Pendahuluan
Puisi
sejatinya adalah bentuk karya sastra yang paling tua. Sejak kelahirannya, puisi
selalu menunjukkan ciri-ciri khas yang telah berkembang dari tahun ke tahun.
Definisi mengenai puisi sendiri sangat sulit untuk diberikan. Untuk memahami
puisi biasanya diberikan ciri-ciri karakteristik puisi dan unsur-unsur yang
membedakan puisi dari karya sastra yang lainnya. Dari segi bentuk fisik yang terlihat dalam
karya tulis, puisi sudah menunjukkan perbedaan dari prosa dan drama. Dari segi
bentuk pengucapan batinnya, puisi juga berbeda dari prosa dan drama. Ada
saat-saat tertentu yang memungkinkan ketepatan pengucapan batin dengan puisi,
ada saat lain yang menuntut hanya dapat diungkapkan dengan ujud prosa dan drama,
namun pikiran dan perasaan lainnya hanya dapat diungkapkan dalam ujud puisi. Bentuk
karya sastra puisi dikonsep oleh penulis atau penciptanya sebagai puisi bukan
bentuk prosa yang kemudian dipuisikan. Konsep pemikiran pencipta sesuai dengan
bentuk yang terungkapkan dalam puisi tersebut. Sejak di dalam konsepnya,
seorang penyair telah mengkonsentrasikan segala kekuatan bahasa dan
mengkonsentrasikan gagasannya untuk melahirkan sebuah puisi. Penyair tidak
memulai membuat puisi dengan menggunakan konsep prosa. Sehingga, seorang
penyair belum tentu mampu menjadi pengarang prosa, dan sebaliknya pengarang
prosa belum tentu mampu menjadi penyair.
Puisi
adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi
irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif).
Kata-kata betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat
padat, namun berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih
kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu mewakili makna
yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau
makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif (Waluyo, 2003: 1).
Dilihat
dari pengertian puisi menurut Herman J. Waluyo tersebut dapat terlihat bahwa
puisi merupakan sebuah karya seni yang dapat dikaji dari berbagai macam aspek.
Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya karena puisi tersusun dari
bermacam-macam unsur-unsur dan sarana-sarana kepuitisan, jenis-jenis atau
ragam-ragamnya karena terdapat berbagai
jenis dan ragam puisi, sudut kesejarahannya karena sepanjang sejarahnya puisi
selalu mengalami perubahan dan perkembangan.
Puisi
adalah sebuah karya sastra yang memiliki keindahan dibalik pemilihan diksi,
pemaknaan, dan lain sebagainya. Sehingga, unsur estetika tidak akan
pernah lepas dari suatu puisi. Nilai estetika sebuah puisi akan hadir dalam
sebuah puisi yang sangat patut untuk diteliti.
Makalah
ini, penulis akan menjabarkan mengenai unsur estetika dari salah satu penulis
puisi angkatan 45 yang sangat terkenal yakni Chairil Anwar dengan salah satu
puisinya yang bertemakan keagamaan yang berjudul "Doa”.
Isi
Doa
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku kehilangan bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Deru Campur
Debu, Chairil Anwar)
Estetika dalam Sajak Doa
Chairil Anwar
Puisi “Doa”
oleh Chairil Anwar dapat dianalisis secara parfrase bahwa puisi ini dibuka
dengan kalimat keragu-raguan, yakni dalam termangu, dalam keragu-raguan, antara
percaya atau tidak, atau antara perlu dan tidaknya menghadap Tuhan, si aku
masih menyebut-nyebut nama Tuhan, masih mengingat akan Tuhan, atau si aku
berdoa kepada Tuhan untuk mengadukan nasibnya yang malang dimana berdoa
merupakan memuji dan mengagungkan nama Tuhan, juga mengadukan nasib kepada
Tuhan.
Bagi si aku yang terdapat dalam puisi Chairil
Anwar tersebut, berdoa atau menyebut-nyebut nama Tuhan merupakan sesuatu hal
yang sulit untuk dilakukan, dikarenakan si aku masih termangu atau ragu-ragu
akan perlunya menghadap Tuhan. Si aku masih bertanya-tanya, perlukah ia
menghadap Tuhan atau adakah guna baginya untuk menghadap Tuhan. Keragu-raguan
itu akhirnya tetap membuat si aku dalam puisi Chairil Anwar kembali kepada
Tuhan. Hal ini terlihat pada lirik “Kau penuh seluruh”, “Kau” yang berartikan
Tuhan, sedang “penuh seluruh” dapat diartikan sebagai sungguh ada. Efek
kebulatan dalam puisi ini diperkuat oleh bunyi vokal u yang berulang dan
diintensifkan dengan bunyi h untuk menutup kata, “penuh seluruh”.
Bagi si aku dalam puisi “Doa” tersebut, dalam
ketermanguannya cahaya Tuhan yang panas suci, yang memancar dengan penuh
kesucian menerangi hati manusia dalam kegelapan, yang memanaskan orang yang
kedinginan (kiasan orang yang menderita), kini dalam hati si aku tinggal
sekecil kerdipan lilin dalam kegelapan di tempat sunyi. Jadi, tidak cukup hanya
dengan memberikan penerangan saja, dikarenakan si aku “hilang bentuk” dan
“remuk” yang diartikan bahwa si aku dalam puncak kemalangan, seolah-olah tidak
lagi mempunyai bentuk, dirinya remuk, tidak dapat berbuat apa-apa lagi, bahkan
tidak lagi merasa hidup. Penderitaannya tidak lagi dapat diceritakan karena
hebatnya, sampai puncaknya.
Dalam puisi Chairil Anwar tersebut, si aku
dalam kehidupannya merasa bahwa ia bagaikan mengembara di negeri asing,
kebingungan tidak mengerti arah, tidak mempunyai teman, sendirian, sebatang
kara, tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Sehingga, satu-satunya teman dan
penyelamatnya adalah Tuhan, tidak ada yang lain. Maka, si aku mengetuk rumah
Tuhan yang pengartiannya yakni si aku menghadap Tuhan dan tidak dapat berpaling
kembali, tidak dapat meninggalkan kelimpahan yang diberikan Tuhan kembali.
Dari
penafsiran secara parafrase tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata, baris
puisi, ataupun kalimat yang terdapat dalam puisi “Doa” dapat diartikan atau
ditafsirkan secara bermacam-macam, dan penafsiran tersebut saling melengkapi.
Sehingga, kata-kata, frase, ataupun kalimat-kalimat dalam puisi tersebut
bersifat ambigu atau polyinterpretable yakni
dapat ditafsirkan banyak. Hal tersebut terjadi karena Chairil Anwar dalam puisi
tersebut menggunakan displacing atau
penggantian arti dan distorting atau
penyimpangan arti kata yang menciptakan ketidaklangsungan ucapan. Displacing disini disebabkan oleh
penggunaan majas metafora, sedang distorting
disebabkan oleh penggunaan kalimat, frase, dan kata-kata yang ambigu. Dalam
puisi “Doa” tersebut, Chairil Anwar mengemukakan pengertian dengan citra-citra,
bahkan dengan lukisan yang berupa kata atau rangkaian kata yang artinya tidak
hanya denotatif atau menunjukkan satu hal, namun asosiatif yakni mengandung
bermacam-macam hal.
Pada puisi Chairil Anwar, secara
semiotik dikontraskan bunyi vokal u yang dominan dengan bunyi i yang juga
berturut-turut. Bunyi u ini memberikan tanda kekhusukan dan
kesungguh-sungguhan, sedang dalam kekhusukan itu tersermin rasa terasingkan dan
keterpencilan si aku, terlihat pada:
cayaMu … suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
aku mengembara di negeri asing
aku tidak bisa berpaling
Dalam puisi “Doa” tampak adanya
pertentangan-pertentangan, seperti antara keraguan dan kepercayaan. Hal ini
secara semiotik tergambar dalam penggunaan bahasanya, yakni pemilihan kata
serta bunyinya. Hal ini tampak jelas pertentangan suasana dan arti dalam bait
kedua menyatakan kepenuhan Tuhan dipertentangkan dengan bait ketiga yang
mengandung arti dan suasana kecil, yakni:
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Persejajaran bentuk pun (pilihan
kata dan bunyi) untuk mempertentangan arti dan suasana:
Aku hilang bentuk
remuk
…
aku mengembara di negeri asing
Dipertentangkan dengan:
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Karena “aku hilang bentuk-remuk” maka “aku
mengetuk” pintu Tuhan; dan karena “aku di negeri asing” maka “aku tidak bisa
berpaling” dari Tuhan.
Chairil Anwar menggambarkan antara Aku dan
Tuhan tersebut ada jarak. Kekuasaan Tuhan itu mutlak, sehingga ada hamba dan ada
Tuhan. Sehingga, Chairil Anwar tidak menggambarkan wujud Tuhan sebagai manusia,
melainkan wujud asli Tuhan yang memancarkan cahaya panas untuk menerangi hati
manusia, hal ini terlihat pada:
Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Sehingga, Chairil Anwar
mengungkapkan betapa mahakuasanya Tuhan dalam puisi-puisinya, seperti api yang
berkobar menyala-nyala yang membuat sia-sia si aku untuk memadamkannya karena
tidak mungkin. Manusia tidak dapat berbuat lain kecuali hanya berserah diri dan
mengadukan nasibnya sebab hanya Dia (Tuhan) yang merupakan tumpuan keluh dan
tangis manusia, dalam puisi “Doa” hal ini diperlihatkan pada lirik:
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing.
Dalam pengekspresiannya, Chairil
Anwar menggunakan gaya imagisme,
yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran,
atau imaji-imaji.
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
…
aku mengembara di negeri asing
Sehingga, kata-kata dan kalimat yang
digunakan oleh Chairil Anwar adalah ambigu, yakni bermakna ganda.
Penutup
Puisi
Chairil Anwar yang bertemakan keagamaan ini menceritakan tentang bagaimana
seorang “aku” yang ada dalam puisi tersebut yang awalnya ragu akan Tuhan namun
tetap menyembah-Nya, kemudian hingga “aku” benar-benar mempercayai Tuhan-Nya
dan mengatakan bahwa ia tak akan pernah berpaling dari Tuhan-Nya.
Keindahan
dalam sajak Doa Chairil Anwar terletak dalam unsur-unsur membangun puisi ini.
Pemadatan bahasa, pemilihan kata yang khas, pengimajian, pencitraan, irama atau
ritme serta makna menjadi letak keindahan dari puisi ini. Berikut gambaran
secara singkat keindahan dalam puisi angkatan 45 yang telah dijabarkan secara
rinci sebelumnya:
· Penggunaan bunyi vokal u yang
berulang dan diintensifkan dengan bunyi h untuk menunjukkan kebulatan tekad
“aku” mengenai kecintaannya akan Tuhan-Nya. Kebulatan tekad ini dikontraskan
dengan menggunakan vokal i untuk mencerminkan rasa terasing dan terpencilnya
“aku”.
· Kalimat-kalimat yang digunakan dalam
puisi tersebut bersifat ambigu atau polyinterpretable
yakni dapat ditafsirkan banyak, namun banyaknya tafsiran tersebut tidak
membuat puisi ini memiliki makna yang berbeda-beda. Banyaknya tafsiran tersebut
memberikan makna yang saling melengkapi.
· Kalimat-kalimat dalam puisi ini menggunakan
displacing atau penggantian arti dan distorting atau penyimpangan arti kata
yang menciptakan ketidaklangsungan ucapan.
· Mengemukakan pengertian dengan
citra-citra, bahkan dengan lukisan yang berupa kata atau rangkaian kata yang
artinya tidak hanya denotatif atau menunjukkan satu hal, namun asosiatif yakni
mengandung bermacam-macam hal.
· Adanya pertentangan-pertentangan
antara keraguan dan kepercayaan. Hal ini secara semiotik tergambar dalam
penggunaan bahasanya, yakni pemilihan kata serta bunyinya.
· Menggambarkan adanya jarak antara
“aku” dan “Tuhan”, sehingga menjelaskan bagaimana Chairil Anwar menyadari
manusia dan Tuhan tidaklah bisa disamakan.
· Menggunakan gaya imagisme atau gaya yang mengemukakan
pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau imaji-imaji.
Keindahan-keindahan
atau estetika yang tercermin dalam sajak Doa Chairil Anwar ini sangat kental
terlihat dalam penggunaan kalimatnya yang sangat sederhana namun memiliki makna
yang sangat dalam dan sangat luas akan kepercayaan seorang manusia dengan
Tuhannya.
Referensi
Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Cetakan Ketigabelas.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Waluyo, Herman J. 1897. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:
Erlangga.
_______________. 2003. Apresiasi Puisi. Cetakan Kedua. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
minta semua nilai2 yg terkandung dlm puisi tersebut
BalasHapus