Senin, 18 Februari 2019

Estetika dalam Sajak 'Doa' Chairil Anwar


Pendahuluan

Puisi sejatinya adalah bentuk karya sastra yang paling tua. Sejak kelahirannya, puisi selalu menunjukkan ciri-ciri khas yang telah berkembang dari tahun ke tahun. Definisi mengenai puisi sendiri sangat sulit untuk diberikan. Untuk memahami puisi biasanya diberikan ciri-ciri karakteristik puisi dan unsur-unsur yang membedakan puisi dari karya sastra yang lainnya.  Dari segi bentuk fisik yang terlihat dalam karya tulis, puisi sudah menunjukkan perbedaan dari prosa dan drama. Dari segi bentuk pengucapan batinnya, puisi juga berbeda dari prosa dan drama. Ada saat-saat tertentu yang memungkinkan ketepatan pengucapan batin dengan puisi, ada saat lain yang menuntut hanya dapat diungkapkan dengan ujud prosa dan drama, namun pikiran dan perasaan lainnya hanya dapat diungkapkan dalam ujud puisi. Bentuk karya sastra puisi dikonsep oleh penulis atau penciptanya sebagai puisi bukan bentuk prosa yang kemudian dipuisikan. Konsep pemikiran pencipta sesuai dengan bentuk yang terungkapkan dalam puisi tersebut. Sejak di dalam konsepnya, seorang penyair telah mengkonsentrasikan segala kekuatan bahasa dan mengkonsentrasikan gagasannya untuk melahirkan sebuah puisi. Penyair tidak memulai membuat puisi dengan menggunakan konsep prosa. Sehingga, seorang penyair belum tentu mampu menjadi pengarang prosa, dan sebaliknya pengarang prosa belum tentu mampu menjadi penyair.
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat padat, namun berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif (Waluyo, 2003: 1).
Dilihat dari pengertian puisi menurut Herman J. Waluyo tersebut dapat terlihat bahwa puisi merupakan sebuah karya seni yang dapat dikaji dari berbagai macam aspek. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya karena puisi tersusun dari bermacam-macam unsur-unsur dan sarana-sarana kepuitisan, jenis-jenis atau ragam-ragamnya karena terdapat  berbagai jenis dan ragam puisi, sudut kesejarahannya karena sepanjang sejarahnya puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan.
Puisi adalah sebuah karya sastra yang memiliki keindahan dibalik pemilihan diksi,
pemaknaan, dan lain sebagainya. Sehingga, unsur estetika tidak akan pernah lepas dari suatu puisi. Nilai estetika sebuah puisi akan hadir dalam sebuah puisi yang sangat patut untuk diteliti.
Makalah ini, penulis akan menjabarkan mengenai unsur estetika dari salah satu penulis puisi angkatan 45 yang sangat terkenal yakni Chairil Anwar dengan salah satu puisinya yang bertemakan keagamaan yang berjudul "Doa”.

 

Isi

Doa
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku kehilangan bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

(Deru Campur Debu, Chairil Anwar)

Estetika dalam Sajak Doa Chairil Anwar

Puisi “Doa” oleh Chairil Anwar dapat dianalisis secara parfrase bahwa puisi ini dibuka dengan kalimat keragu-raguan, yakni dalam termangu, dalam keragu-raguan, antara percaya atau tidak, atau antara perlu dan tidaknya menghadap Tuhan, si aku masih menyebut-nyebut nama Tuhan, masih mengingat akan Tuhan, atau si aku berdoa kepada Tuhan untuk mengadukan nasibnya yang malang dimana berdoa merupakan memuji dan mengagungkan nama Tuhan, juga mengadukan nasib kepada Tuhan.
Bagi si aku yang terdapat dalam puisi Chairil Anwar tersebut, berdoa atau menyebut-nyebut nama Tuhan merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan, dikarenakan si aku masih termangu atau ragu-ragu akan perlunya menghadap Tuhan. Si aku masih bertanya-tanya, perlukah ia menghadap Tuhan atau adakah guna baginya untuk menghadap Tuhan. Keragu-raguan itu akhirnya tetap membuat si aku dalam puisi Chairil Anwar kembali kepada Tuhan. Hal ini terlihat pada lirik “Kau penuh seluruh”, “Kau” yang berartikan Tuhan, sedang “penuh seluruh” dapat diartikan sebagai sungguh ada. Efek kebulatan dalam puisi ini diperkuat oleh bunyi vokal u yang berulang dan diintensifkan dengan bunyi h untuk menutup kata, “penuh seluruh”.
Bagi si aku dalam puisi “Doa” tersebut, dalam ketermanguannya cahaya Tuhan yang panas suci, yang memancar dengan penuh kesucian menerangi hati manusia dalam kegelapan, yang memanaskan orang yang kedinginan (kiasan orang yang menderita), kini dalam hati si aku tinggal sekecil kerdipan lilin dalam kegelapan di tempat sunyi. Jadi, tidak cukup hanya dengan memberikan penerangan saja, dikarenakan si aku “hilang bentuk” dan “remuk” yang diartikan bahwa si aku dalam puncak kemalangan, seolah-olah tidak lagi mempunyai bentuk, dirinya remuk, tidak dapat berbuat apa-apa lagi, bahkan tidak lagi merasa hidup. Penderitaannya tidak lagi dapat diceritakan karena hebatnya, sampai puncaknya.
Dalam puisi Chairil Anwar tersebut, si aku dalam kehidupannya merasa bahwa ia bagaikan mengembara di negeri asing, kebingungan tidak mengerti arah, tidak mempunyai teman, sendirian, sebatang kara, tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Sehingga, satu-satunya teman dan penyelamatnya adalah Tuhan, tidak ada yang lain. Maka, si aku mengetuk rumah Tuhan yang pengartiannya yakni si aku menghadap Tuhan dan tidak dapat berpaling kembali, tidak dapat meninggalkan kelimpahan yang diberikan Tuhan kembali.
Dari penafsiran secara parafrase tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata, baris puisi, ataupun kalimat yang terdapat dalam puisi “Doa” dapat diartikan atau ditafsirkan secara bermacam-macam, dan penafsiran tersebut saling melengkapi. Sehingga, kata-kata, frase, ataupun kalimat-kalimat dalam puisi tersebut bersifat ambigu atau polyinterpretable yakni dapat ditafsirkan banyak. Hal tersebut terjadi karena Chairil Anwar dalam puisi tersebut menggunakan displacing atau penggantian arti dan distorting atau penyimpangan arti kata yang menciptakan ketidaklangsungan ucapan. Displacing disini disebabkan oleh penggunaan majas metafora, sedang distorting disebabkan oleh penggunaan kalimat, frase, dan kata-kata yang ambigu. Dalam puisi “Doa” tersebut, Chairil Anwar mengemukakan pengertian dengan citra-citra, bahkan dengan lukisan yang berupa kata atau rangkaian kata yang artinya tidak hanya denotatif atau menunjukkan satu hal, namun asosiatif yakni mengandung bermacam-macam hal.
Pada puisi Chairil Anwar, secara semiotik dikontraskan bunyi vokal u yang dominan dengan bunyi i yang juga berturut-turut. Bunyi u ini memberikan tanda kekhusukan dan kesungguh-sungguhan, sedang dalam kekhusukan itu tersermin rasa terasingkan dan keterpencilan si aku, terlihat pada:
cayaMu … suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
aku mengembara di negeri asing
aku tidak bisa berpaling
Dalam puisi “Doa” tampak adanya pertentangan-pertentangan, seperti antara keraguan dan kepercayaan. Hal ini secara semiotik tergambar dalam penggunaan bahasanya, yakni pemilihan kata serta bunyinya. Hal ini tampak jelas pertentangan suasana dan arti dalam bait kedua menyatakan kepenuhan Tuhan dipertentangkan dengan bait ketiga yang mengandung arti dan suasana kecil, yakni:
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Persejajaran bentuk pun (pilihan kata dan bunyi) untuk mempertentangan arti dan suasana:
Aku hilang bentuk
remuk
aku mengembara di negeri asing
Dipertentangkan dengan:
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Karena “aku hilang bentuk-remuk” maka “aku mengetuk” pintu Tuhan; dan karena “aku di negeri asing” maka “aku tidak bisa berpaling” dari Tuhan.
Chairil Anwar menggambarkan antara Aku dan Tuhan tersebut ada jarak. Kekuasaan Tuhan itu mutlak, sehingga ada hamba dan ada Tuhan. Sehingga, Chairil Anwar tidak menggambarkan wujud Tuhan sebagai manusia, melainkan wujud asli Tuhan yang memancarkan cahaya panas untuk menerangi hati manusia, hal ini terlihat pada:
Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Sehingga, Chairil Anwar mengungkapkan betapa mahakuasanya Tuhan dalam puisi-puisinya, seperti api yang berkobar menyala-nyala yang membuat sia-sia si aku untuk memadamkannya karena tidak mungkin. Manusia tidak dapat berbuat lain kecuali hanya berserah diri dan mengadukan nasibnya sebab hanya Dia (Tuhan) yang merupakan tumpuan keluh dan tangis manusia, dalam puisi “Doa” hal ini diperlihatkan pada lirik:
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing.
Dalam pengekspresiannya, Chairil Anwar menggunakan gaya imagisme, yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau imaji-imaji.
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
aku mengembara di negeri asing
Sehingga, kata-kata dan kalimat yang digunakan oleh Chairil Anwar adalah ambigu, yakni bermakna ganda.

Penutup

Puisi Chairil Anwar yang bertemakan keagamaan ini menceritakan tentang bagaimana seorang “aku” yang ada dalam puisi tersebut yang awalnya ragu akan Tuhan namun tetap menyembah-Nya, kemudian hingga “aku” benar-benar mempercayai Tuhan-Nya dan mengatakan bahwa ia tak akan pernah berpaling dari Tuhan-Nya.
Keindahan dalam sajak Doa Chairil Anwar terletak dalam unsur-unsur membangun puisi ini. Pemadatan bahasa, pemilihan kata yang khas, pengimajian, pencitraan, irama atau ritme serta makna menjadi letak keindahan dari puisi ini. Berikut gambaran secara singkat keindahan dalam puisi angkatan 45 yang telah dijabarkan secara rinci sebelumnya:
·      Penggunaan bunyi vokal u yang berulang dan diintensifkan dengan bunyi h untuk menunjukkan kebulatan tekad “aku” mengenai kecintaannya akan Tuhan-Nya. Kebulatan tekad ini dikontraskan dengan menggunakan vokal i untuk mencerminkan rasa terasing dan terpencilnya “aku”.
·      Kalimat-kalimat yang digunakan dalam puisi tersebut bersifat ambigu atau polyinterpretable yakni dapat ditafsirkan banyak, namun banyaknya tafsiran tersebut tidak membuat puisi ini memiliki makna yang berbeda-beda. Banyaknya tafsiran tersebut memberikan makna yang saling melengkapi.
·      Kalimat-kalimat dalam puisi ini menggunakan displacing atau penggantian arti dan distorting atau penyimpangan arti kata yang menciptakan ketidaklangsungan ucapan.
·      Mengemukakan pengertian dengan citra-citra, bahkan dengan lukisan yang berupa kata atau rangkaian kata yang artinya tidak hanya denotatif atau menunjukkan satu hal, namun asosiatif yakni mengandung bermacam-macam hal.
·      Adanya pertentangan-pertentangan antara keraguan dan kepercayaan. Hal ini secara semiotik tergambar dalam penggunaan bahasanya, yakni pemilihan kata serta bunyinya.
·      Menggambarkan adanya jarak antara “aku” dan “Tuhan”, sehingga menjelaskan bagaimana Chairil Anwar menyadari manusia dan Tuhan tidaklah bisa disamakan.
·      Menggunakan gaya imagisme atau gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau imaji-imaji.
Keindahan-keindahan atau estetika yang tercermin dalam sajak Doa Chairil Anwar ini sangat kental terlihat dalam penggunaan kalimatnya yang sangat sederhana namun memiliki makna yang sangat dalam dan sangat luas akan kepercayaan seorang manusia dengan Tuhannya.

Referensi

Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Cetakan Ketigabelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Waluyo, Herman J. 1897. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

_______________. 2003. Apresiasi Puisi. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

1 komentar: