AKU DAN TUHAN:
“DIALEKTIKA MAKNA TUHAN DALAM SAJAK CHAIRIL ANWAR DAN AMIR HAMZAH”
Alfa
Sayyidah
Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstualitas antara satu
karya dengan karya yang lain banyak terjadi, salah satunya ialah hubungan
intertekstualitas yang terdapat pada sajak-sajak Chairil Anwar dan Amir Hamzah.
Hubungan intertekstualitas antara keduanya menunjukkan adanya persamaan dan
pertentangan dalam konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan. Sajak
“Doa” oleh Chairil Anwar dan “Padamu Jua” memiliki ide atau tema yang sama,
yakni ketuhanan dan juga sama-sama menggunakan akulirik. Persamaan antara kedua
sajak tersebut terlihat pada penggambaran lirik penderitaan yang terdapat
didalamnya, sedangkan perbedaan antara keduanya terlihat pada penggambaran
perwujudan Tuhan, penggunaan kata-kata dan kalimat yang terdapat di dalamnya
(Chairil Anwar menggunakan kata yang ambigu, Amir Hamzah menggunakan kata
diafan).
Kata kunci: puisi, intertekstualitas, sajak, Chairil
Anwar, Amir Hamzah, Doa,
Padamu Jua, ketuhanan
Padamu Jua, ketuhanan
Pendahuluan
Puisi sejatinya adalah bentuk
karya sastra yang paling tua. Sejak kelahirannya, puisi selalu menunjukkan
ciri-ciri khas yang telah berkembang dari tahun ke tahun. Definisi mengenai
puisi sendiri sangat sulit untuk diberikan. Untuk memahami puisi biasanya diberikan
ciri-ciri karakteristik puisi dan unsur-unsur yang membedakan puisi dari karya
sastra yang lainnya. Dari segi bentuk
fisik yang terlihat dalam karya tulis, puisi sudah menunjukkan perbedaan dari
prosa dan drama. Dari segi bentuk pengucapan batinnya, puisi juga berbeda dari
prosa dan drama. Ada saat-saat tertentu yang memungkinkan ketepatan pengucapan
batin dengan puisi, ada saat lain yang menuntut hanya dapat diungkapkan dengan ujud
prosa dan drama, namun pikiran dan perasaan lainnya hanya dapat diungkapkan
dalam ujud puisi.
Bentuk karya sastra puisi
dikonsep oleh penulis atau penciptanya sebagai puisi bukan bentuk prosa yang
kemudian dipuisikan. Konsep pemikiran pencipta sesuai dengan bentuk yang
terungkapkan dalam puisi tersebut. Sejak di dalam konsepnya, seorang penyair
telah mengkonsentrasikan segala kekuatan bahasa dan mengkonsentrasikan
gagasannya untuk melahirkan sebuah puisi. Penyair tidak memulai membuat puisi
dengan menggunakan konsep prosa. Sehingga, seorang penyair belum tentu mampu
menjadi pengarang prosa, dan sebaliknya pengarang prosa belum tentu mampu
menjadi penyair.
Puisi adalah karya sastra
dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang
padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul terpilih agar
memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat padat, namun berkekuatan. Karena
itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan
bunyi (rima). Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak.
Karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat
bergaya dengan bahasa figuratif
(Waluyo: 2003, 1).
(Waluyo: 2003, 1).
Dilihat dari pengertian puisi
menurut Herman J. Waluyo tersebut dapat terlihat bahwa puisi merupakan sebuah
karya seni yang dapat dikaji dari berbagai macam aspek. Puisi dapat dikaji
struktur dan unsur-unsurnya karena puisi tersusun dari bermacam-macam unsur-unsur
dan sarana-sarana kepuitisan, jenis-jenis atau ragam-ragamnya karena terdapat
berbagai jenis dan ragam puisi, sudut kesejarahannya karena sepanjang
sejarahnya puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Riffaterre dalam
bukunya Semiotics of Poetry yang
ditulis pada tahun 1978 menyatakan, bahwa puisi selalu berubah-ubah sesuai
dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya.
Karya sastra tidak begitu saja
lahir, melainkan sebelumnya telah ada karya sastra lain, yang tercipta
berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan. Sehingga,
karya sastra selalu meneruskan konvensi yang telah ada atau menyimpanginya
meskipun tidak secara menyeluruh. Puisi sebagai salah satu karya sastra yang
kreatif menghendaki adanya pembaruan, namun tidak meninggalkan puisi
terdahulunya sebab apabila terlalu menyimpang dari konvensi, maka hasil ciptaan
tersebut tidak akan dikenal atau tidak dimengerti oleh masyarakatnya. Konvensi
sastra yang disimpangi atau diteruskan, dapat berupa konvensi bentuk formalnya
ataupun isi pikiran, masalah, dan tema yang terkadung didalamnya.
Oleh karena itu, maka penyair
selalu berusaha menciptakan kebaruan, namun tidak meninggalkan sama sekali
konvensi sajak yang telah ada. Dengan demikian, dalam memahami sajak perlu
dilihat atau ditinjau hubungan kesejarahan sajak dengan karya sastra pada
umumnya. Konteks kesejarahan sajak tersebut diperlukan prinsip intertekstualitas,
yaitu hubungan satu teks dengan teks yang lain. Berdasarkan prinsip tersebut,
sajak baru bermakna penuh dengan hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal
persamaannya atau pertentangannya.
Prinsip interkstualitas
merupakan salah satu sarana pemberian makna pada sebuah teks sastra (sajak)
mengingat seorang sastrawan selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis
sebelumnya. Sehingga, dalam menanggapi teks tersebut penyair memiliki
pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan
oleh horizon harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik, dan pengetahuan
tentang sastra yang dimilikinya. Semua hal tersebut ditentukan oleh pengetahuan
yang didapat dan tidak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta
situasi zamannya. Prinsip intertekstualitas ini menempatkan para penyair
ditengah-tengah arus sastranya maupun sastra dunia yang bersifat universal.
Dalam kesusastraan Indonesia,
hubungan intertekstualitas antara suatu karya sastra dengan karya lain, baik
antara karya sezaman maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya dapat
dilihat antar karya-karya Pujangga Baru, antar karya-karya Pujangga Baru dengan
karya-karya Angkatan 45, ataupun dengan karya yang lain. Maka, untuk memahami
dan mendapatkan makna penuh sebuah sajak perlu dilihat hubungan
intertekstualitas tersebut. Misalnya, pada beberapa sajak Chairil Anwar yang
mempunyai hubungan intertekstualitas dengan sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan
intertekstualitas tersebut menunjukkan adanya kesamaan dan pertentangan dalam
hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan.
Chairil Anwar yang lahir pada
tanggal 26 Juli tahun 1922 di Medan dan Amir Hamzah yang lair pada 28 tanggal Februari
tahun 1911 di Lanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, sendiri merupakan seorang
penyair yang sajak-sajaknya merupakan puncak-puncak puisi Indonesia modern.
Keduanya merupakan penyair yang sajak-sajaknya serat akan struktur dan
ekspresi, sehingga sajak-sajak dari kedua penyair ini tidak pernah lepas untuk
dipilih menjadi bahan analalisis struktural dan semiotik. Analisis tersebut
bertujuan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam sajak tersebut.
Analisis struktural dan semiotik inilah yang memunculkan adanya analisis secara
intertekstualitas, yang bertujuan untuk mendapatkan makna sajak sepenuhnya
dengan cara melihat hubungan antarteksnya dengan sajak-sajak yang terbit
sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antarteks dengannya. Sajak-sajak Chairil
Anwar yang meninggal pada tanggal 28 April tahun 1949 (yang kini diperingati
sebagai Hari Sastra di Indonesia) terdapat
hubungan intertestualitas dengan sajak-sajak Amir Hamzah yang meninggal pada
tanggal 20 Maret tahun 1956, misalnya antara sajak “Doa” oleh Chairil Anwar
dengan sajak “Padamu Jua” oleh Amir Hamzah.
Pembahasan
Secara intertekstualitas sajak
“Doa” karya Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan pertalian dengan
sajak “Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Ada sebuah ide atau tema dan ungkapan
yang Chairil Anwar yang dapat dikembangkan dalam sajak Amir Hamzah tersebut.
Meskipun ide tersebut terdapat perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap larik yang
terdapat dalam sajak menunjukkan kekhasan masing-masing dalam menghadapi
masalah yang dihadapi dalam kedua sajak tersebut.
Sajak “Padamu Jua” oleh Amir Hamzah
dapat dianalisis secara parafrase bahwa cinta si aku kepada kekasih barunya
telah habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang seperti burung yang lepas.
Sehingga, si aku kembali kepada kekasihnya yang lama seperti dahulu seperti
sebelum ia mendapatkan kekasih yang baru. Kata “pulang” yang terdapat dalam
bait pertama memberikan penggambaran bahwa si aku kembali dari pengembaraan
mencari cinta yang lain karena kekasih lamanya masih menunggu.
Kekasih lama si aku sangat
menarik bagaikan lilin yang menyala gemerlapan, menerangi hati si aku, seperti
sebuah pelita di jendela yang memberikan penerangan di malam yang gelap,
sehingga menandakan bahwa di rumahnya ada penerangan dengan kesabaran dan
kesetiaan kekasih lama tersebut memanggil si aku.
Si aku menyatakan kepada
kekasih lamanya itu bahwa ia ia adalah manusia yang wajar yang terdiri dari
tulang, daging, dan darah, dan dilengkapi dengan panca indera, sehingga ia
merindukan rasa yang dapat diraba, diindera, merindukan rupa atau wujud yang
dapat dilihat dengan mata kepala. Sedangkan si “engkau” yang diibaratkan
sebagai kekasih dalam puisi tersebut tidak mempunyai wujud, gaib dari
pengelihatan, sehingga “engkau” dalam puisi Amir Hamzah tersebut merupakan
perumpamaan dari wujud Tuhan. Sehingga, lirik “kata yang merangkai hati” dalam
sajak tersebut berartikan nama Tuhan ataupun kata-kata Tuhan.
Dalam puisi Amir Hamzah
tersebut, diterangkan bahwa si engkau memisahkan si aku dengan kekasihnya yang
baru. Si aku dipermainkan oleh si engkau dengan berulang-ulang bergantian
ditangkap dan dilepaskan, sehingga membuat si aku menjadi seperti orang gila.
Namun, rasa cinta si aku tetap kembali kepada engkau, kekasih lamanya,
dikarenakan si engkau begitu pelik, penuh kerahasiaan, selalu menarik keinginan
si aku seperti seorang gadis yang berada di balik tirai yang menimbulkan
keinginan untuk melihatnya, untuk mengenalnya dengan jelas.
Dalam sajak “Padamu Jua”
tersebut, cinta kasih si engkau begitu sunyi, menunggu kedatangan si aku
seorang diri dengan sabar. Namun, sekalipun si aku sangat ingin bertemu dengan
si engkau, ia tidak dapat menemuinya karena si engkau bukanlah kekasih dunia,
tidak dapat ditemui dengan badan jasmaniyah. Hal ini dikarenakan kekasihnya
adalah Tuhan, si aku beranggapan bahwa orang yang dapat menemui Tuhan adalah
orang yang sudah meninggal. Si aku tidak dapat menemui Tuhan sekalipun ia
sangat ingin, karena ia masih hidup.
Dalam pusisi Amir Hamzah
tersebut, Tuhan diwujudkan sebagai manusia, dikiaskan menjadi seorang gadis,
sebagai kekasih merupakan salah satu cata untuk membuat phatos, yaitu menimbulkan simpati dan emphati kepada pembaca
sehingga ia bersatu dengan objeknya.
Sedangkan sajak “Doa” oleh
Chairil Anwar dapat dianalisis secara parfrase bahwa sajak ini dibuka dengan
kalimat keragu-raguan, yakni dalam termangu, dalam keragu-raguan, antara
percaya atau tidak, atau antara perlu dan tidaknya menghadap Tuhan, si aku
masih menyebut-nyebut nama Tuhan, masih mengingat akan Tuhan, atau si aku
berdoa kepada Tuhan untuk mengadukan nasibnya yang malang dimana berdoa
merupakan memuji dan mengagungkan nama Tuhan, juga mengadukan nasib kepada
Tuhan.
Bagi si aku yang terdapat
dalam puisi Chairil Anwar tersebut, berdoa atau menyebut-nyebut nama Tuhan
merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan, dikarenakan si aku masih
termangu atau ragu-ragu akan perlunya menghadap Tuhan. Si aku masih
bertanya-tanya, perlukah ia menghadap Tuhan atau adakah guna baginya untuk
menghadap Tuhan. Keragu-raguan itu akhirnya tetap membuat si aku dalam sajak
Chairil Anwar kembali kepada Tuhan. Hal ini terlihat pada lirik “Kau penuh
seluruh”, “Kau” yang berartikan Tuhan, sedang “penuh seluruh” dapat diartikan
sebagai sungguh ada. Efek kebulatan dalam sajak ini diperkuat oleh bunyi vokal
u yang berulang dan diintensifkan dengan bunyi h untuk menutup kata, “penuh seluruh”.
Bagi si aku dalam sajak “Doa”
tersebut, dalam ketermanguannya cahaya Tuhan yang panas suci, yang memancar
dengan penuh kesucian menerangi hati manusia dalam kegelapan, yang memanaskan
orang yang kedinginan (kiasan orang yang menderita), kini dalam hati si aku
tinggal sekecil kerdipan lilin dalam kegelapan di tempat sunyi. Jadi, tidak
cukup hanya dengan memberikan penerangan saja, dikarenakan si aku “hilang
bentuk” dan “remuk” yang diartikan bahwa si aku dalam puncak kemalangan,
seolah-olah tidak lagi mempunyai bentuk, dirinya remuk, tidak dapat berbuat
apa-apa lagi, bahkan tidak lagi merasa hidup. Penderitaannya tidak lagi dapat
diceritakan karena hebatnya, sampai puncaknya.
Dalam puisi Chairil Anwar
tersebut, si aku dalam kehidupannya merasa bahwa ia bagaikan mengembara di
negeri asing, kebingungan tidak mengerti arah, tidak mempunyai teman,
sendirian, sebatang kara, tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Sehingga,
satu-satunya teman dan penyelamatnya adalah Tuhan, tidak ada yang lain. Maka,
si aku mengetuk rumah Tuhan yang pengartiannya yakni si aku menghadap Tuhan dan
tidak dapat berpaling kembali, tidak dapat meninggalkan kelimpahan yang
diberikan Tuhan kembali.
Dari penafsiran secara
parafrase tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata, baris sajak, ataupun
kalimat yang terdapat dalam puisi “Doa” dapat diartikan atau ditafsirkan secara
bermacam-macam, dan penafsiran tersebut saling melengkapi. Sehingga, kata-kata,
frase, ataupun kalimat-kalimat dalam sajak tersebut bersifat ambigu atau polyinterpretable yakni dapat
ditafsirkan banyak. Hal tersebut terjadi karena Chairil Anwar dalam sajak
tersebut menggunakan displacing atau
penggantian arti dan distorting atau
penyimpangan arti kata yang menciptakan ketidaklangsungan ucapan. Displacing disini disebabkan oleh
penggunaan majas metafora, sedang distorting
disebabkan oleh penggunaan kalimat, frase, dan kata-kata yang ambigu. Dalam
puisi “Doa” tersebut, Chairil Anwar mengemukakan pengertian dengan citra-citra,
bahkan dengan lukisan yang berupa kata atau rangkaian kata yang artinya tidak
hanya denotatif atau menunjukkan satu hal, namun asosiatif yakni mengandung
bermacam-macam hal.
Secara semiotik, Amir Hamzah
dalam puisinya menggambarkan antara aku dengan engkau sebagai hubungan antara
sepasang kekasih. Hal tersebut terlihat pada kata-kata mesra yang terdapat
dalam sajak tersebut, yakni: aku, engkau, cintaku, padamu, kau, melambai
pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa, kasihmu,
menunggu seorang diri. Sehingga, secara struktural, ketika si aku mempunyai
kekasih baru, maka “si dara di balik tirai” itu cemburu dan ganas (bait 5) dan
sebagai seekor singa yang memangsa si aku dengan cakarya untuk permainan
artinya si engkau mengharapkan si aku untuk mencintainya saja. Akibatnya, cinta
si aku kepada kekasih barunya jadi “habis kikis” (bait 1) dan si aku pulang
kembali kepada si engkau seperti semula. Walaupun si aku marah dan jengkel
(“nanar aku gila sasar”), ia tetap kembali kepada si engkau yang masih tetap
menunggunya dengan penuh kasih, sunyi seorang diri.
Puisi “Padamu Jua” menggunakan
sajak yang konkret, hal tersebut tampak dalam penggunaan kosa kata yang
memperjelas, dipilih kata-kata yang biasa dalam pemakaian sehari-hari,
merupakan kata-kata perbendaharaan dasar sehingga menjadi abadi, dalam arti
dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya.
Unsur-unsur ketabahasaan yang
digunakan dalam sajak Amir Hamzah tersebut bertujuan untuk ekspresivitas,
membuat hidup, dan liris karena kepadatan dan kesejajaran atau keselarasan
bunyi dan arti meski sering menyimpang dari kaidah tata bahasa normatif,
seperti pada kata-kata: habis kikis (habis terkikis), hilang terbang, rindu
rasa (merindukan rasa), rindu rupa (merindukan rupa), (bertukar) tangkap dengan
lepas, gila sasar (gila penasaran), lalu waktu (waktu berlalu), mati hari (hari
yang mati), menari ingin (menarik keinginan), aku manusia (aku adalah manusia),
rupa tiada (tiada berupa), suara sayup (hanya suara yang sayup-sayup), engkau
cemburu, engkau ganas, mangsa aku (memangsa aku). Kombinasi-kombinasi tersebut
merupakan inversi yang membuat hidup dan liris serta menjadikan padat dan
membuat lebih ekspresif. Sehingga, kepuitisan bahasa dalam “Padamu Jua” sangat
kompleks, jalin menjalin membentuk jaringan efek yang kaya, memberikan gambaran
hidup yang jelas.
Pada puisi Chairil Anwar,
secara semiotik dikontraskan bunyi vokal u yang dominan dengan bunyi i yang
juga berturut-turut. Bunyi u ini memberikan tanda kekhusukan dan
kesungguh-sungguhan, sedang dalam kekhusukan itu tersermin rasa terasingkan dan
keterpencilan si aku, terlihat pada:
cayaMu …
suci
tinggal
kerdip lilin di kelam sunyi
aku
mengembara di negeri asing
aku tidak bisa berpaling
Dalam sajak “Doa” tampak
adanya pertentangan-pertentangan, seperti antara keraguan dan kepercayaan. Hal
ini secara semiotik tergambar dalam penggunaan bahasanya, yakni pemilihan kata
serta bunyinya. Hal ini tampak jelas pertentangan suasana dan arti dalam bait
kedua menyatakan kepenuhan Tuhan dipertentangkan dengan bait ketiga yang
mengandung arti dan suasana kecil, yakni:
Biar susah
sungguh
mengingat
Kau penuh seluruh
Dipertentangkan dengan:
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Persejajaran bentuk pun (pilihan
kata dan bunyi) untuk mempertentangan arti dan suasana:
Aku hilang
bentuk
remuk
…
aku
mengembara di negeri asing
Dipertentangkan dengan:
di pintuMu
aku mengetuk
aku tidak
bisa berpaling
Karena “aku hilang
bentuk-remuk” maka “aku mengetuk” pintu Tuhan; dan karena “aku di negeri asing”
maka “aku tidak bisa berpaling” dari Tuhan.
Dalam sajak “Padamu Jua”,
dalam pengartiannya si “Aku” yang tidak lagi mencintai dunianya pasti akan
kepada Tuhan meskipun pada awalnya ia merasa dipermainkan oleh Tuhan, hingga
akhirnya ia tak mau lagi berpaling dari Tuhan yang selalu menanti si aku dengan
setia.
Sama halnya dengan sajak
“Padamu Jua”, sajak “Doa” dalam pengartiannya juga mengandung makna ketuhanan
yakni dalam sajak “Doa” dalam pengertiannya si “Aku” diceritakan bahwa ia
sedang merasa terasingkan dan kebingungan meskipun awalnya ia termangu,
sehingga akhirnya ia akan datang kepada-Nya karena Dia-lah tempatnya mengadu
dan setelah itu si aku tidak akan bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah menggambarkan
Tuhan dengan menggunakan kata “Engkau” sebagai “kandil kemerlap”, kandil disini merupakan kata lain
dari lilin. Ini juga terlihat dalam sajak Chairil Anwar dimana ia menggambarkan
Tuhan sebagai “kerlip lilin di kelam sunyi”.
Dalam sajak Amir Hamzah si aku
ragu-ragu akan keberadaan Tuhan karena tidak dapat mengangkap wujud-Nya, hal
ini terlihat dalam bait ketiga dan keempat, yakni:
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana
Engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Dalam sajak Amir Hamzah ini,
si aku bahkan merasa dipermainkan oleh Tuhan, hal ini terlihat dalam bait
kelima, yakni:
Engkau
cemburu
Engkau
ganas
Mangsa aku
dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Ketidakpercayaan si aku dalam
sajak Amir Hamzah dirubah oleh Chairil Anwar menjadi kebalikannya, dalam sajak
Chairil Anwar si aku merupakan orang yang percaya akan adanya Tuhan. Perbedaan
tersebut dapat terlihat dalam:
Tuhanku
Dalam
termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Selain perbedaan dalam kedua
sajak, terdapat pula kesamaan diantara keduanya yakni sajak penderitaan dalam
kedua puisi tersebut. Sajak-sajak penderitaan dalam bait ketiga, keempat, dan
kelima karya Amir Hamzah tersebut dirubah oleh Chairil Anwar dalam puisinya
“Doa”, yakni terlihat pada:
Tuhanku
aku hilang
bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Meskipun si aku dalam sajak Amir Hamzah tidak
mempercayai akan Tuhan, pada akhirnya si aku kembali juga kepada Tuhan yang
dalam sajak “Padamu Jua” tersebut diibaratkan sebagai kekasih, hal ini terlihat
pada bait keenam dan dua baris pada bait ketujuh, yakni:
Nanar aku,
gila sasar
Sayang
berulang padamu jua
Engkau
pelik menarik ingin
Serupa dara
di balik tirai
Kasihmu
sunyi
Menunggu seorang diri
Kembalinya si aku dalam sajak
Amir Hamzah kemudian dirubah oleh Chairil Anwar dalam sajaknya “Doa” pada:
Tuhanku
aku
mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu
mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Sekalipun terdapat kesamaan
ide yang terdapat dalam sajak Amir Hamzah dan Chairil Anwar, namun pada
pengekspresiaannya berbeda sehingga menjadikan hasil sajak yang berbeda. Hal
ini disebabkan karena adanya perbedaan penggambaran wujud Tuhan.
Amir Hamzah menggambarkan
wujud Tuhan sebagai kekasih. Tuhan diwujudkan sebagai menusia: kekasih, gadis.
Dengan demikian, kiasan-kiasannya bersifat personifikasi (mempersamakan benda
dengan manusia, benda-benda mati dibuar dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya
seperti manusia sehingga membuat hidup menggambaran dan memberikan kejelasan
dan memberikan bayangan angan yang konkret) dan romantis, hal ini terlihat
dalam:
Pulang
kembali aku padamu
Seperti
dahulu
…
Kaulah
kandil kemerlap
…
Melambai
pulang perlahan
Sabar,
setia selalu
…
Engkau
pelik menarik ingin
Serupa dara
di balik tirai
Kasihmu
sunyi
Menunggu seorang diri.
Amir Hamzah mengungkapkan
wujud Tuhan seperti halnya berbentuk wadag, terlihat pada:
Satu
kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Amir Hamzah juga menggambarkan
wujud Tuhan sebagai gadis yang pencemburu dan ganas, terlihat pada:
Engkau
cemburu
Engkau
ganas
Mangsa aku
dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Dalam sajak Amir Hamzah yang
lain, ia juga menggambarkan Tuhan menjadi wujud yang lain, seperti pada sajak
“Hanya Satu” dimana Amir Hamzah menggambarkan Tuhan sebagai binatang buas,
yakni harimau atau garuda. Di dalam sajak tersebut Amir Hamzah juga
menginginkan pertemuan dengan Tuhan sama seperti nabi Musa, hal tersebut
terlihat dalam lirik:
Hanya satu
kutunggu hasrat
serupa musa di puncak tursina
Menggambaran Amir Hamzah
tersebut berbeda dengan penggambaran wujud Tuhan menurut konsepsi Chairil
Anwar. Chairil Anwar menggambarkan antara Aku dan Tuhan tersebut ada jarak.
Kekuasaan Tuhan itu mutlak, sehingga ada hamba da nada Tuhan. Sehingga, Chairil
Anwar tidak menggambarkan wujud Tuhan sebagai manusia, melainkan wujud asli
Tuhan yang memancarkan cahaya panas untuk menerangi hati manusia, hal ini
terlihat pada:
Caya-Mu
panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Seperti halnya Amir Hamzah,
sajak-sajak Chairil Anwar yang lain juga menggambarkan wujud kekuasaan Tuhan
sama seperti penggambarannya pada sajak “Doa”, dalam sajaknya “Di Mesjid” yakni
pada lirik:
Kuseru saja
Dia
sehingga
datang juga
Kami pun
bermuka-muka
Seterusnya
Ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya
memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda.
Sehingga, Chairil Anwar
mengungkapkan betapa mahakuasanya Tuhan dalam sajak-sajaknya, seperti api yang
berkobar menyala-nyala yang membuat sia-sia si aku untu memadamkannya karena
tidak mungkin. Manusia tidak dapat berbuat lain kecuali hanya berserah diri dan
mengadukan nasibnya sebab hanya Dia (Tuhan) yang merupakan tumpuan keluh dan
tangis manusia, dalam sajak “Doa” hal ini diperlihatkan pada lirik:
Tuhanku
aku hilang
bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing.
Dalam pengekspresiannya,
Chairil Anwar menggunakan gaya imagisme,
yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran,
atau imaji-imaji.
Tuhanku
aku hilang
bentuk
remuk
…
aku mengembara di negeri asing
Sehingga, kata-kata dan
kalimat yang digunakan oleh Chairil Anwar adalah ambigu, yakni bermakna ganda.
Amir Hamzah juga menggunakan
citra-cira, namun tidak untuk mengungkapkan pengertian, melainkan untuk
mengkonkretkan tanggapan.
Kaulah
kandip kemerlap
Pelita
jendela di malam gelap
Melambai
pulang perlahan
Sabar,
setia selalu
…
Engkau
cemburu
Engkau
ganas
Mangsa aku
dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas.
Dalam lirik-lirik tersebut
terlihat dengan jelas bahwa kata-kata dan kalimat yang digunakan oleh Amir
Hamzah tidaklah ambigu seperti yang digunakan Chairil Anwar, melainkan
mendekati diafan atau kepolosan.
Simpulan
Prinsip interkstualitas
merupakan salah satu sarana pemberian makna pada sebuah teks sastra (sajak)
mengingat seorang sastrawan selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis
sebelumnya. Sehingga, dalam menanggapi teks tersebut penyair memiliki
pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan
oleh horizon harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik, dan pengetahuan
tentang sastra yang dimilikinya. Semua hal tersebut ditentukan oleh pengetahuan
yang didapat dan tidak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi
serta situasi zamannya. Prinsip intertekstualitas ini menempatkan para penyair
ditengah-tengah arus sastranya maupun sastra dunia yang bersifat universal.
Dalam kesusastraan Indonesia,
hubungan intertekstualitas antara suatu karya sastra dengan karya lain, baik
antara karya sezaman maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Pada beberapa
sajak Chairil Anwar yang mempunyai hubungan intertekstualitas dengan
sajak-sajak Amir Hamzah. Hubungan intertekstualitas tersebut menunjukkan adanya
kesamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang
berlawanan.
Chairil Anwar dan Amir Hamzah
sendiri merupakan seorang penyair yang sajak-sajaknya merupakan puncak-puncak
puisi Indonesia modern. Keduanya merupakan penyair yang sajak-sajaknya serat
akan struktur dan ekspresi, sehingga sajak-sajak dari kedua penyair ini tidak
pernah lepas untuk dipilih menjadi bahan analalisis struktural dan semiotik.
Analisis tersebut bertujuan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam
sajak tersebut. Analisis struktural dan semiotik inilah yang memunculkan adanya
analisis secara intertekstualitas, yang bertujuan untuk mendapatkan makna sajak
sepenuhnya dengan cara melihat hubungan antarteksnya dengan sajak-sajak yang
terbit sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antarteks dengannya.
Terdapat beberapa sajak Chairil Anwar dan Amir Hamzah yang mempunyai hubungan
intertekstualitas, misalnya antara sajak “Doa” oleh Chairil Anwar dengan sajak
“Padamu Jua” oleh Amir Hamzah.
Secara intertekstualitas sajak
“Doa” karya Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan pertalian dengan
sajak “Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Ada sebuah ide dan ungkapan yang Chairil
Anwar yang dapat dikembangkan dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Ide atau tema
yang diangkat oleh kedua sajak tersebut, yakni ketuhanan. Persamaan dari kedua
sajak ini yang lain adalah sama-sama menggunakan akulirik dengan menggunakan
objek Tuhan. Meskipun ide tersebut terdapat perbedaan yang menyebabkan
tiap-tiap larik yang terdapat dalam sajak menunjukkan kekhasan masing-masing
dalam menghadapi masalah yang dihadapi dalam kedua sajak tersebut.
Perbedaan antara sajak “Doa”
oleh Chairil Anwar dan sajak “Padamu Jua” oleh Amir Hamzah terlihat pada
penggambaran perwujudan Tuhan, Chairil Anwar mewujudkan Tuhan secara langsung,
sedangkan Amir Hamzah mewujudkan Tuhan sebagai seorang gadis atau kekasih.
Perbedaan yang lain yang terdapat dalam kedua sajak ini yaitu penggunaan
kata-kata dan kalimat yang terdapat di dalamnya, Chairil Anwar menggunakan kata-kata
yang ambigu, mempuyai banyak tafsiran, sedangkan Amir Hamzah menggunakan kata
diafan atau kepolosan, menggunakan bahasa yang sederhana.
Referensi
Anwar,
Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta:
Pembangunan.
Hamzah,
Amir. 1935. Nyanyi Sunyi. Jakarta:
Pustaka Rakyat.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Cetakan
Ketigabelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Riffaterre,
Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington
and London: Indiana Uuniversity
Press.
Waluyo,
Herman J. 1897. Teori dan Apresiasi
Puisi. Jakarta: Erlangga.
_______________.
2003. Apresiasi Puisi. Cetakan Kedua.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Puisi
Chairil Anwar dan Amir Hamzah
Doa
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam
sunyi
Tuhanku
aku kehilangan bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Deru Campur Debu, Chairil
Anwar)
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku…..
(Nyanyi Sunyi, Amir Hamzah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar