Senin, 18 Februari 2019

GAMBARAN FEMINISME YANG SALING BERTOLAK BELAKANG DARI TOKOH TUTI DAN MARIA DALAM NOVEL LAYAR TEREMBANG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa dimana para penulis-penulis karya sastra sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek yang berkembang di Indonesia. Aspek-aspek tersebut antara lain budaya, tempat kejadian, waktu kejadian, dan sebagainya dimana aspek-aspek tersebut bisa ada dan bisa tidak ada dalam kehidupan yang sebenarnya. Karya-karya sastra yang berkembang di Indonesia, khususnya karya sastra prosa merupakan karya yang patut untuk diamati. Penulis atau pengarang karya sastra di Indonesia selalu memiliki ciri khas tersendiri dalam setiap karya-karyanya. Disinilah teori-teori sastra berperan untuk panduan pengamatan karya sastra prosa tersebut.
Teori sastra merupakan suatu wadah yang memberikan gambaran mengenai perkembangan-perkembangan sastra hingga masa kini. Teori-teori sastra yang berkembang hingga saat ini memberikan gagasan penting untuk para kritikus sastra yang berperan untuk menganalisis suatu karya sastra. Teori-teori sastra tersebut merupakan bahan pokok seorang kritikus sastra untuk mendapatkan hasil analisis yang sesuai dan mampu dipertanggung jawabkan sebagai pengamat sastra.
Kritikus sastra tidak dapat menggunakan argumen tanpa dasar dalam pengamatannya akan karya sastra, seorang kritikus sastra harus dan wajib memiliki panduan berupa teori-teori sastra dari berbagai pakar sastra yang telah mencetuskan berbagai macam teori-teori tersebut.
Karya sastra merupakan salah satu hasil aktivitas kebudayaan yang diciptakan untuk mencatat dan mengkomunikasikan femonema yang terjadi dalam masyarakat. Dari sebuah karya sastra, pembaca (masyarakat) akan menemukan kembali sejumlah peristiwa, gejala sosial, budaya, politik yang pernah terjadi di masyarakat pada masa tertentu. Kesadaran mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan gender, atau yang lebih dikenal dengan feminisme merupakan salah satu fenomena yang mengemuka dalam sejumlah karya sastra di Indonesia. Walaupun tidak digambarkan secara eksplisit, sejumlah novel Indonesia sejak awal perkembangannya, ternyata telah mempersoalankan pentingnya keadilan dan kesetaraan gender, sehingga tercapai masyarakat yang berkeadilan sosial.


Makalah berjudul “Gambaran Feminisme yang Saling Bertolak Belakang dari Tokoh Tuti dan Maria dalam Novel Layar Terkembang” ini akan menjabarkan mengenai novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana menggunakan teori feminisme. Makalah ini akan memberikan gambaran mengenai feminisme yang hadir pada karakter tokoh dalam novel tersebut, kemudian akan mengaitkan feminisme-feminisme tersebut dalam dunia nyata pada masa kini.
Kesadaran mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan gender (feminisme) timbul dalam masyarakat yang memiliki anggapan bahwa salah satu jenis kelamin, khususnya laki-laki, dianggap lebih unggul dan utama dari pada jenis kelamin perempuan. Masyarakat tersebut menganut ideologi patriarkat, termasuk masyarakat Indonesia. Akibatnya, terjadi ketidakadilan gender. Keadaan tersebut meresahkan bagi sejumlah orang, termasuk para sastrawan, yang kemudian menuangkan keresahan dan kritikannya dalam karya-karya yang ditulisnya.
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1700- an (Madsen, 2010:1).

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1   Bagaimana feminisme yang muncul dari tokoh Tuti dan Maria dalam novel “Layar Terkembang”?

 

1.3  Tujuan

1.3.1   Mengetahui feminisme dari tokoh Tuti dan Maria dalam novel “Layar Terkembang”.

1.4  Manfaat

1.4.1   Memberikan wawasan baru mengenai salah satu kata novel sastra yang sangat terkenal di Indonesia.
1.4.2   Memberikan informasi secara tersirat dari sosok Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan salah satu penulis besar di Indonesia.
1.4.3   Memberikan gambaran secara rinci mengenai feminisme yang dihadirkan Sutan Takdir Alisjahbana dalam tokoh Tuti dan Maria dalam novel “Layar Terkembang”
1.4.4   Memperjelas pengetahuan teori sastra yang telah dipelajari dalam kelas dengan melakukan analisis novel secara langsung.


BAB II
ISI

2.1 Feminisme dari Tokoh Tuti dan Maria dalam Novel “Layar Terkembang”

Oposisi citra perempuan dalam novel Layar Terkembang tampak dengan jelas pada gagasan/pikiran dan tindakan Tuti dan Maria yang menjadi figur dalam novel kanon ini. Kendatipun secara biologis kedua perempuan kakak beradik ini dekat, dalam persoalan relasinya dengan Yusuf, mereka memiliki pandangan yang amat jauh. Maria bersifat emosional, sedangkan Tuti bertindak rasional. Ini terlihat dari deskripsi teks terhadap Maria. Maria merupakan gadis yang mudah dikuasai oleh perasaannya. Sifat-sifat Maria tersebut ditandai dengan percakapannya yang selalu tidak menunjukkan keseriusan dan topik yang dibicarakan selalu melompat-lompat. Ia digambarkan sebagai gadis yang dikuasai oleh dorongan-dorongan alamiah yang murni, dikuasai oleh perasaan yang muncul secara spontan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya apriori. Ia gadis yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Kegembiraan dan kesedihan dengan cepat, hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
"berselisih di mukanya sebagai siang dan malam. Sebentar ia iba semesramesranya, dan sebentar berderau gelaknya yang segar oleh kegembiraan hatinya yang remaja" (Alisjahbana, 2010:2—3).
Di samping itu, ia adalah gadis yang mudah beradaptasi, mudah menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya, Maria kecewa setelah tahu bahwa dirinya dan kakaknya adalah pengunjung pertama di Gedung Akuarium, Pasar Ikan (Alisjahbana, 2010:2).
Sifat emosional itu menemukan jejaknya yang semakin kuat ketika ia berpisah dengan kekasihnya, Yusuf. Ketika jarak geografis menghambat pertemuan mereka, ketika Yusuf pulang liburan ke Martapura, Palembang untuk mengunjungi orang tuanya, persahabatan itu tetap terjalin. Keduanya melakukan penerobosan persatuan mereka melalui mediasi surat (Alisjahbana, 2010:51).
Akan tetapi, penerobosan yang mereka lakukan tetap saja tidak mampu mereduksi gejolak jiwa masing-masing. Penerobosan itu hanya bisa menciptakan persatuan semu, menciptakan kenangan-kenangan dan kerinduan yang harus segera terlampiaskan. Sementara laki-laki itu mengalami kegelisahan, melalui mediasi surat,  


Maria menceritakan kesepiannya semenjak ditinggal kakaknya, Tuti, mengikuti Kongres Perempuan di Solo dan meminta dirinya datang menemuinya di Bandung. Bagi Maria sendiri, komitmennya untuk menjadi istri Yusuf berarti kesediaannya untuk mengabdi dan melayani Yusuf dengan seluruh totalitas jiwanya. Ia tidak takut dijadikan hamba sahaya. Ia menyerahkan seluruh nasib hidup dan kehidupannya kepada Yusuf (Alisjahbana, 2010:72).
"Ah, engkau hendak mengatur-atur orang pula. Saya cinta kepadanya. Biarlah saya mati daripada saya bercerai dari dia. Apa sekalipun hendak saya kerjakan baginya. Saya tidak takut saya dijadikan sahaya. Saya tahu ia cinta juga kepada saya. Saya percaya kepadanya dan saya tiada sekali-kali merasa hina menyatakan cinta saya itu" (Alisjahbana, 2010: 71).
Kondisi dan keadaan adiknya yang inferior, yang bergantung kepada laki-laki, yang akses-aksesnya untuk memasuki wilayah publik dibatasi, dikritik oleh Tuti. Di samping memiliki kesadaran untuk menyetarakan status, fungsi, dan peran dirinya dengan laki-laki, Tuti telah "melompati" ruang domestik, bergerak dan berjuang dalam wilayah publik. Ia juga mempunyai kesadaran untuk memberdayakan kaumnya dan menunjukkan diri bahwa perempuan memiliki kemampuan berperan di ruang publik. Tuti, misalnya, memberdayakan kaum sesamanya dengan gagasan-gagasannya, pandangan-pandangannya tentang relasi gender, tentang kemajuan perempuan melalui organisasi Putri Sedar. Sebagai produk perempuan yang sadar gender, Tuti tidak puas ruang geraknya hanya terbatas dalam wilayah domestik. Seperti kaum laki-laki, ia memiliki kewajiban untuk memajukan nasib bangsanya, terutama nasib kaum perempuan yang totalitas pikiran, pandangan, kehendak, dan hidupnya bergantung kepada laki-laki. Perempuan dalam masyarakatnya, menurut Tuti, hanya dijadikan abdi, hamba sahaya, dan budak yang bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, tanpa memiliki hak. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
Perempuan hanya "dijadikan perhiasan, dipuja selagi disuka, tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya" (Alisjahbana, 2010:35).
Kehendak perempuan dikontrol, dibatasi, dan tidak diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memasuki wilayah publik. Itulah yang menjadi alasan Tuti memutuskan tunangannya, Hambali, yang "hendak mengatur hidupnya, yang tidak pernah memahami perjuangannya sebagai ketua organisasi Putri Sedar cabang Jakarta (Alisjahbana, 2010:76).
Dalam konteks ini, Tuti meyakini bahwa hubungan suami istri bukan merupakan relasi yang asimetris: pemimpin-dipimpin/atasan bawahan, melainkan lebih merupakan hubngan mitra. Tentu saja, ini bertentangan dengan pandangan Sigmund Freud yang secara tegas menyebut perempuan normal sebagai perempuan yang narsisisme (cinta diri sendiri), pasivitas (sikap pasrah), dan masokisme (menikmati penderitaan) (Freud, 1960: 98—99).
Sebagai aktivis organisasi perempuan Putri Sedar, pikiran, pandangan, serta citra Tuti sebagai perempuan yang memiliki harga diri menemukan bentuknya yang sempurna pada saat melihat sikap ketergantungan, "penghambaan" adiknya kepada Yusuf. Sebagai pejuang kesetaraan laki-laki dan perempuan, Tuti tidak senang dan memprotes sikap adiknya yang memperturutkan perasaan dengan "menggantungkan dan memasrahkan hidupnya" kepada laki-laki tersebut. Ia memberikan saran agar adiknya bersikap rasional sekaligus mempertahankan harga dirinya sebagai perempuan. Perempuan diciptakan bukan sebagai pengabdi, pelayan laki-laki karena pengabdian menunjukkan hubungan yang timpang.
Menurut Tuti, hubungan suami istri bukan hubungan majikan-buruh, Tuanhamba, atau pemimpin-yang dipimpin, melainkan hubungan suami-istri adalah hubungan mitra, hubungan kesetaraan yang diikat oleh perasaan saling mencintai, menyayangi, dan menghargai. Tujuan hidup perempuan bukan semata-mata menjadi istri dan ibu rumah tangga, melainkan kaum perempuan berperan serta memasuki dunia publik untuk memajukan bangsanya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:
Kedudukan perempuan harus sejajar dengan laki-laki, yang memiliki kemauan dan kehendaknya sendiri tanpa bergantung kepada laki-laki (Alisjahbana, 2000:40).
Tuti menganggap sikap demikian itu telah menempatkan perempuan pada posisi sebagai hamba sahaya laki-laki (Alisjahbana, 2000:67).
Perempuan menjadi takluk, bergantung, inferior, dan tidak memiliki otonominya di hadapan laki-laki. Bagi Tuti, persatuan cinta kasih bukanlah legitimasi sikap perlindungan laki-laki (suami) kepada perempuan (istri), melainkan sikap apresiatif laki-laki terhadap perempuan sebagai manusia yang cakap dan memiliki independensi (Alisjahbana, 2000:68). Pikiran dan pandangan Tuti dipaparkan oleh teks sebagai berikut:
"Bukan maksud saya supaya engkau berbohong dan pura-pura tiada cinta kepadanya. Tidak sekali-kali. Saya hendak menunjukkan kepadamu bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan seperti sekarang ini, berarti merendahkan dirimu kepadanya. Terlampau engkau nyatakan bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa engkau tidak dapat hidup lagi, kalau tiada dengan dia. Sifat perempuan yang demikian itulah yang menyebabkan maka kedudukan perempuan sangat nista dalam perkawinan" (Alisjahbana, 2000:71).
Saran Tuti tidak ditanggapi adiknya bahkan timbul pertentangan antara keduanya. Pertentangan itu menimbulkan pertengkaran (Alisjahbana, 2000:70—71).
Namun, pertengkaran itu tidak berlanjut karena masing-masing menarik diri untuk kembali kepada citra dirinya masing-masing. Tuti akhirnya membiarkan Maria dengan kemauannya sendiri. Begitu pun, Maria menganggap dirinya tidak membutuhkan nasihat dan tidak mau urusannya dicampuri oleh Tuti (Alisjahbana, 2000:72).
Pada titik ini, Tuti dan Maria “berdiri” pada karakter dan sikapnya masing-masing, yaitu rasionalitas dan emosionalitas. Maria berkukuh pada keyakinannya bahwa peran perempuan melayani laki-laki. Sebaliknya, Tuti pun tetap pada pandangannya bahwa perempuan memiliki otonomi untuk bertindak dan peran-perannya tidak direduksi sebagai pelayan laki-laki semata. Akan tetapi, melihat kedekatan Maria-Yusuf yang membahagiakan, Tuti yang semula asyik dengan citra dirinya, diam-diam mengalami beban psikis yang seolah-olah ditarik ke luar mengikuti citra diri adiknya.
Dengan bantuan dirinya sendiri, ia mencoba mempertahankan citra dirinya, tetapi perlawanannya sia-sia belaka. Mula-mula perempuan itu ditarik oleh bayangan pertengkaran dengan adiknya. Kemudian, ia terpesona oleh pemandangan alam yang ada di luar kamarnya yang gelap, hal ini terlihat pada kutipan berikut:
dari jendela, matanya melayang ke luar, kepada pohon mangga yang besar, yang berat, dan lebar mengembangkan daunnya yang rimbun. Di sana sini nampak kepadanya sinar bulan jatuh dari antara sela-sela daun yang rapat-rapat, terang putih rupanya di antara bayang-bayang daun yang hitam” (Alisjahbana, 2000:78).
Selanjutnya, perempuan itu terbuai oleh suara alunan musik, seperti dalam kutipan berikut ini:
 “riak air di teluk yang jauh, memuncak menjadi imbauan putus, turun sebagai empasan ombak yang letih di pantai yang rata, mendorong dan melanda, tiada tertahan-tahan” (Alisjahbana, 2000:78).
Bahkan, ketika Tuti melihat bayangan adiknya dan Yusuf yang sedang bermesraan di luar kamarnya, perempuan itu terperangkap oleh citra diri adiknya. Ia mencoba menolak "kodratnya" sebagai perempuan dan bertahan pada citra dirinya, tetapi ia merasa gagal, kalah. Pendapat Tuti tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
"Kalah oleh tenaga asli alam, yang tiada dapat diaturnya dengan pikirannya yang tajam, dengan perhitungannya yang nyata." (Alisjahbana, 2000:81).
Kekalahan Tuti berarti mulai meleburnya citra dirinya ke dalam citra adiknya. Ia mulai bersatu dengan nuansa-nuansa perasaan: pemandangan alam dan musik. Namun, kecenderungan tersebut masih berupa proses. Pergulatan tarik-menarik dua citra yang bergejolak dalam diri Tuti terus berlangsung.
Hal demikian, misalnya, terjadi ketika perayaan kelulusan Maria dari sekolah, keberhasilannya mendapatkan pekerjaan, dan pertunangannya dengan Yusuf yang dilakukan oleh istri Parta, bibinya. Dalam peristiwa itu, berkali-kali Parta dan istrinya berusaha menarik citra dirinya. Tuti sendiri tampak berada pada posisi yang lemah, tidak kuasa melawan walaupun ia masih tetap bertahan. Beban psikis itu berlangsung cukup lama. Hal ini disebabkan oleh sikap Tuti yang terus mempertahankan keyakinan dirinya. Penolakan lamaran Supomo terhadap dirinya menunjukkan bahwa ia masih mencoba bertahan pada keyakinannya, pada citra dirinya. Walaupun Supomo adalah laki-laki yang baik hati, lemah lembut, dan sopan dalam pergaulan, Tuti tetap menolaknya, hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
"kalau ia menjadi istrinya, maka perbuatannya itu bukanlah oleh karena cintanya kepada Supomo, tetapi untuk melarikan dirinya dari perasaan kehampaan dan kesepian, dan ini merendahkan perkawinan" (Alisjahbana, 2000:123).
Tuti "takut" kesediaan dirinya untuk menjadi istri Supomo, hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:
"pelarian dari kengerian perasaan kesepian seorang perempuan yang merasa umurnya amat cepat bertambah tinggi" (Alisjahbana, 2000:126).
 Proses unifikasi citra itu, bagi Tuti, tidak hanya dapat dicapai dengan perkawinannya dengan Supomo. Apalagi, laki-laki itu bukan laki-laki yang turut berperan dalam pergerakan pembangunan bangsanya, bukan  seorang laki-laki yang diidealkan oleh Tuti. Apa yang dilakukan Tuti seolah-olah melepaskan atribut, “kodrat” perempuan yang selama ini distereotipkan oleh masyarakat bahwa perempuan dikuasai oleh aspek emosional. Pada tataran ini, Tuti dideskripsikan teks sebagai perempuan yang tidak memiliki aspek-aspek emosional. Padahal, pandangan seperti ini keliru dan sama kelirunya dengan keyakinan bahwa perempuan hanya dikuasai oleh sifat emosional.
Pada peristiwa-peristiwa selanjutnya, teks “mendudukkan” posisi yang proporsional: menyatunya rasionalitas dan emosionalitas. Proses unifikasi dua poros rasional dan emosional (intuitif) pada diri Tuti mulai tampak sejak Maria, adiknya terserang penyakit malaria dan "diasingkan" ke rumah sakit di Pacet.
Ketika Maria terombang-ambing antara harapan dan keputusasaan, ketika ia terus berjuang untuk mendapatkan kembali kesehatannya, ketika itu pula Tuti dan Yusuf mulai saling mendekatkan diri satu sama lain: berjalan-jalan bersama menghabiskan masa libur mereka. Dengan alam pegunungan, dengan kedekatannya dengan Yusuf, Tuti telah mengenal "dunia baru". Tuti mengalami transformasi menjadi "manusia baru" yang tidak hanya meyakini citra dirinya, kemampuan dirinya sendiri, ketajaman otaknya, tetapi ia juga mempercayai bahwa di balik semua itu tersembunyi kekuatan di luar dirinya. Selain sebagai arena pertentangan, perjuangan, dan pertarungan kodrat manusia, Tuti meyakini bahwa hidup di dunia pun merupakan persatuan keindahan. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:
Dalam persatuan itu bukanlah lenyap perjuangan, tetapi perjuangan itu tersuci menjadi lebih mulia, sebab ia terlangsung bukan semata-mata karena berebut pengaruh atau kekuasaan, tetapi seperti kodrat alam yang selalu mencari kesetimbangan yang lebih tinggi derajatnya dalam susunan keindahan persatuannya (Alisjahbana, 2000:151).
Kesadaran sebagai "manusia baru" tidak serta merta mereduksi citra rasional Tuti dan tujuan hidupnya untuk memajukan kaum perempuan. Walaupun bagi Tuti ada perbedaan jasmani dan sifat-sifat antara laki-laki dan perempuan, ia menunjukkan bahwa persamaan di antara keduanya amat banyak. Ia mengkritik orang yang lebih menekankan perbedaan itu sehingga kaum perempuan dibatasi aksesnya ke wilayah publik sekaligus digiring untuk bekerja di ruang domestik: mengurus rumah tangga dan mendidik anak.


BAB III
PENUTUP

Dari paparan mengenai feminisme dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana ini memperlihatkan berbedaan yang sangat bertolak belakang dari tokoh Tuti dan Maria. Keduanya mencerminkan feminisme dengan karakter yang sangat berbeda. Sutan Takdir Alisjahbana berhasil memberikan gambaran feminisme yang unik dari kedua tokoh yang Ia hadirkan dalam novel Layar Terkembang ini.
Tuti digambarkan menjadi tokoh perempuan wakil rasional sedangkan Maria digambarkan sebagai tokoh perempuan yang merupakan representasi sifat emosional. Dua karakter yang saling bertolak belakang ini merupakan daya Tarik paling utama dalam novel feminisme yang dikarang oleh penulis laki-laki. Sutan Takdir Alisjahbana memberikan suguhan kepada pembaca berupa sosok wanita pada umumnya, tanpa menjatuhkan atau mengesankan bahwa wanita menjadi sosok nomor dua setelah laki-laki. Sutan Takdir Alisjahbana berhasil menghilangkan egonya sebagai laki-laki untuk memberikan feminisme terbaik kepada para tokoh perempuan dalam novelnya Layar Terkembang ini yang sangat patut dikaji lebih mendalam oleh kritikus sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, Sutan Takdir. 2010. Layar Terkembang. Cetakan Keempat Puluh Satu. Jakarta: Balai Pustaka.
Freud, Sigmund. 1960. A General Introduction Psychoanalysis. New York: Washington Square Press Book.
Madsen, Deborah L. 2010. Feminist Theory and Literary Practice. London, Sterling, Virginia: Pluto Press.

Sugihastuti, Adib Sofia. 2003. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar