Senin, 18 Februari 2019

Cerita Rakyat Sidoarjo: “Candi Pari dan Candi Sumur”


Pada jaman dahulu kala seorang tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di pegunungan, ia mempunyai adik perempuan

janda bertempat tinggal di desa Injingan, Kyai Gede Penanggungan mempunyai 2 anak perempuan, yang sulung bernama Nyai loro Walang Sangit dan yang bungsu bernama Nyai Loro Walang angin, keduanya berdiam dirumah Kyai Gede Penanggungan. Sedangkan adiknya, janda Ijingan, mempunyai seorang anak laki laki bernama Jaka Walang Tinunu, setelah dewasa ia amat tampan dan hormat kepada ibunya.
Pada suatu hari ia menanyakan pada ibunya siapakah ayahnya, tetapi ibunya tidak mau menjawab dan hanya berkata, “ Kamu tidak punya ayah tetapi Kyai Gede Penanggungan adalah kakak saya. Kemudian Jaka Walang Tinunu minta ijin pada ibunya membuka hutan untuk tempat tinggal dan penggarapan sawah. Permintaannya dikabulkan oleh ibunya, maka berangkatlah Jaka Walang Tinunu disertai dua orang temannya yaitu Satim dan Sabalong untuk menuju ke dukuh Kedungkras (desa Kesambi sekarang), setelah menetap disana tanpa suatu rintangan apapun, mereka mulai membabat rimba di Kedung Soko arah utara Kedungkras dan arah selatan Candi Pari.
Beberapa waktu kemudian pada suatu malam teman teman  Jaka Walang Tinunu dengan sepengetahuannya memasang wuwu di Kali Kedung Soko. Esok harinya wuwu diambil dan ternyata berhasil menangkap seekor ikan Kotok yang dinamakan Deleg. Betapa gembiranya si Sabalong lalu ditunjukkan kepada Jaka Walang Tinunu dan Satim. Setelah ikan dipotong dan dimasak, tetapi ajaibnya ikan dapat berbicara seperti manusia dan menerangkan bahwa ia sebenarnya bukan ikan, tapi seorang manusia. Bahwa dulu ia bernama Sapu Angin yang mengabdi pada pertapa dari gunung Pamucangan dan ia berdosa pada pertapa itu karena pernah mempunyai keinginan untuk menjadi raja. Dan ia diperkenankan menjadi raja ikan, dengan demikian berubahlah ia menjadi Deleg sampai detik masuk ke wuwu. Waktu mendengar riwayat Deleg itu maka terharulah Jaka Walang Tinunu dan berkata “Barang siapa berasal dari manusia kembalilah menjadi manusia” dan seketika itu ikan Deleg berubah menjadi manusia yang hampir setampan dengan Jaka Walang Tinunu, lalu diberi nama Jaka Pandelegan dan dianggap adik oleh Jaka Walang Tinunu.
Demikianlah lalu mereka bersama sama membuka tanah dan setiap hari mengolah tanah untuk lahan pertanian. Kemudian Jaka Walang Tinunu memikirkan soal bibit, tetapi menemui jalan buntu, sebab dia sangat miskin tidak punya apa-apa untuk membeli keperluan menggarap sawah. Tapi tiba tiba ia ingat apa yang dikatakan ibunya dulu, tentang Kyai Gede Penanggungan, tetapi ia tak berani menyampaikan isi hatinya kepada Kyai Gede Penanggungan. Maka permohonannya tentang bibit padi disampaikan kepada Nyi Gede yang selanjutnya disampaikan pada suaminya, namun Kyai Gede tak percaya bahwa bibit itu akan dipergunakan untuk bersawah.
            Sebaliknya kedua putrinya waktu kedatangan Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan asmara di dada mulai tumbuh melihat kesopanan dan ketampanan kedua pemuda itu. Baru pertama kali kedua gadis tersebut melihat pemuda yang begitu sopan dan tampan.
Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan sangat kecewa karena permohonannya tidak dikabulkan, hanya diberi Mendang yang apabila disebarkan tidak akan tumbuh. Lalu kedua putrinya disuruh untuk mengambilkan Mendang tersebut, Karena kedua putrinya menaruh hati maka kesempatan ini tidak disia siakan untuk mencampur bibit padi dengan Mendang yang akan diberikan itu. Lalu diserahkan kepada dua pemuda itu dan Kyai Gede Penanggungan mengatakan “itulah bibitnya”.
Setelah menerima Mendang 1 karung mereka mohon diri. Kedua putrinya sudah terlanjur mencintainya maka keduanya mohon ijin kepada orang tuanya untuk ikut dengan kedua pemuda itu, tetapi tidak diperkenankan. Akhirnya kedua putrinya hanya memesan kepada kedua pemuda itu agar saat menanam padi untuk memberitahu kepada Kyai Gede Penanggungan.
Setibanya di rumah secepatnya Mendang tersebut disebarkan di sawah dengan mendapat ejekan dari Sabalong dan Satim, karena yang disebarkan itu tidak mungkin dapat tumbuh. Namun demikian Jaka Pandelegan dan Jaka Walang Tinunu percaya apa yang diucapkan oleh Kyai Gede Penanggungan tersebut.
Ternyata tumbuhnya sangat baik benar benar seperti bibit sesungguhnya. Waktu pemindahan tanaman tiba, Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan datang lagi pada Kyai Gede untuk mohon ijin agar kedua putrinya membantu menanam padi. Tetapi tidak dikabulkan oleh Kyai Gede dan malah marah dengan dalih bahwa kedua putrinya akan dipinang oleh Raja Blambangan, padahal keduanya sudah sama-sama mencintai, lalu kedua pemuda itu kembali pulang. Diam-diam kedua putri Kyai Gede melarikan diri menyusul, Nyai Loro Walang Angin ingin jadi isterinya Jaka Pandelegan dan Nyai Loro Walang Sangit ingin jadi isterinya Jaka Walang Tinunu. Akhirnya keduanya dapat bertemu dengan pemuda itu ditengah jalan yang selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Kedung Soko.
Setelah Nyai Gede mengetahui kedua putrinya tidak ada, ia lalu memberitaukan kepada Kyai Gede, dan ia mengejar kedua putrinya dipaksa untuk kembali kerumah, tetapi ditolaknya. Sedangkan kedua pemuda itu tidak menghiraukannya karena kedua anaknya ikut atas kemauannya sendiri. Maka terjadilah suatu pertengkaran yang berakhir dengan kekalahan dipihak Kyai Gede, sehingga terpaksa pulang kembali tanpa disertai kedua putrinya. Sedangkan mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan kembali ke Kedung Soko.
Waktu tanaman berusia 45 hari sawah kekurangan air, sehingga Jaka Walang Tinunu menyuruh Jaka Pandelegan menyelidiki air. Ketika sampai di tengah sawah berpapasan dengan seorang tua  yang memerintahkan agar Jaka Pandelegan menghentikan perjalanannya, yang menyebabkan dia murka. Saat ia akan membunuh orang tua tersebut lalu ia jatuh pingsan. Ketika sadar, ia sangatlah takut dan menanyakan tentang namanya. Lalu orang tua tersebut menjawab “Namaku Nabi Kilir” pelindung semua air.  Kemudian orang tua itu memberikan nama kepada Jaka Pandelegan dengan nama Dukut Banyu, lalu berkata “Kalau kamu sudah selesai bertanam adakanlah selamatan apabila sawahmu berhasil dengan baik” Setelah itu orang tua menghilang. Waktu Jaka Pandelegan datang kembali kesawahnya ternyata sudah penuh dengan air yang melimpah sampai panen tiba.
Menurut “Shohibul Hikayat” tentang pemotongan Padi karena luasnya sawah dan baiknya jenis tanaman maka orang dari segala penjuru datang untuk ikut derep (memotong padi) tersebut. Juga diceritakan bahwa bagian muka dipotong bagian belakang yang baru saja dipotong sudah kelihatan ada tanaman padi yang sudah menguning, sehingga tidak ada habis habisnya. Adapun hasil panenan ditumpuk di penangan, Justru penangan tersebut tepat di tempat Candi Pari sekarang ini. Dan betapa banyaknya padi di penangan itu.
Sementara kerajaan Majapahit mengalami paceklik.Pertanian gagal banyak petani sakit. Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh menjadi kosong, karena luasnya sawah yang kena penyakit dan gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa di Kedung Soko berdiam seorang yang arif yang memiliki banyak padi. Maka diperintahkan kepada Patihnya untuk meminta penyerahan padi dan dibawakan perahu lewat sungai arah tengara Kedung Soko. Akhirnya Jaka Walang Tinunu bersedia untuk menyerahkan padinya kepada utusan sang Prabu, dan padi padi tersebut diangkut ke tebing sungai dan selanjutnya dimuatkan pada perahu perahu itu, walaupun berapa banyak perahu yang disediakan, namun padi yang disediakan di tebing tetap tidak muat sehingga tempat tersebut dinamakan desa Pamotan. Lalu padi dipersembahkan pada sang Prabu Brawijaya yang diterima dengan suka cita. Lalu sang Prabu menanyakan kepada sang Patih, siapakah pemilik padi itu?”. Maka sang Patih menjawabnya bahwa yang memiliki padi itu bernama “Jaka Walang Tinunu” anak seorang janda Ijingan.
Maka teringat oleh sang Prabu bahwa baginda pernah berhubungan dengan Nyai Rondo dimaksud, tetapi itu semua disimpan dalam hati dan menitahkan Sang Patih untuk memanggil Jaka Walang Tinunu beserta isterinya. Kemudian keduanya menghadap Sang Prabu. Setelah diamat-amati ternyata benar bahwa Jaka Walang Tinunu adalah putra Sang Prabu.
Selanjutnya Sang Prabu mengutus untuk memanggil Jaka Pandelegan beserta isterinya dengan maksud akan dinaikkan pangkat derajatnya. Dan apabila mereka tidak bersedia supaya dipaksa tanpa menimbulkan cidera pada badannya bahkan jangan sampai menyebabkan kerusakan pada pakaiannya, Selanjutnya pula Sang Prabu menanyakan siapakah temannya yang bernama Jaka Pandelegan itu. Lalu Jaka Walang Tinunu menjawab bahwa Jaka Pandelegan yang dianggap sebagai adiknya itu adalah berasal dari ikan Deleg.
Sebelum perintah  raja itu disampaikan kepadanya, Jaka Pandelegan sudah merasa akan mendapat panggilan akan tetapi panggilan tersebut tidak akan dipenuhi, hal tersebut sudah dipertimbangkan dengan isterinya.
Ketika Patih datang menyampaikan panggilan ia menolak, sekalipun dipaksa tetap membangkang yang selanjutnya menyembunyikan diri di tengah-tengah tumpukan padi pada penangan itu. Dan sewaktu sang Patih berusaha untuk menangkap dan mengepung tempat itu, maka Jaka Pandelegan menghilang tanpa bekas. Setelah menghilangnya sang suami, Nyai Loro Walang Angin yang membawa kendi berpapasan dengan patih disuatu tempat, sewaktu akan ditangkap berkatalah ia “Biarlah saya terlebih dahulu mengisi kendi ini disebelah barat daya penangan itu”. Dan saat tiba disebelah timur Sumur, maka hilanglah istri Jaka Pandelegan itu.
Setelah suami isteri itu hilang Sang Patih pulang kembali untuk melaporkan peristiwa itu kepada Sang Prabu. Mendengar kejadian itu Baginda sangat kagum atas kecekatan Jaka Pandelegan dan isterinya itu. Yang akhirnya Sang Prabu Brawijaya mengeluarkan perintah mendirikan dua buah candi untuk mengenang peristiwa hilangnya suami isteri itu. Maka didirikanlah dua buah candi, yang satu didirikan dimana Jaka Pandelegan hilang yang diberi nama CANDI PARI , sedangkan candi yang satunya didirikan ditempat dimana bekas Nyai Loro Walang Angin menghilang dengan diberi nama CANDI SUMUR.

Makna yang terkandung dalam Cerita Rakyat
“Candi Pari dan Candi Sumur”

Cerita rakyat Sidoarjo berujudul “Candi Pari dan Candi Sumur” ialah sebuah cerita yang muncul untuk menjawab bagaimana kronologis munculnya Candi Pari dan Candi Sumur yang terdapat di desa Candipari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Kedua candi diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk pada tahun 1371 Masehi.
Kedua candi ini dilaporkan oleh J. Knebel dalam “Repporten Van De Comissie In Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek Op Java en Madoerapada tahun 1905-1906.
Candi Pari dan Candi Sumur ini adalah dua asset bduaya milik Kabupaten Sidoarjo. Kedua terletak berdekatan, dengan Candi sumur berada 100-200 meter disebelah barat daya Candi Pari. Sekalipun kedua candi ini memiliki bahan penyusunan sama, yakni batu bata berwarna merah tetapi ukuran keduanya berbeda. Candi Pari dua kali lipat lebih besar daripada Candi Sumur.
Cerita rakyat ini mengajarkan kita bahwa sebagai sesama manusia haruslah saling tolong-menolong, seperti yang terdapat dalam cerita ini dimana Jaka Walang Tinunu menolong manusia yang dikutuk menjadi ikan Deleg agar bisa menjadi manusia kembali.
Keteladanan lain yang dapat kita ambil adalah pantang menyerah, sama seperti Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan yang menyelidiki air ketika sawah mereka kekurangan air. Sampai akhirnya mereka bertemu dengan Nabi Kilir pelindung air, yang kemudian melimpahi sawah mereka dengan air. Sehingga, panen yang mereka peroleh tidak habis walaupun sudah diberikan kepada Prabu Brawijaya.
Makna lain yang terdapat dalam cerita ini adalah segala sesuatu yang disimpan pasti akan muncul, meskipun dalam waktu yang lama. Seperti Jaka Walang Tinunu yang akhirnya mengetahui bahwa Prabu Brawijaya adalah ayahnya ketika ia telah dewasa, sekalipun sebelumnya ibunya, janda Ijingan tidak memberitahunya.
Makna inti yang terkandung dalam cerita rakyat ini adalah bahwa setiap manusia tidaklah boleh membantu seseorang untuk mendapatkan imbalan. Seperti yang diceritakan dalam cerita rakyat ini bahwa Jaka Pandelegan dan istrinya, Nyai Loro Walang Angin menghilang ketika mereka hendak diajak untuk tinggal di keraton Majapahit. Mereka berdua lebih memilih menghilang tanpa menunjukkan jejak daripada mereka harus tinggal mewah di keraton. Hingga dibuatlah Candi Pari di tempat menghilangnya Jaka Pandelegan dan Candi Sumur di tempat hilangnya Nyai Loro Walang Angin.

Referensi

https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Pari diakses pada 4 April 2016 pukul 11.31 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Sumur diakses pada 4 April 2016 pukul 11.37 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar