Minggu, 01 April 2018

Dialektika Makna Tuhan dalam Sajak Chairil Anwar dan Amir Hamzah

AKU DAN TUHAN: 
“DIALEKTIKA MAKNA TUHAN DALAM SAJAK CHAIRIL ANWAR DAN AMIR HAMZAH”
Alfa Sayyidah

Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstualitas antara satu karya dengan karya yang lain banyak terjadi, salah satunya ialah hubungan intertekstualitas yang terdapat pada sajak-sajak Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Hubungan intertekstualitas antara keduanya menunjukkan adanya persamaan dan pertentangan dalam konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan. Sajak “Doa” oleh Chairil Anwar dan “Padamu Jua” memiliki ide atau tema yang sama, yakni ketuhanan dan juga sama-sama menggunakan akulirik. Persamaan antara kedua sajak tersebut terlihat pada penggambaran lirik penderitaan yang terdapat didalamnya, sedangkan perbedaan antara keduanya terlihat pada penggambaran perwujudan Tuhan, penggunaan kata-kata dan kalimat yang terdapat di dalamnya (Chairil Anwar menggunakan kata yang ambigu, Amir Hamzah menggunakan kata diafan).
Kata kunci: puisi, intertekstualitas, sajak, Chairil Anwar, Amir Hamzah, Doa,
Padamu  Jua, ketuhanan

Pendahuluan
Puisi sejatinya adalah bentuk karya sastra yang paling tua. Sejak kelahirannya, puisi selalu menunjukkan ciri-ciri khas yang telah berkembang dari tahun ke tahun. Definisi mengenai puisi sendiri sangat sulit untuk diberikan. Untuk memahami puisi biasanya diberikan ciri-ciri karakteristik puisi dan unsur-unsur yang membedakan puisi dari karya sastra yang lainnya.  Dari segi bentuk fisik yang terlihat dalam karya tulis, puisi sudah menunjukkan perbedaan dari prosa dan drama. Dari segi bentuk pengucapan batinnya, puisi juga berbeda dari prosa dan drama. Ada saat-saat tertentu yang memungkinkan ketepatan pengucapan batin dengan puisi, ada saat lain yang menuntut hanya dapat diungkapkan dengan ujud prosa dan drama, namun pikiran dan perasaan lainnya hanya dapat diungkapkan dalam ujud puisi.




Bentuk karya sastra puisi dikonsep oleh penulis atau penciptanya sebagai puisi bukan bentuk prosa yang kemudian dipuisikan. Konsep pemikiran pencipta sesuai dengan bentuk yang terungkapkan dalam puisi tersebut. Sejak di dalam konsepnya, seorang penyair telah mengkonsentrasikan segala kekuatan bahasa dan mengkonsentrasikan gagasannya untuk melahirkan sebuah puisi. Penyair tidak memulai membuat puisi dengan menggunakan konsep prosa. Sehingga, seorang penyair belum tentu mampu menjadi pengarang prosa, dan sebaliknya pengarang prosa belum tentu mampu menjadi penyair.
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat padat, namun berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif
(Waluyo: 2003, 1).
Dilihat dari pengertian puisi menurut Herman J. Waluyo tersebut dapat terlihat bahwa puisi merupakan sebuah karya seni yang dapat dikaji dari berbagai macam aspek. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya karena puisi tersusun dari bermacam-macam unsur-unsur dan sarana-sarana kepuitisan, jenis-jenis atau ragam-ragamnya karena terdapat berbagai jenis dan ragam puisi, sudut kesejarahannya karena sepanjang sejarahnya puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry yang ditulis pada tahun 1978 menyatakan, bahwa puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya.
Karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya telah ada karya sastra lain, yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan. Sehingga, karya sastra selalu meneruskan konvensi yang telah ada atau menyimpanginya meskipun tidak secara menyeluruh. Puisi sebagai salah satu karya sastra yang kreatif menghendaki adanya pembaruan, namun tidak meninggalkan puisi terdahulunya sebab apabila terlalu menyimpang dari konvensi, maka hasil ciptaan tersebut tidak akan dikenal atau tidak dimengerti oleh masyarakatnya. Konvensi sastra yang disimpangi atau diteruskan, dapat berupa konvensi bentuk formalnya ataupun isi pikiran, masalah, dan tema yang terkadung didalamnya.
Oleh karena itu, maka penyair selalu berusaha menciptakan kebaruan, namun tidak meninggalkan sama sekali konvensi sajak yang telah ada. Dengan demikian, dalam memahami sajak perlu dilihat atau ditinjau hubungan kesejarahan sajak dengan karya sastra pada umumnya. Konteks kesejarahan sajak tersebut diperlukan prinsip intertekstualitas, yaitu hubungan satu teks dengan teks yang lain. Berdasarkan prinsip tersebut, sajak baru bermakna penuh dengan hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaannya atau pertentangannya.
Prinsip interkstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna pada sebuah teks sastra (sajak) mengingat seorang sastrawan selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Sehingga, dalam menanggapi teks tersebut penyair memiliki pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semua hal tersebut ditentukan oleh pengetahuan yang didapat dan tidak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta situasi zamannya. Prinsip intertekstualitas ini menempatkan para penyair ditengah-tengah arus sastranya maupun sastra dunia yang bersifat universal.
Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstualitas antara suatu karya sastra dengan karya lain, baik antara karya sezaman maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya dapat dilihat antar karya-karya Pujangga Baru, antar karya-karya Pujangga Baru dengan karya-karya Angkatan 45, ataupun dengan karya yang lain. Maka, untuk memahami dan mendapatkan makna penuh sebuah sajak perlu dilihat hubungan intertekstualitas tersebut. Misalnya, pada beberapa sajak Chairil Anwar yang mempunyai hubungan intertekstualitas dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstualitas tersebut menunjukkan adanya kesamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan.
Chairil Anwar yang lahir pada tanggal 26 Juli tahun 1922 di Medan dan Amir Hamzah yang lair pada 28 tanggal Februari tahun 1911 di Lanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, sendiri merupakan seorang penyair yang sajak-sajaknya merupakan puncak-puncak puisi Indonesia modern. Keduanya merupakan penyair yang sajak-sajaknya serat akan struktur dan ekspresi, sehingga sajak-sajak dari kedua penyair ini tidak pernah lepas untuk dipilih menjadi bahan analalisis struktural dan semiotik. Analisis tersebut bertujuan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam sajak tersebut. Analisis struktural dan semiotik inilah yang memunculkan adanya analisis secara intertekstualitas, yang bertujuan untuk mendapatkan makna sajak sepenuhnya dengan cara melihat hubungan antarteksnya dengan sajak-sajak yang terbit sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antarteks dengannya. Sajak-sajak Chairil Anwar yang meninggal pada tanggal 28 April tahun 1949 (yang kini diperingati sebagai Hari Sastra di  Indonesia) terdapat hubungan intertestualitas dengan sajak-sajak Amir Hamzah yang meninggal pada tanggal 20 Maret tahun 1956, misalnya antara sajak “Doa” oleh Chairil Anwar dengan sajak “Padamu Jua” oleh Amir Hamzah.

Pembahasan
Secara intertekstualitas sajak “Doa” karya Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan pertalian dengan sajak “Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Ada sebuah ide atau tema dan ungkapan yang Chairil Anwar yang dapat dikembangkan dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Meskipun ide tersebut terdapat perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap larik yang terdapat dalam sajak menunjukkan kekhasan masing-masing dalam menghadapi masalah yang dihadapi dalam kedua sajak tersebut.
Sajak “Padamu Jua” oleh Amir Hamzah dapat dianalisis secara parafrase bahwa cinta si aku kepada kekasih barunya telah habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang seperti burung yang lepas. Sehingga, si aku kembali kepada kekasihnya yang lama seperti dahulu seperti sebelum ia mendapatkan kekasih yang baru. Kata “pulang” yang terdapat dalam bait pertama memberikan penggambaran bahwa si aku kembali dari pengembaraan mencari cinta yang lain karena kekasih lamanya masih menunggu.
Kekasih lama si aku sangat menarik bagaikan lilin yang menyala gemerlapan, menerangi hati si aku, seperti sebuah pelita di jendela yang memberikan penerangan di malam yang gelap, sehingga menandakan bahwa di rumahnya ada penerangan dengan kesabaran dan kesetiaan kekasih lama tersebut memanggil si aku.
Si aku menyatakan kepada kekasih lamanya itu bahwa ia ia adalah manusia yang wajar yang terdiri dari tulang, daging, dan darah, dan dilengkapi dengan panca indera, sehingga ia merindukan rasa yang dapat diraba, diindera, merindukan rupa atau wujud yang dapat dilihat dengan mata kepala. Sedangkan si “engkau” yang diibaratkan sebagai kekasih dalam puisi tersebut tidak mempunyai wujud, gaib dari pengelihatan, sehingga “engkau” dalam puisi Amir Hamzah tersebut merupakan perumpamaan dari wujud Tuhan. Sehingga, lirik “kata yang merangkai hati” dalam sajak tersebut berartikan nama Tuhan ataupun kata-kata Tuhan.
Dalam puisi Amir Hamzah tersebut, diterangkan bahwa si engkau memisahkan si aku dengan kekasihnya yang baru. Si aku dipermainkan oleh si engkau dengan berulang-ulang bergantian ditangkap dan dilepaskan, sehingga membuat si aku menjadi seperti orang gila. Namun, rasa cinta si aku tetap kembali kepada engkau, kekasih lamanya, dikarenakan si engkau begitu pelik, penuh kerahasiaan, selalu menarik keinginan si aku seperti seorang gadis yang berada di balik tirai yang menimbulkan keinginan untuk melihatnya, untuk mengenalnya dengan jelas.
Dalam sajak “Padamu Jua” tersebut, cinta kasih si engkau begitu sunyi, menunggu kedatangan si aku seorang diri dengan sabar. Namun, sekalipun si aku sangat ingin bertemu dengan si engkau, ia tidak dapat menemuinya karena si engkau bukanlah kekasih dunia, tidak dapat ditemui dengan badan jasmaniyah. Hal ini dikarenakan kekasihnya adalah Tuhan, si aku beranggapan bahwa orang yang dapat menemui Tuhan adalah orang yang sudah meninggal. Si aku tidak dapat menemui Tuhan sekalipun ia sangat ingin, karena ia masih hidup.
Dalam pusisi Amir Hamzah tersebut, Tuhan diwujudkan sebagai manusia, dikiaskan menjadi seorang gadis, sebagai kekasih merupakan salah satu cata untuk membuat phatos, yaitu menimbulkan simpati dan emphati kepada pembaca sehingga ia bersatu dengan objeknya.
Sedangkan sajak “Doa” oleh Chairil Anwar dapat dianalisis secara parfrase bahwa sajak ini dibuka dengan kalimat keragu-raguan, yakni dalam termangu, dalam keragu-raguan, antara percaya atau tidak, atau antara perlu dan tidaknya menghadap Tuhan, si aku masih menyebut-nyebut nama Tuhan, masih mengingat akan Tuhan, atau si aku berdoa kepada Tuhan untuk mengadukan nasibnya yang malang dimana berdoa merupakan memuji dan mengagungkan nama Tuhan, juga mengadukan nasib kepada Tuhan.
Bagi si aku yang terdapat dalam puisi Chairil Anwar tersebut, berdoa atau menyebut-nyebut nama Tuhan merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan, dikarenakan si aku masih termangu atau ragu-ragu akan perlunya menghadap Tuhan. Si aku masih bertanya-tanya, perlukah ia menghadap Tuhan atau adakah guna baginya untuk menghadap Tuhan. Keragu-raguan itu akhirnya tetap membuat si aku dalam sajak Chairil Anwar kembali kepada Tuhan. Hal ini terlihat pada lirik “Kau penuh seluruh”, “Kau” yang berartikan Tuhan, sedang “penuh seluruh” dapat diartikan sebagai sungguh ada. Efek kebulatan dalam sajak ini diperkuat oleh bunyi vokal u yang berulang dan diintensifkan dengan bunyi h untuk menutup kata, “penuh seluruh”.
Bagi si aku dalam sajak “Doa” tersebut, dalam ketermanguannya cahaya Tuhan yang panas suci, yang memancar dengan penuh kesucian menerangi hati manusia dalam kegelapan, yang memanaskan orang yang kedinginan (kiasan orang yang menderita), kini dalam hati si aku tinggal sekecil kerdipan lilin dalam kegelapan di tempat sunyi. Jadi, tidak cukup hanya dengan memberikan penerangan saja, dikarenakan si aku “hilang bentuk” dan “remuk” yang diartikan bahwa si aku dalam puncak kemalangan, seolah-olah tidak lagi mempunyai bentuk, dirinya remuk, tidak dapat berbuat apa-apa lagi, bahkan tidak lagi merasa hidup. Penderitaannya tidak lagi dapat diceritakan karena hebatnya, sampai puncaknya.
Dalam puisi Chairil Anwar tersebut, si aku dalam kehidupannya merasa bahwa ia bagaikan mengembara di negeri asing, kebingungan tidak mengerti arah, tidak mempunyai teman, sendirian, sebatang kara, tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Sehingga, satu-satunya teman dan penyelamatnya adalah Tuhan, tidak ada yang lain. Maka, si aku mengetuk rumah Tuhan yang pengartiannya yakni si aku menghadap Tuhan dan tidak dapat berpaling kembali, tidak dapat meninggalkan kelimpahan yang diberikan Tuhan kembali.
Dari penafsiran secara parafrase tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata, baris sajak, ataupun kalimat yang terdapat dalam puisi “Doa” dapat diartikan atau ditafsirkan secara bermacam-macam, dan penafsiran tersebut saling melengkapi. Sehingga, kata-kata, frase, ataupun kalimat-kalimat dalam sajak tersebut bersifat ambigu atau polyinterpretable yakni dapat ditafsirkan banyak. Hal tersebut terjadi karena Chairil Anwar dalam sajak tersebut menggunakan displacing atau penggantian arti dan distorting atau penyimpangan arti kata yang menciptakan ketidaklangsungan ucapan. Displacing disini disebabkan oleh penggunaan majas metafora, sedang distorting disebabkan oleh penggunaan kalimat, frase, dan kata-kata yang ambigu. Dalam puisi “Doa” tersebut, Chairil Anwar mengemukakan pengertian dengan citra-citra, bahkan dengan lukisan yang berupa kata atau rangkaian kata yang artinya tidak hanya denotatif atau menunjukkan satu hal, namun asosiatif yakni mengandung bermacam-macam hal.
Secara semiotik, Amir Hamzah dalam puisinya menggambarkan antara aku dengan engkau sebagai hubungan antara sepasang kekasih. Hal tersebut terlihat pada kata-kata mesra yang terdapat dalam sajak tersebut, yakni: aku, engkau, cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa, kasihmu, menunggu seorang diri. Sehingga, secara struktural, ketika si aku mempunyai kekasih baru, maka “si dara di balik tirai” itu cemburu dan ganas (bait 5) dan sebagai seekor singa yang memangsa si aku dengan cakarya untuk permainan artinya si engkau mengharapkan si aku untuk mencintainya saja. Akibatnya, cinta si aku kepada kekasih barunya jadi “habis kikis” (bait 1) dan si aku pulang kembali kepada si engkau seperti semula. Walaupun si aku marah dan jengkel (“nanar aku gila sasar”), ia tetap kembali kepada si engkau yang masih tetap menunggunya dengan penuh kasih, sunyi seorang diri.
Puisi “Padamu Jua” menggunakan sajak yang konkret, hal tersebut tampak dalam penggunaan kosa kata yang memperjelas, dipilih kata-kata yang biasa dalam pemakaian sehari-hari, merupakan kata-kata perbendaharaan dasar sehingga menjadi abadi, dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya.
Unsur-unsur ketabahasaan yang digunakan dalam sajak Amir Hamzah tersebut bertujuan untuk ekspresivitas, membuat hidup, dan liris karena kepadatan dan kesejajaran atau keselarasan bunyi dan arti meski sering menyimpang dari kaidah tata bahasa normatif, seperti pada kata-kata: habis kikis (habis terkikis), hilang terbang, rindu rasa (merindukan rasa), rindu rupa (merindukan rupa), (bertukar) tangkap dengan lepas, gila sasar (gila penasaran), lalu waktu (waktu berlalu), mati hari (hari yang mati), menari ingin (menarik keinginan), aku manusia (aku adalah manusia), rupa tiada (tiada berupa), suara sayup (hanya suara yang sayup-sayup), engkau cemburu, engkau ganas, mangsa aku (memangsa aku). Kombinasi-kombinasi tersebut merupakan inversi yang membuat hidup dan liris serta menjadikan padat dan membuat lebih ekspresif. Sehingga, kepuitisan bahasa dalam “Padamu Jua” sangat kompleks, jalin menjalin membentuk jaringan efek yang kaya, memberikan gambaran hidup yang jelas.




Pada puisi Chairil Anwar, secara semiotik dikontraskan bunyi vokal u yang dominan dengan bunyi i yang juga berturut-turut. Bunyi u ini memberikan tanda kekhusukan dan kesungguh-sungguhan, sedang dalam kekhusukan itu tersermin rasa terasingkan dan keterpencilan si aku, terlihat pada:
cayaMu … suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
aku mengembara di negeri asing
aku tidak bisa berpaling
Dalam sajak “Doa” tampak adanya pertentangan-pertentangan, seperti antara keraguan dan kepercayaan. Hal ini secara semiotik tergambar dalam penggunaan bahasanya, yakni pemilihan kata serta bunyinya. Hal ini tampak jelas pertentangan suasana dan arti dalam bait kedua menyatakan kepenuhan Tuhan dipertentangkan dengan bait ketiga yang mengandung arti dan suasana kecil, yakni:
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Dipertentangkan dengan:
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Persejajaran bentuk pun (pilihan kata dan bunyi) untuk mempertentangan arti dan suasana:
Aku hilang bentuk
remuk
aku mengembara di negeri asing
Dipertentangkan dengan:
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Karena “aku hilang bentuk-remuk” maka “aku mengetuk” pintu Tuhan; dan karena “aku di negeri asing” maka “aku tidak bisa berpaling” dari Tuhan.
Dalam sajak “Padamu Jua”, dalam pengartiannya si “Aku” yang tidak lagi mencintai dunianya pasti akan kepada Tuhan meskipun pada awalnya ia merasa dipermainkan oleh Tuhan, hingga akhirnya ia tak mau lagi berpaling dari Tuhan yang selalu menanti si aku dengan setia.
Sama halnya dengan sajak “Padamu Jua”, sajak “Doa” dalam pengartiannya juga mengandung makna ketuhanan yakni dalam sajak “Doa” dalam pengertiannya si “Aku” diceritakan bahwa ia sedang merasa terasingkan dan kebingungan meskipun awalnya ia termangu, sehingga akhirnya ia akan datang kepada-Nya karena Dia-lah tempatnya mengadu dan setelah itu si aku tidak akan bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah menggambarkan Tuhan dengan menggunakan kata “Engkau” sebagai “kandil  kemerlap”, kandil disini merupakan kata lain dari lilin. Ini juga terlihat dalam sajak Chairil Anwar dimana ia menggambarkan Tuhan sebagai “kerlip lilin di kelam sunyi”.
Dalam sajak Amir Hamzah si aku ragu-ragu akan keberadaan Tuhan karena tidak dapat mengangkap wujud-Nya, hal ini terlihat dalam bait ketiga dan keempat, yakni:
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana Engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Dalam sajak Amir Hamzah ini, si aku bahkan merasa dipermainkan oleh Tuhan, hal ini terlihat dalam bait kelima, yakni:
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Ketidakpercayaan si aku dalam sajak Amir Hamzah dirubah oleh Chairil Anwar menjadi kebalikannya, dalam sajak Chairil Anwar si aku merupakan orang yang percaya akan adanya Tuhan. Perbedaan tersebut dapat terlihat dalam:
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Selain perbedaan dalam kedua sajak, terdapat pula kesamaan diantara keduanya yakni sajak penderitaan dalam kedua puisi tersebut. Sajak-sajak penderitaan dalam bait ketiga, keempat, dan kelima karya Amir Hamzah tersebut dirubah oleh Chairil Anwar dalam puisinya “Doa”, yakni terlihat pada:
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
 Meskipun si aku dalam sajak Amir Hamzah tidak mempercayai akan Tuhan, pada akhirnya si aku kembali juga kepada Tuhan yang dalam sajak “Padamu Jua” tersebut diibaratkan sebagai kekasih, hal ini terlihat pada bait keenam dan dua baris pada bait ketujuh, yakni:
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Kembalinya si aku dalam sajak Amir Hamzah kemudian dirubah oleh Chairil Anwar dalam sajaknya “Doa” pada:
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Sekalipun terdapat kesamaan ide yang terdapat dalam sajak Amir Hamzah dan Chairil Anwar, namun pada pengekspresiaannya berbeda sehingga menjadikan hasil sajak yang berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penggambaran wujud Tuhan.
Amir Hamzah menggambarkan wujud Tuhan sebagai kekasih. Tuhan diwujudkan sebagai menusia: kekasih, gadis. Dengan demikian, kiasan-kiasannya bersifat personifikasi (mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuar dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia sehingga membuat hidup menggambaran dan memberikan kejelasan dan memberikan bayangan angan yang konkret) dan romantis, hal ini terlihat dalam:
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri.
Amir Hamzah mengungkapkan wujud Tuhan seperti halnya berbentuk wadag, terlihat pada:
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Amir Hamzah juga menggambarkan wujud Tuhan sebagai gadis yang pencemburu dan ganas, terlihat pada:
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas



Dalam sajak Amir Hamzah yang lain, ia juga menggambarkan Tuhan menjadi wujud yang lain, seperti pada sajak “Hanya Satu” dimana Amir Hamzah menggambarkan Tuhan sebagai binatang buas, yakni harimau atau garuda. Di dalam sajak tersebut Amir Hamzah juga menginginkan pertemuan dengan Tuhan sama seperti nabi Musa, hal tersebut terlihat dalam lirik:
Hanya satu kutunggu hasrat
serupa musa di puncak tursina
Menggambaran Amir Hamzah tersebut berbeda dengan penggambaran wujud Tuhan menurut konsepsi Chairil Anwar. Chairil Anwar menggambarkan antara Aku dan Tuhan tersebut ada jarak. Kekuasaan Tuhan itu mutlak, sehingga ada hamba da nada Tuhan. Sehingga, Chairil Anwar tidak menggambarkan wujud Tuhan sebagai manusia, melainkan wujud asli Tuhan yang memancarkan cahaya panas untuk menerangi hati manusia, hal ini terlihat pada:
Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Seperti halnya Amir Hamzah, sajak-sajak Chairil Anwar yang lain juga menggambarkan wujud kekuasaan Tuhan sama seperti penggambarannya pada sajak “Doa”, dalam sajaknya “Di Mesjid” yakni pada lirik:
Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda.
Sehingga, Chairil Anwar mengungkapkan betapa mahakuasanya Tuhan dalam sajak-sajaknya, seperti api yang berkobar menyala-nyala yang membuat sia-sia si aku untu memadamkannya karena tidak mungkin. Manusia tidak dapat berbuat lain kecuali hanya berserah diri dan mengadukan nasibnya sebab hanya Dia (Tuhan) yang merupakan tumpuan keluh dan tangis manusia, dalam sajak “Doa” hal ini diperlihatkan pada lirik:

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing.
Dalam pengekspresiannya, Chairil Anwar menggunakan gaya imagisme, yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau imaji-imaji.
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
aku mengembara di negeri asing
Sehingga, kata-kata dan kalimat yang digunakan oleh Chairil Anwar adalah ambigu, yakni bermakna ganda.
Amir Hamzah juga menggunakan citra-cira, namun tidak untuk mengungkapkan pengertian, melainkan untuk mengkonkretkan tanggapan.
Kaulah kandip kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas.
Dalam lirik-lirik tersebut terlihat dengan jelas bahwa kata-kata dan kalimat yang digunakan oleh Amir Hamzah tidaklah ambigu seperti yang digunakan Chairil Anwar, melainkan mendekati diafan atau kepolosan.


Simpulan
Prinsip interkstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna pada sebuah teks sastra (sajak) mengingat seorang sastrawan selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Sehingga, dalam menanggapi teks tersebut penyair memiliki pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semua hal tersebut ditentukan oleh pengetahuan yang didapat dan tidak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta situasi zamannya. Prinsip intertekstualitas ini menempatkan para penyair ditengah-tengah arus sastranya maupun sastra dunia yang bersifat universal.
Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstualitas antara suatu karya sastra dengan karya lain, baik antara karya sezaman maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Pada beberapa sajak Chairil Anwar yang mempunyai hubungan intertekstualitas dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstualitas tersebut menunjukkan adanya kesamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan.
Chairil Anwar dan Amir Hamzah sendiri merupakan seorang penyair yang sajak-sajaknya merupakan puncak-puncak puisi Indonesia modern. Keduanya merupakan penyair yang sajak-sajaknya serat akan struktur dan ekspresi, sehingga sajak-sajak dari kedua penyair ini tidak pernah lepas untuk dipilih menjadi bahan analalisis struktural dan semiotik. Analisis tersebut bertujuan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam sajak tersebut. Analisis struktural dan semiotik inilah yang memunculkan adanya analisis secara intertekstualitas, yang bertujuan untuk mendapatkan makna sajak sepenuhnya dengan cara melihat hubungan antarteksnya dengan sajak-sajak yang terbit sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antarteks dengannya. Terdapat beberapa sajak Chairil Anwar dan Amir Hamzah yang mempunyai hubungan intertekstualitas, misalnya antara sajak “Doa” oleh Chairil Anwar dengan sajak “Padamu Jua” oleh Amir Hamzah.
Secara intertekstualitas sajak “Doa” karya Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan pertalian dengan sajak “Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Ada sebuah ide dan ungkapan yang Chairil Anwar yang dapat dikembangkan dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Ide atau tema yang diangkat oleh kedua sajak tersebut, yakni ketuhanan. Persamaan dari kedua sajak ini yang lain adalah sama-sama menggunakan akulirik dengan menggunakan objek Tuhan. Meskipun ide tersebut terdapat perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap larik yang terdapat dalam sajak menunjukkan kekhasan masing-masing dalam menghadapi masalah yang dihadapi dalam kedua sajak tersebut.
Perbedaan antara sajak “Doa” oleh Chairil Anwar dan sajak “Padamu Jua” oleh Amir Hamzah terlihat pada penggambaran perwujudan Tuhan, Chairil Anwar mewujudkan Tuhan secara langsung, sedangkan Amir Hamzah mewujudkan Tuhan sebagai seorang gadis atau kekasih. Perbedaan yang lain yang terdapat dalam kedua sajak ini yaitu penggunaan kata-kata dan kalimat yang terdapat di dalamnya, Chairil Anwar menggunakan kata-kata yang ambigu, mempuyai banyak tafsiran, sedangkan Amir Hamzah menggunakan kata diafan atau kepolosan, menggunakan bahasa yang sederhana.

Referensi
Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan.
Hamzah, Amir. 1935. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Cetakan Ketigabelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana Uuniversity Press.
Waluyo, Herman J. 1897. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
_______________. 2003. Apresiasi Puisi. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



Puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah
Doa

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku kehilangan bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

(Deru Campur Debu, Chairil Anwar)





Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku…..



(Nyanyi Sunyi, Amir Hamzah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar