BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia merupakan bangsa dimana para
penulis-penulis karya sastra sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek yang
berkembang di Indonesia. Aspek-aspek tersebut antara lain budaya, tempat
kejadian, waktu kejadian, dan sebagainya dimana aspek-aspek tersebut bisa ada
dan bisa tidak ada dalam kehidupan yang sebenarnya. Karya-karya sastra yang
berkembang di Indonesia, khususnya karya sastra prosa merupakan karya yang
patut untuk diamati. Penulis atau pengarang karya sastra di Indonesia selalu
memiliki ciri khas tersendiri dalam setiap karya-karyanya. Disinilah
teori-teori sastra berperan untuk panduan pengamatan karya sastra prosa
tersebut.
Teori sastra merupakan suatu wadah yang
memberikan gambaran mengenai perkembangan-perkembangan sastra hingga masa kini.
Teori-teori sastra yang berkembang hingga saat ini memberikan gagasan penting
untuk para kritikus sastra yang berperan untuk menganalisis suatu karya sastra.
Teori-teori sastra tersebut merupakan bahan pokok seorang kritikus sastra untuk
mendapatkan hasil analisis yang sesuai dan mampu dipertanggung jawabkan sebagai
pengamat sastra.
Kritikus sastra tidak dapat menggunakan argumen
tanpa dasar dalam pengamatannya akan karya sastra, seorang kritikus sastra
harus dan wajib memiliki panduan berupa teori-teori sastra dari berbagai pakar
sastra yang telah mencetuskan berbagai macam teori-teori tersebut.
Karya
sastra merupakan salah satu hasil aktivitas kebudayaan yang diciptakan untuk
mencatat dan mengkomunikasikan femonema yang terjadi dalam masyarakat. Dari
sebuah karya sastra, pembaca (masyarakat) akan menemukan kembali sejumlah
peristiwa, gejala sosial, budaya, politik yang pernah terjadi di masyarakat
pada masa tertentu. Kesadaran mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan
gender, atau yang lebih dikenal dengan feminisme merupakan salah satu fenomena
yang mengemuka dalam sejumlah karya sastra di Indonesia. Walaupun tidak
digambarkan secara eksplisit, sejumlah novel Indonesia sejak awal
perkembangannya, ternyata telah mempersoalankan pentingnya keadilan dan
kesetaraan gender, sehingga tercapai masyarakat yang berkeadilan sosial.
Makalah berjudul “Gambaran Feminisme yang
Saling Bertolak Belakang dari Tokoh Tuti dan Maria dalam Novel Layar
Terkembang” ini akan menjabarkan mengenai novel Layar Terkembang karya Sutan
Takdir Alisjahbana menggunakan teori feminisme. Makalah ini akan memberikan
gambaran mengenai feminisme yang hadir pada karakter tokoh dalam novel
tersebut, kemudian akan mengaitkan feminisme-feminisme tersebut dalam dunia
nyata pada masa kini.
Kesadaran
mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan gender (feminisme) timbul dalam
masyarakat yang memiliki anggapan bahwa salah satu jenis kelamin, khususnya
laki-laki, dianggap lebih unggul dan utama dari pada jenis kelamin perempuan.
Masyarakat tersebut menganut ideologi patriarkat, termasuk masyarakat
Indonesia. Akibatnya, terjadi ketidakadilan gender. Keadaan tersebut meresahkan
bagi sejumlah orang, termasuk para sastrawan, yang kemudian menuangkan
keresahan dan kritikannya dalam karya-karya yang ditulisnya.
Kritik
sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra) yang
mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam
memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya
sastra-karya sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan
dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada tahun
1700- an (Madsen, 2010:1).
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1 Bagaimana feminisme yang muncul dari
tokoh Tuti dan Maria dalam novel “Layar Terkembang”?
1.3
Tujuan
1.3.1 Mengetahui feminisme dari tokoh Tuti
dan Maria dalam novel “Layar Terkembang”.
1.4
Manfaat
1.4.1 Memberikan wawasan baru mengenai
salah satu kata novel sastra yang sangat terkenal di Indonesia.
1.4.2 Memberikan informasi secara tersirat
dari sosok Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan salah satu penulis besar di
Indonesia.
1.4.3 Memberikan gambaran secara rinci
mengenai feminisme yang dihadirkan Sutan Takdir Alisjahbana dalam tokoh Tuti
dan Maria dalam novel “Layar Terkembang”
1.4.4 Memperjelas pengetahuan teori sastra
yang telah dipelajari dalam kelas dengan melakukan analisis novel secara
langsung.
BAB
II
ISI
2.1
Feminisme dari Tokoh Tuti dan Maria dalam Novel “Layar Terkembang”
Oposisi
citra perempuan dalam novel Layar Terkembang tampak dengan jelas pada
gagasan/pikiran dan tindakan Tuti dan Maria yang menjadi figur dalam novel
kanon ini. Kendatipun secara biologis kedua perempuan kakak beradik ini dekat,
dalam persoalan relasinya dengan Yusuf, mereka memiliki pandangan yang amat
jauh. Maria bersifat emosional, sedangkan Tuti bertindak rasional. Ini terlihat
dari deskripsi teks terhadap Maria. Maria merupakan gadis yang mudah dikuasai
oleh perasaannya. Sifat-sifat Maria tersebut ditandai dengan percakapannya yang
selalu tidak menunjukkan keseriusan dan topik yang dibicarakan selalu
melompat-lompat. Ia digambarkan sebagai gadis yang dikuasai oleh
dorongan-dorongan alamiah yang murni, dikuasai oleh perasaan yang muncul secara
spontan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya apriori. Ia gadis yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Kegembiraan
dan kesedihan dengan cepat, hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
"berselisih di mukanya sebagai
siang dan malam. Sebentar ia iba semesramesranya, dan sebentar berderau
gelaknya yang segar oleh kegembiraan hatinya yang remaja" (Alisjahbana, 2010:2—3).
Di samping itu, ia adalah gadis yang
mudah beradaptasi, mudah menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya,
Maria kecewa setelah tahu bahwa dirinya dan kakaknya adalah pengunjung pertama
di Gedung Akuarium, Pasar Ikan
(Alisjahbana, 2010:2).
Sifat emosional itu menemukan
jejaknya yang semakin kuat ketika ia berpisah dengan kekasihnya, Yusuf. Ketika
jarak geografis menghambat pertemuan mereka, ketika Yusuf pulang liburan ke
Martapura, Palembang untuk mengunjungi orang tuanya, persahabatan itu tetap
terjalin. Keduanya melakukan penerobosan persatuan mereka melalui mediasi surat (Alisjahbana, 2010:51).
Akan tetapi, penerobosan yang mereka
lakukan tetap saja tidak mampu mereduksi gejolak jiwa masing-masing.
Penerobosan itu hanya bisa menciptakan persatuan semu, menciptakan
kenangan-kenangan dan kerinduan yang harus segera terlampiaskan. Sementara
laki-laki itu mengalami kegelisahan, melalui mediasi surat,
Maria menceritakan kesepiannya
semenjak ditinggal kakaknya, Tuti, mengikuti Kongres Perempuan di Solo dan
meminta dirinya datang menemuinya di Bandung. Bagi Maria sendiri, komitmennya
untuk menjadi istri Yusuf berarti kesediaannya untuk mengabdi dan melayani
Yusuf dengan seluruh totalitas jiwanya. Ia tidak takut dijadikan hamba sahaya.
Ia menyerahkan seluruh nasib hidup dan kehidupannya kepada Yusuf (Alisjahbana, 2010:72).
"Ah, engkau hendak mengatur-atur
orang pula. Saya cinta kepadanya. Biarlah saya mati daripada saya bercerai dari
dia. Apa sekalipun hendak saya kerjakan baginya. Saya tidak takut saya
dijadikan sahaya. Saya tahu ia cinta juga kepada saya. Saya percaya kepadanya
dan saya tiada sekali-kali merasa hina menyatakan cinta saya itu" (Alisjahbana, 2010: 71).
Kondisi
dan keadaan adiknya yang inferior, yang bergantung kepada laki-laki, yang
akses-aksesnya untuk memasuki wilayah publik dibatasi, dikritik oleh Tuti. Di
samping memiliki kesadaran untuk menyetarakan status, fungsi, dan peran dirinya
dengan laki-laki, Tuti telah "melompati" ruang domestik, bergerak dan
berjuang dalam wilayah publik. Ia juga mempunyai kesadaran untuk memberdayakan
kaumnya dan menunjukkan diri bahwa perempuan memiliki kemampuan berperan di
ruang publik. Tuti, misalnya, memberdayakan kaum sesamanya dengan gagasan-gagasannya,
pandangan-pandangannya tentang relasi gender, tentang
kemajuan perempuan melalui organisasi Putri Sedar. Sebagai produk perempuan
yang sadar gender, Tuti tidak puas ruang geraknya hanya terbatas dalam wilayah
domestik. Seperti kaum laki-laki, ia memiliki kewajiban untuk memajukan nasib
bangsanya, terutama nasib kaum perempuan yang totalitas pikiran, pandangan,
kehendak, dan hidupnya bergantung kepada laki-laki. Perempuan dalam
masyarakatnya, menurut Tuti, hanya dijadikan abdi, hamba sahaya, dan budak yang
bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, tanpa memiliki hak. Hal tersebut terlihat
dalam kutipan berikut:
Perempuan hanya "dijadikan
perhiasan, dipuja selagi disuka, tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur
cahayanya, telah hilang serinya" (Alisjahbana, 2010:35).
Kehendak perempuan dikontrol,
dibatasi, dan tidak diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memasuki
wilayah publik. Itulah yang menjadi alasan Tuti memutuskan tunangannya,
Hambali, yang "hendak mengatur hidupnya, yang tidak pernah memahami
perjuangannya sebagai ketua organisasi Putri Sedar cabang Jakarta (Alisjahbana, 2010:76).
Dalam
konteks ini, Tuti meyakini bahwa hubungan suami istri bukan merupakan relasi
yang asimetris: pemimpin-dipimpin/atasan bawahan, melainkan lebih merupakan
hubngan mitra. Tentu saja, ini bertentangan dengan pandangan Sigmund Freud yang
secara tegas menyebut perempuan normal sebagai perempuan yang narsisisme (cinta
diri sendiri), pasivitas (sikap pasrah), dan masokisme (menikmati penderitaan)
(Freud, 1960: 98—99).
Sebagai
aktivis organisasi perempuan Putri Sedar, pikiran, pandangan, serta citra Tuti
sebagai perempuan yang memiliki harga diri menemukan bentuknya yang sempurna
pada saat melihat sikap ketergantungan, "penghambaan" adiknya kepada
Yusuf. Sebagai pejuang kesetaraan laki-laki dan perempuan, Tuti tidak senang
dan memprotes sikap adiknya yang memperturutkan perasaan dengan
"menggantungkan dan memasrahkan hidupnya" kepada laki-laki tersebut.
Ia memberikan saran agar adiknya bersikap rasional sekaligus mempertahankan
harga dirinya sebagai perempuan. Perempuan diciptakan bukan sebagai pengabdi,
pelayan laki-laki karena pengabdian menunjukkan hubungan yang timpang.
Menurut
Tuti, hubungan suami istri bukan hubungan majikan-buruh, Tuanhamba, atau pemimpin-yang
dipimpin, melainkan hubungan suami-istri adalah hubungan mitra, hubungan
kesetaraan yang diikat oleh perasaan saling mencintai, menyayangi, dan
menghargai. Tujuan hidup perempuan bukan semata-mata menjadi istri dan ibu
rumah tangga, melainkan kaum perempuan berperan serta memasuki dunia publik
untuk memajukan bangsanya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:
Kedudukan perempuan harus sejajar
dengan laki-laki, yang memiliki kemauan dan kehendaknya sendiri tanpa
bergantung kepada laki-laki
(Alisjahbana, 2000:40).
Tuti menganggap sikap demikian itu
telah menempatkan perempuan pada posisi sebagai hamba sahaya laki-laki (Alisjahbana, 2000:67).
Perempuan menjadi takluk, bergantung,
inferior, dan tidak memiliki otonominya di hadapan laki-laki. Bagi Tuti,
persatuan cinta kasih bukanlah legitimasi sikap perlindungan laki-laki (suami)
kepada perempuan (istri), melainkan sikap apresiatif laki-laki terhadap
perempuan sebagai manusia yang cakap dan memiliki independensi (Alisjahbana, 2000:68). Pikiran dan pandangan Tuti
dipaparkan oleh teks sebagai berikut:
"Bukan maksud saya supaya engkau
berbohong dan pura-pura tiada cinta kepadanya. Tidak sekali-kali. Saya hendak
menunjukkan kepadamu bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan seperti sekarang
ini, berarti merendahkan dirimu kepadanya. Terlampau engkau nyatakan bahwa
hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa engkau tidak dapat hidup lagi, kalau
tiada dengan dia. Sifat perempuan yang demikian itulah yang menyebabkan maka
kedudukan perempuan sangat nista dalam perkawinan" (Alisjahbana, 2000:71).
Saran Tuti tidak ditanggapi adiknya
bahkan timbul pertentangan antara keduanya. Pertentangan itu menimbulkan
pertengkaran (Alisjahbana,
2000:70—71).
Namun, pertengkaran itu tidak
berlanjut karena masing-masing menarik diri untuk kembali kepada citra dirinya
masing-masing. Tuti akhirnya membiarkan Maria dengan kemauannya sendiri. Begitu
pun, Maria menganggap dirinya tidak membutuhkan nasihat dan tidak mau urusannya
dicampuri oleh Tuti (Alisjahbana,
2000:72).
Pada
titik ini, Tuti dan Maria “berdiri” pada karakter dan sikapnya masing-masing,
yaitu rasionalitas dan emosionalitas. Maria berkukuh pada keyakinannya bahwa
peran perempuan melayani laki-laki. Sebaliknya, Tuti pun tetap pada
pandangannya bahwa perempuan memiliki otonomi untuk bertindak dan
peran-perannya tidak direduksi sebagai pelayan laki-laki semata. Akan tetapi,
melihat kedekatan Maria-Yusuf yang membahagiakan, Tuti yang semula asyik dengan
citra dirinya, diam-diam mengalami beban psikis yang seolah-olah ditarik ke
luar mengikuti citra diri adiknya.
Dengan
bantuan dirinya sendiri, ia mencoba mempertahankan citra dirinya, tetapi
perlawanannya sia-sia belaka. Mula-mula perempuan itu ditarik oleh bayangan
pertengkaran dengan adiknya. Kemudian,
ia terpesona oleh pemandangan alam yang ada di luar kamarnya yang gelap, hal ini terlihat pada kutipan
berikut:
“dari jendela, matanya melayang ke luar, kepada
pohon mangga yang besar, yang berat, dan lebar mengembangkan daunnya yang
rimbun. Di sana sini nampak kepadanya sinar bulan jatuh dari antara sela-sela
daun yang rapat-rapat, terang putih rupanya di antara bayang-bayang daun yang
hitam” (Alisjahbana, 2000:78).
Selanjutnya,
perempuan itu terbuai oleh suara alunan musik, seperti dalam kutipan berikut ini:
“riak
air di teluk yang jauh, memuncak menjadi imbauan putus, turun sebagai empasan
ombak yang letih di pantai yang rata, mendorong dan melanda, tiada
tertahan-tahan” (Alisjahbana, 2000:78).
Bahkan,
ketika Tuti melihat bayangan adiknya dan Yusuf yang sedang bermesraan di luar
kamarnya, perempuan itu terperangkap oleh citra diri adiknya. Ia mencoba
menolak "kodratnya" sebagai perempuan dan bertahan pada citra
dirinya, tetapi ia merasa gagal, kalah. Pendapat Tuti tersebut terlihat
dalam kutipan berikut:
"Kalah oleh tenaga asli alam,
yang tiada dapat diaturnya dengan pikirannya yang tajam, dengan perhitungannya
yang nyata." (Alisjahbana,
2000:81).
Kekalahan
Tuti berarti mulai meleburnya citra dirinya ke dalam citra adiknya. Ia mulai
bersatu dengan nuansa-nuansa perasaan: pemandangan alam dan musik. Namun,
kecenderungan tersebut masih berupa proses. Pergulatan tarik-menarik dua citra
yang bergejolak dalam diri Tuti terus berlangsung.
Hal
demikian, misalnya, terjadi ketika perayaan kelulusan Maria dari sekolah,
keberhasilannya mendapatkan pekerjaan, dan pertunangannya dengan Yusuf yang
dilakukan oleh istri Parta, bibinya. Dalam peristiwa itu, berkali-kali Parta
dan istrinya berusaha menarik citra dirinya. Tuti sendiri tampak berada pada
posisi yang lemah, tidak kuasa melawan walaupun ia masih tetap bertahan. Beban
psikis itu berlangsung cukup lama. Hal ini disebabkan oleh sikap Tuti yang
terus mempertahankan keyakinan dirinya. Penolakan lamaran Supomo terhadap
dirinya menunjukkan bahwa ia masih mencoba bertahan pada keyakinannya, pada
citra dirinya. Walaupun Supomo adalah laki-laki yang baik hati, lemah lembut,
dan sopan dalam pergaulan, Tuti tetap menolaknya, hal tersebut terlihat dalam
kutipan berikut:
"kalau ia menjadi istrinya, maka
perbuatannya itu bukanlah oleh karena cintanya kepada Supomo, tetapi untuk
melarikan dirinya dari perasaan kehampaan dan kesepian, dan ini merendahkan
perkawinan" (Alisjahbana,
2000:123).
Tuti
"takut" kesediaan dirinya untuk menjadi istri Supomo, hal tersebut terlihat
pada kutipan berikut:
"pelarian dari kengerian
perasaan kesepian seorang perempuan yang merasa umurnya amat cepat bertambah
tinggi" (Alisjahbana,
2000:126).
Proses unifikasi citra itu, bagi Tuti, tidak
hanya dapat dicapai dengan perkawinannya dengan Supomo. Apalagi, laki-laki itu
bukan laki-laki yang turut berperan dalam pergerakan pembangunan bangsanya,
bukan seorang laki-laki yang diidealkan
oleh Tuti. Apa yang dilakukan Tuti seolah-olah melepaskan atribut, “kodrat”
perempuan yang selama ini distereotipkan oleh masyarakat bahwa perempuan
dikuasai oleh aspek emosional. Pada tataran ini, Tuti dideskripsikan teks
sebagai perempuan yang tidak memiliki aspek-aspek emosional. Padahal, pandangan
seperti ini keliru dan sama kelirunya dengan keyakinan bahwa perempuan hanya
dikuasai oleh sifat emosional.
Pada
peristiwa-peristiwa selanjutnya, teks “mendudukkan” posisi
yang proporsional: menyatunya rasionalitas dan emosionalitas. Proses unifikasi
dua poros rasional dan emosional (intuitif) pada diri Tuti mulai tampak sejak
Maria, adiknya terserang penyakit malaria dan "diasingkan" ke rumah
sakit di Pacet.
Ketika
Maria terombang-ambing antara harapan dan keputusasaan, ketika ia terus
berjuang untuk mendapatkan kembali kesehatannya, ketika itu pula Tuti dan Yusuf
mulai saling mendekatkan diri satu sama lain: berjalan-jalan bersama
menghabiskan masa libur mereka. Dengan alam pegunungan, dengan kedekatannya
dengan Yusuf, Tuti telah mengenal "dunia baru". Tuti mengalami
transformasi menjadi "manusia baru" yang tidak hanya meyakini citra
dirinya, kemampuan dirinya sendiri, ketajaman otaknya, tetapi ia juga
mempercayai bahwa di balik semua itu tersembunyi kekuatan di luar dirinya.
Selain sebagai arena pertentangan, perjuangan, dan pertarungan kodrat manusia,
Tuti meyakini bahwa hidup di dunia pun merupakan persatuan keindahan. Hal tersebut terlihat
pada kutipan berikut:
Dalam persatuan itu bukanlah lenyap
perjuangan, tetapi perjuangan itu tersuci menjadi lebih mulia, sebab ia
terlangsung bukan semata-mata karena berebut pengaruh atau kekuasaan, tetapi
seperti kodrat alam yang selalu mencari kesetimbangan yang lebih tinggi
derajatnya dalam susunan keindahan persatuannya (Alisjahbana, 2000:151).
Kesadaran
sebagai "manusia baru" tidak serta merta mereduksi citra rasional
Tuti dan tujuan hidupnya untuk memajukan kaum perempuan. Walaupun bagi Tuti ada
perbedaan jasmani dan sifat-sifat antara laki-laki dan perempuan, ia
menunjukkan bahwa persamaan di antara keduanya amat banyak. Ia mengkritik orang
yang lebih menekankan perbedaan itu sehingga kaum perempuan dibatasi aksesnya
ke wilayah publik sekaligus digiring untuk bekerja di ruang domestik: mengurus
rumah tangga dan mendidik anak.
BAB
III
PENUTUP
Dari
paparan mengenai feminisme dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana
ini memperlihatkan berbedaan yang sangat bertolak belakang dari tokoh Tuti dan
Maria. Keduanya mencerminkan feminisme dengan karakter yang sangat berbeda.
Sutan Takdir Alisjahbana berhasil memberikan gambaran feminisme yang unik dari
kedua tokoh yang Ia hadirkan dalam novel Layar Terkembang ini.
Tuti
digambarkan menjadi tokoh perempuan wakil rasional sedangkan Maria digambarkan sebagai tokoh perempuan yang merupakan representasi sifat emosional. Dua karakter yang
saling bertolak belakang ini merupakan daya Tarik paling utama dalam novel
feminisme yang dikarang oleh penulis laki-laki. Sutan Takdir Alisjahbana
memberikan suguhan kepada pembaca berupa sosok wanita pada umumnya, tanpa
menjatuhkan atau mengesankan bahwa wanita menjadi sosok nomor dua setelah
laki-laki. Sutan Takdir Alisjahbana berhasil menghilangkan egonya sebagai
laki-laki untuk memberikan feminisme terbaik kepada para tokoh perempuan dalam
novelnya Layar Terkembang ini yang sangat patut dikaji lebih mendalam oleh
kritikus sastra.
DAFTAR
PUSTAKA
Alisyahbana,
Sutan Takdir. 2010. Layar Terkembang. Cetakan
Keempat Puluh Satu. Jakarta: Balai Pustaka.
Freud, Sigmund. 1960. A General Introduction Psychoanalysis.
New York: Washington Square Press Book.
Madsen, Deborah L. 2010. Feminist Theory
and Literary Practice. London, Sterling, Virginia: Pluto Press.
Sugihastuti,
Adib Sofia. 2003. Feminisme dan Sastra:
Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar