdapat teknik leksikostatistik dan
teknik glotokronologi. Leksikostatistik
kadang-kadang dianggap sama atau berbeda dengan glotokronologi. Jika disimak
dari aspek tujuan akhir yang akan dicapai, kedua hal tersebut memiliki tujuan
yang berbeda. Namun apabila dilihat dari aspek kenyataan, jelas bahwa kedua hal
itu mempunyai hubungan erat yang saling melengkapi sehingga tidak ada alasan
untuk memandang kedua itu berbeda (Langgole, 1997: 52)
Leksikostatistik dan
leksikostatistik merupakan dua hal yang berbeda. Leksikostatistik merupakan
teknik pengelompokan bahasa yang
lebih cenderung mengutamakan perhitungan leksikon
(kata-kata) secara statistik,
untuk kemudian berusaha menetapkan pengelompokan itu berdasarkan
persentase kesamaan suatu
isolek bahasa dengan bahasa
lain. Sedangkan Glotokronology merupakan
teknik pengelompokan bahasa
yang lebih mengutamakan
perhitungan waktu atau usia dari bahasa-bahasa yang berkerabat (Jalal,
2012:165).
Untuk memahami tentang metode kuantitatif dalam rekonstruksi bahasa, maka dalam
makalah ini akan dibahas tentang leksikostatistik dan glotokronologi serta
aplikasi teknik tersebut dalam meneliti suatu bahasa secara rinci.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah metode
kuantitatif dengan menggunakan metode leksikostatistik dan glotokronologi?
1.2.2 Bagaimanakah aplikasi
metode perhitungan leksikostatistik dan glotokronologi dalam penelitian bahasa?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui metode
kuantitatif dengan menggunakan metode leksikostatistik dan glotokronologi.
1.3.2 Untuk mengetahui aplikasi
metode leksikostatistik dan glotokronologi dalam penelitian bahasa.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Metode Kuantitatif Leksikostatistik dan
Glotokronologi
Rekonstruksi bahasa
merupakan salah satu materi kajian yang dipelajari dalam bidang dialektologi.
Pengertian rekonstruksi secara etimologi merupakan sebuah kata yang berasal
dari bahasa Inggris, yakni reconstruction
(re yang berarti ‘kembali’ dan construction yang berarti
‘pembangunan’). Sedangkan, pengertian rekonstruksi secara terminologi adalah
sebuah proses pembanguan atau penyusunan ulang dalam sebuah hal untuk kembal
kepada asal atau dasarnya. Begitu pula dengan bahasa, sebuah bidang yang juga
dapat mengalami proses rekonstruksi. Apabila pengertian bahasa ditinjau dari
KBBI, bahasa adalah seperangkat sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer
untuk digunakan oleh para anggota suatu masyarakat dalam urusan kerja sama,
interaksi sosial, dan identifikasi diri.
Tujuan adanya rekonstruksi bahasa yakni memberikan kejelasan
mengenai hubungan kekerabatan anatarbahasa yang diturunkan dari sebuah induk
(proto) sehingga dapat mengetahui tentang rumpun-rumpun bahasa yang terbentuk
dari bahasa tersebut. Sebab, menurut Djantra Kawi dalam Mahsun (1995:75-76)
menyatakan bahwa pemantauan kembali bentuk-bentuk bahasa purba dapat memberi
informasi yang sangat berharga bagi upaya penentuan suatu bentuk berkategori
pewarisan atau inovasi (internal dan eksternal).
Rekonstruksi
bahasa dapat dikaji dengan berbagai metode baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif adalah sebuah jenis metode
penelitian yang bersifat sistematis, spesifik, dan struktural sehingga
terencana dengan baik sejak awal hingga akhir guna mendapatkan sebuah
kesimpulan. Metode kuantitatif lebih
menekankan pada penggunaan angka-angka yang menjadikannya lebih rinci dan
jelas. Selain itu, penggunaan tabel, grafik, dan diagram sangat mempermudah
pemahaman pembaca.
2.1.1 Leksikostatistik
Metode leksikostatistik, yaitu
suatu teknik dalam pengelompokkan bahasa
yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon)
secara statistik, untuk kemudian berusaha
menetapkan pengelompokan itu berdasarkan
persentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain,
bukan semata-mata merupakan metode untuk
menentukan waktu pisah
dua bahasa kerabat, tetapi ia juga menjadi metode untuk mengadakan
pengelompokan bahasa-bahasa kerabat (Surbakti, 2014: 6).
Leksikostatistik
merupakan suatu teknik dalam pengelompokkan bahasa yang lebih cenderung
mengutamakan peneropongan kata-kata secara statistik lalu menetapkan
pengelompokkan itu berdasarkan persentase kekerabatan bahasa yang diperbandingkan
(Keraf, 1996: 121).
Menurut Mahsun
(1995), leksikostatistik adalah metode pengelompokan bahasa yang dilakukan
dengan menghitung persentase perangkat kognat (kerabat). Sebagian data berupa kosakata dianalisis berdasarkan
leksikostatistik untuk mendapat kesan dialek dan bahasa serta pengelompokan
bahasa sekerabat [Kridalaksana, 1964:326]. Dalam proses leksikostatistik,
khususnya untuk mencari kata sepadanan perlu dibantu oleh metode perbandingan
juga [Kridalaksana, 1964:326].
Leksikostatistik merupakan suatu
teknik dalam pengelompokan
bahasa yang mengutamakan aspek kata-kata (leksikon) atau membandingkan
kosakata secara statistik dan berusaha menetapkan pengelompokan berdasarkan
persentase kesamaan suatu bahasa dengan
bahasa lain. Jadi dapat dikatakan
bahwa metode leksostatistik adalah suatu kaidah yang digunakan dalam menentukan
hubungan kekerabatan suatu bahasa
berdasarkan penghitungan leksikon (kata-kata).
Kosa kata dasar
Swadesh menjadi instrumen penghitungan
dalam kaidah leksikostatistik. Terdapat 200 kata menurut Morish
Swadesh. Kata Swades adalah
kata-kata dasar yang
secara umum digunakan
oleh setiap kelompok masyarakat
tufur atau kata-kata
dasar yang secara
umum dan luas digunakan
oleh hampir semua masyarakat bahasa. Kata-kata Swades, di antaranya berisi nama-nama bagian
tubuh manusia, tumbuhan, binatang, kata bilangan, aksesoris
wanita istilah kekerabatan,
pronomina, ukuran, sifat (Patriantoro, 2012: 33). Dengan menggunakan
dasar dasar
leksikostatistik, Swadesh mengusulkan suatu klasifikasi untuk
menetapkan kapan dua bahasa disebut dialek,
kapan sekelompok bahasa disebut
keluarga bahasa (language
family), bilamana sekelompok
bahasa termasuk rumpun bahasa
(stock) dan sebagainya (Keraf,
1991: 134).
Kajian
leksikostatistik berdasarkan kosakata yang mendasar (basic vocabulary), yaitu kosa kata tertentu yang tidak mudah
berubah. Kata-kata semacam itu dianggap warisan bersama dari bahasa proto
(induk). Dengan demikian, kosakata tersebut mempunyai derajat retensi yang
tinggi sepanjang masa. Setelah 1000 tahun, kosakata tersebut akan mengalami
pengikisan. Dalam 1000 tahun berikutnya, persentase retensi akan tetap sama,
dan demikianlah selanjutnya (Dyen dalam Suyata, 1999: 70).
Selanjutnya Dyen
mengatakan bahwa dengan membandingkan basic vocabulary antara sepasang bahasa
kerabat, akan ditemukan persamaan dan perbedaan. Persamaan yang ada (cognate)
dihitung dengan angka-angka persentase. Apabila selisih persentase kurang atau
sama dengan 10%, hubungan bahasa-bahasa tersebut dikatakan dekat. Oleh karena
itu, mereka dapat dimasukkan ke dalam satu kelompok. Sebaliknya, jika dua
bahasa selisihnya lebih dari 10%, hubungan kedua bahasa tersebut jauh, dan
mereka tidak dapat dimasukkan ke dalam satu kelompok.
Nothofer (1990)
menjelaskan bahwa leksikostatistik memiliki beberapa kelebihan jika
dibandingkan dengan metode-metode lainnya. Berikut adalah kelebihan-kelebihan
leksikostatistik:
1. Sebagai
daftar kosakata dasar yang cepat dapat menentukan hubungan kekerabatan bahasa
yang sekerabat
2. Sebagai alat
pengelompokan bahasa/ dialek yang sekerabat yang proto bahasanya belum begitu
tua/kuno, dan
3. Sebagai alat/
metode yang dapat dipakai pada tahap awal untuk menetapkan klasifikasi bahasa.
Cara
kerja leksikostatistik mengikuti prinsip-prinsip seperti berikut:
1. Mengumpulkan
sejumlah kata dasar dari kosakata dasar.
Upaya menetapkan
kosakata dasar yang sekerabat mengikuti tahap-tahap sebagai berikut:
a.
Mencari kosakata yang bukan dari bahasa/kata pinjaman.
b.
Pengisolasian morfem terikat
c. Membandingkan
semua pasangan kata untuk menentukan pasangan kata yang sekerabat. Menetapkan kata
kerabat yang memiliki
hubungan genetis dengan kriteria
sebagai berikut:
1.
pasangan yang identik,
2.
pasangan yang memiliki korespondensi
fonemis,
3.
pasangan yang mirip
secara fonetis,
4.
pasangan berbeda satu fonem,
2. Menentukan
pasangan kosakata dasar yang sekerabat (kognat). Cara menghitung persentase
kata kerabat digunakan rumus:
Keterangan: C= Cognates atau kata kerabat
K= Jumlah kosakata kerabat
G= Jumlah Gloss
\
2.1.2 Glotokronologi
Glotokronologi adalah
suatu teknik dalam
linguistik historis
komparatif yang berusaha
mengadakan pengelompokan dengan
lebih mengutamakan perhitungan
waktu (time depth) atau perhitungan usia bahasa-bahasa kerabat. Dengan
menggunakan glotokronologi, maka bahasa dapat dihitung kapan ia berpisah dari
bahasa protonya.
1.
Menghitung usia atau waktu pisah kedua bahasa. Waktu pisah antara kedua
bahasa kerabat yang telah diketahui presentase kata kerabatnya, dapat dihitung
dengan mempergunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
W= Waktu pisah dalam ribuan tahun yang lalu
r = Retensi atau prosentase konstan dalam
1000 tahun, atau disebut juga indeks. Dalam hal ini retensi yaitu 80,5%
C= Prosentase kerabat
Log= Logaritma dari
2. Menghitung
jangka kesalahan untuk menetapkan kemungkinan waktu pisah yang paling tepat.
Untuk menghitung jangka kesalahan biasanya digunakan kesalahan standar, yaitu
70% dari kebenaran yang diperkirakan. Kesalahan standar diperhitungkan dengan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
S= Kesalahan standar dalam prosentase kata
kerabat
c= Prosentase kata kerabat
n=
Jumlah kata yang diperbandingkan (baik kerabat maupun non kerabat)
2.2 Aplikasi Metode
Leksikostatistik dan Glotokronologi
2.2.1 Leksikostatistik
Berdasarkan keempat
asumsi dasar di atas, teknik leksikostatistik mengambil dua langkah dalam
penelitian, yaitu : mengumpulkan Kosakata Dasar (KKD) dan menghitung kata
kerabat (cognate). Penulis mengutip
Skripsi karya Fitriana Sinaga dari Program Studi Bahasa Batak, Depertemen
Bahasa dan Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan
pada tahun 2007 dengan judul “ Kajian Leksikostatistik antara Bahasa Simalungun
dengan Bahasa Karo” sebagai contoh penerapan kedua langkah tersebut. Penjelasannya
secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Mengumpulkan
Kosa Kata Dasar (KKD).
Unsur
terpenting dalam perbandingan terhadap dua bahasa atau lebih yakni mengumpulkan
daftar kosakata dasar dari bahasa-bahasa yang diteliti. Berdasarkan susunan Morrish
Swades yang berisi 200 kata yang dapat dianggap sudah cukup baik sehingga tidak
perlu menggunakan daftra kosa kata yang lain atau daftar daftar kosa kata dasar
yang disusun oleh para peneliti lain.
2.
Menghitung
kata kerabat (cognate).
Ketika
menetapkan kata kerabat (cognate)
dari bahasa-bahasa yang diselidiki, haruslah mengikuti prosedur-prosedur
sebagai berikut :
a.
Gloss yang
diperhitungkan
Pertama, harus
mengeluarkan gloss yang tidak akan diperhitungkan dalam penetapan kata kerabat
atau non-kerabat. Gloss yang tidak diperhitungkan itu merupakan kata-kata
kosong yakni gloss berupa kata-kata yang tidak akan ditemukan dalam
bahasa-bahasa yang diteliti, misalnya : nyiur, lembayung, pajri, mobil, motor,
dsb. kedua, semua kata pinjaman dari bahasa-bahasa kerabat maupun bahasa-bahasa
non-kerabat, misalnya : clemek, surau, grendel, khitanan, solat, zakat, dsb.
b.
Pengisolasian
morfem terikat
Apabila di dalam
data-data yang telah dikumpulkan tersebut didapati morfem-morfem terikat
sebelum mengadakan perbandingan untuk mendapatkan kata kerabat atau
non-kerabat, semua morfem terikat tersebut harus diisolir terlebih dahulu.
Pengisolasian morfem
tersebut akan memudahkan penetapan pasangan kata yang menunjukkan
kesamaan atau kebedaan. Contoh :
Gloss kata /rintak/ dalam
bahasa Karo berarti ‘tarik’ telah diisolasi dari bentuk menarik.
c.
Penetapan
kata kerabat
Bila kedua
prosedur di atas
telah dikerjakan, baru dimuali
perbandingan antara
pasangan-pasangan kata dalam
bahasa-bahasa tersebut untuk menetapkan
apakah pasanganpasangan itu
berkerabat atau tidak.
Sebuah pasangan kata akan dinyatakan sebagai kata kerabat jika memenuhi
salah satu ketentuan berikut:
1.
Pasangan
itu identik
Apabila pasangan kata yang identik merupakan pasangan
kata yang semua fonemnya sama betul akan menjadikannya dapat dianggap
berkerabat, contoh :
Gloss
|
Bahasa Simalungun
|
Bahasa Karo
|
hujan
|
udan
|
udan
|
ladang
|
juma
|
juma
|
sawah
|
sabah
|
sabah
|
delapan
|
Waluh
|
waluh
|
mimpi
|
Nipi
|
nipi
|
Tabel 1. Pasangan identik dalam bahasa
Simalungun dan bahasa Karo
2. Pasangan
itu memiliki korespondensi fonemis
Apabila perubahan fonemis antara kedua bahasa tersebut
terjadi secara timbal balik dan teratur dan berfrekuensi tinggi akan menjadikan
bentuk yang berimbang antara kedua bahasa tersebut dapat dianggap berkerabat.
Contoh :
Gloss
|
Bahasa Simalungun
|
Bahasa Karo
|
tidur
|
Modom
|
medem
|
takut
|
Mabiar
|
mbiar
|
periuk
|
Hudon
|
kudin
|
Tabel 2. Korespondensi fonemis bahasa Simalungun dan bahasa Karo
3. Kemiripan
secara fonemis
Apabila tidak dapat dibuktikan bahwa sebuah pasangan
kedua bahasa tersebut mengandung korespondensi fonemis, tetapi mengandung
kemiripan secara fonetis dalam posisi artikulatoris yang sama akan menjadikan
pasangan tersebut dapat dianggap sebagai kata kerabat. Contoh :
Gloss
|
Bahasa Simalungun
|
Bahasa Karo
|
napas
|
marbosah
|
erkesah
|
jauh
|
daoh
|
ndaoh
|
licin
|
malandit
|
meladit
|
renag
|
marlangui
|
erlengi
|
Malu
|
Maila
|
Mela
|
Tabel 3. Kemiripan secara fonemis bahasa Simalungun dan bahasa Karo
4. Satu
morfem berbeda
Apabila dalam satu pasangan kata terdapat perbedaan satu
fonem, tetapi dapat dijelaskan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena pengaruh
lingkungan yang dimasukinya akan menjadikan pasangan tersebut dapat dianggap
sebagai kata kerabat. Contoh :
Gloss
|
Bahasa Simalungun
|
Bahasa Karo
|
gigi
|
ipon
|
ipen
|
duduk
|
hundul
|
kundul
|
menantu
|
hela
|
kela
|
sembuh
|
malum
|
madem
|
awan
|
ombun
|
embun
|
Tabel 4. Satu morfem berbeda bahasa Simalungun dan bahasa Karo
Sesudah menetapkan kata-kata kerabat
dengan prosedur-prosedur sebagaimana di atas, dapat ditetapkan besarnya
persentase kekerabatan antara kedua bahasa tersebut dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
C= Cognates atau kata kerabat
K=
Jumlah kosakata kerabat
G=
Jumlah Gloss
C= 116 x 100%= 58%
200
Persentase kata kerabat dihitung dari
jumlah pasangan yang sisa yakni 200 kata dikurangai dengan kata (gloss) yang
tidak diperhitungkan karena kosong atau pinjaman. Dari 200 kata untuk bahasa
Simalungun dan bahasa Karo hanya terdapat 197 pasangan yang lengkap dan 3 gloss
tidak memiliki pasangan. Dari 197 pasangan yang ada terdapat 116 pasangan kata
kerabat atau 58% kata kerabat.
2.2.2 Glotokronologi
Setelah mendapatkan
persentase kata yang berkerabat, maka dapat dilakukan penghitungan waktu pisah.
Dalam analisis perhitungan waktu pisah pada analisis ini kami penulis
menggunakan data penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Novita Sari pada bahasa
Aceh, bahasa Alas, dan Bahasa Gayo. Penghitungan waktu pisah itu, dapat
dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
W= Waktu pisah dalam ribuan tahun yang lalu
r = Retensi atau prosentase konstan dalam 1000
tahun, atau disebut juga indeks. Dalam hal ini retensi yaitu 80,5%
C= Prosentase kerabat
Log=Logaritma
dari
Waktu pisah tiga
bahasa, yakni bahasa Aceh, bahasa Alas, dan Bahasa Gayo dapat dihitung memakai
rumus di atas. Perhatikan penjelasan berikut ini:
a. Bahasa Aceh dan Bahasa
Gayo
Diketahui: C= 57%
r= 80,5% (0,805)
Ditanya: W=…..?
= log 0,57
2 log 0,805
= log -0,562
2 log -0,217
= -0,562
2 x-0,217
= -0,562
-0,434
= 1,294 x 1000 tahun= 1294
b. Bahasa Gayo dan Bahasa
Alas
Diketahui: C= 62%
(0,62)
r = 80,5% (0,805)
Ditanya: W=….?
= log
0,62
2 log 0,805
= -
0,478
2 x -0,217
= -0,478
-0,434
= 1,101
x 1000 tahun = 1.101
c. Bahasa Alas dan Bahasa
Aceh
Diketahui: C= 67% (0,67)
r = 80,5% (0,805)
Ditanya: W
=…?
= log 0,67
2 log
0,805
= -0,400
2 x -0,217
= -0,400
-0,434
= 0,922 x 1000 tahun = 922
Hasil penghitungan
tersebut bukan merupakan
tahun pasti kedua
bahasa itu berpisah, maka
harus ditetapkan suatu jangka
waktu perpisahan itu terjadi. Oleh
karena itu, harus
diadakan perhitungan tertentu
untuk menghindari kesalahan semacam itu.
Jadi, masih diperlukan
teknik statistik berikutnya.
Teknik penghitungan berikutnya adalah menghitung jangka kesalahan.
Cara yang
digunakan untuk menghindari
kesalahan dalam statistik
adalah memberi suatu perkiraan
bahwa suatu hal
terjadi bukan dalam
waktu tertentu, tetapi dalam
suatu jangka tertentu. Untuk menghitung jangka kesalahan biasanya
dipergunakan kesalahan standar,
yaitu 70% dari
kebenaran yang diperkirakan. Kesalahan standar dapat
dihitung menggunakan rumus berikut:
Keterangan:
S= Kesalahan standar dalam prosentase kata
kerabat
c= Prosentase kata kerabat
n=Jumlah kata yang diperbandingkan (baik
kerabat maupun non kerabat).
Waktu
pisah tiga bahasa, yakni bahasa Aceh, bahasa Alas, dan Bahasa Gayo dapat
dihitung memakai rumus di atas. Perhatikan penjelasan berikut ini:
a.
Bahasa Aceh dan Bahasa Gayo
Diketahui: C= 0,57
n= 297
Ditanya: S=…?
Dijawab:
Hasil
dari kesalahan standar
ini (0,03) dijumlahkan
dengan persentase kerabat awal (C1)
untuk mendapatkan C2 (C2 =
C1 + S).
Jadi C2 hasilnya adalah 0,57+0,03=0,60. Dengan
adanya C2, maka
waktu pisah dapat
dihitung kembali, dengan
menggunakan rumus yang sama:
Waktu pisah tersebut dikali 1000 sehingga hasilnya menjadi
1.177
Dengan demikian, jangka kesalahan = W1 -W2 =
1.294-1.177= 117
b.
Bahasa Gayo dan Bahasa Alas
Hasil dari
kesalahan standar ini
(0,03) dijumlahkan dengan
persentase kerabat awal (C1)
untuk mendapatkan C2
(C2 = C1
+ S). Jadi
C2 hasilnya adalah
0,62+0,03=0,65. Dengan adanya
C2, maka waktu
pisah dapat dihitung
kembali, dengan menggunakan rumus yang sama:
Diketahui: C2= 65%
log
r = 0,805
Ditanya: W2=….?
Waktu pisah tersebut dikali
1000 sehingga hasilnya menjadi 995. Dengan demikian, jangka kesalahan = W1-W2 =
1.101-995= 106
c.
Bahasa Alas dan Bahasa Aceh
Hasil dari
kesalahan standar ini
(0,03) dijumlahkan dengan
persentase kerabat awal (C1)
untuk mendapatkan C2
(C2 = C1
+ S). Jadi
C2 hasilnya adalah
0,53+0,03=0,56. Dengan adanya
C2, maka waktu
pisah dapat dihitung
kembali, dengan menggunakan rumus yang sama:
Diketahui: C2= 56%
log r= 0,805
Ditanya: W2=…..?
Waktu pisah tersebut dikali 1000 sehingga hasilnya
menjadi 1.336
Dengan demikian, jangka kesalahan = W1-W2=
1.463-1.336= 127
BAB
III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Rekontruksi
bahasa bertujuan untuk memberikan kejelasan mengenai hubungan kekerabatan
antarbahasa yang diturunkan dari sebuah induk (proyo) sehinnga dapat mengetahui
tentang rumpun-rumpun bahasa yang terbentuk tersebut. Metode kuantitatif adalah
sebuah jenis metode penelitian yang bersifat sistematis, spesifik, dan
struktural sehingga terencana dengan baik sejak awal hingga akhir guna
mendapatkan kesimpulan. Metode leksikostatistik yakni suatu teknik dalam
pengelompokkan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata
(leksikon) secara statistik lalu menetapkan pengelompokan itu berdasarkan
presentase kekerabatan bahasa yang diperbandingkan. Sedang glotokronologi
adalah suatu teknik dalam linguistik historis komparatif yang berusaha
mengadajan pengelompokan dengan lebih mengutakan perhitungan waktu (time depth) atau perhitungan usia
bahasa-bahasa kerabat.
DAFTAR
PUSTAKA
Arya. 2017. Pengertian
Metode Penelitian. Diunduh pada http://sahabatnesia.com/metode-penelitian-kualitatif-dan-kuantitatif/,
3 November 2017).
Ibrahim
Abd. Syukur 1982. Perinsip dan
Metode Lingusitk Historis.Usaha Nasional Surabaya.
Jalal, Moch. Kekerabatan
Bahasa-bahasa Minahasa di Propinsi Sulawesi Utara. Dalam jurnal LITERA,
Volume 11, Nomor 2, Oktober 2012 hal 165.
Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, H. 1964. Perhitungan leksikostatistik atas Delapan Bahasa Nusantara Barat
serta Penentuan Pusat enjebaran Bahasa‚Q Itu Berdasarkan Teori Migrasi.
Langgole,
Nurdin. 1997. Kekerabatan Bahasa
Makassar, Konjo, dan Selayar dalam Angka: Suatu Analisis Leksikostatistik.
Leksikostatistik dan Glotokronologi.pdf (Online)
(https://documents.tips/documents/leksikostatistik-dan-glotokronologi.html ,
diunduh 2 November 2017).
Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Nothofer, Bernd. 1987. Cita-cita Penelitian Dialek. Dalam Dewan Bahasa, Jilid III,
Bilangan 2, Hal. 128-148.
Nursirwan. 2012.
Klasifikasi Leksikostatistik Bahasa
Melayu Langkat, Bahasa Melayu Deli, dan Bahasa Dairi Pakpak. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Patriantoro.
2012. Dialektologi Bahasa Melayu di Pesisir Kabupaten Pontianak dalam jurnal Widyaparwa Volume
40, Nomor 2, Desember.
Sinaga, Fitriana. 2007. Kajian Leksikostatistik Antara Bahasa Simalungun dengan Bahasa Karo. Skripsi.
Medan: Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Sari,
Kurnia Novita. 2012. Leksikostatistik bahasa Aceh, bahasa Alas, dan Bahasa
Gayo: Kajian Linguistik Historis Komparatif. Skripsi tidak diterbitkan.
Semarang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Surbakti, Ernawati Br. Kekerabatan Bahasa Karo, Minang, dan Melayu: Kajian Linguistik Historis
Komparatif. Dalam jurnal Volume II
Nomor 1. Januari – Juni Hal 1-21.
Suyata, Pujiati. 1999. Dari Leksikostatistik ke Glotokronologi:
Analisis Sembilan Bahasa di Indonesia dalam jurnal Humaniora No 10
Januari-April.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar