Senin, 18 Februari 2019

Teori Struktural Semiotik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan struktur yang sangat komplek, sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang dikemukakan Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna.
Munculnya kajian structural-semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik, semiotik juga memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Oleh karena itu, muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda. Konsep dasar dari teori strukturalisme adalah adanya anggapan bahwa didalam dirinya sendiri karya sastra  merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunan yang saling berjalinan. Semiotik sendiri berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan penkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1        Siapa tokoh dalam teori struktural semiotik?
1.2.2        Apa yang dimaksud dengan struktural ?
1.2.3        apa yang dimaksud dengan semiotik ?
1.2.4        apa yang dimaksud struktural semiotik ?

1.3 Tujuan Masalah

1.3.1        Untuk mengetahui siapa saja tokoh pada teori struktural semiotik.
1.3.2        untuk mengertahui pengertian struktural.
1.3.3        untuk mengetahui pengertian semiotik.
1.3.4        untuk mengetahui lebih dalam tentang kajian struktural semiotik.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tokoh Teori Struktural Semiotika

·         Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah:
1.      puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain
2.      pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif)
3.      matriks, model, dan varian
4.      hipogram (Riffatere dalam Salam, 2009:3).
Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain. Hal inilah yang membedakan puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara khusus dalam membawakan maknanya (Faruk, 2012:141).
Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi. Proses dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan heuristik sedangkan pembacaan tahap kedua disebut sebagai pembacaan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama. Kemudian Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya. Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang berhubungan.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara pemerolehannya atau pengembangannya.
Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya.


Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau  alam dan kehidupan yang dialami sastrawan.
Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi dengan kerangka teori Riffaterre adalah “arti” (significance). Karena “arti” itu berpusat pada m”atriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam puisinya sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya tidak dapat ditemukan di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun “pengarang” (Faruk, 2012:147).
·         Teori Ferdinand de Saussure
Saussure seorang ahli linguistik dari Swiss. Saussure meramalkan bahwa akan hadir ilmu tanda yang disebutnya semiologi. Pengaruh Saussure sangat kuat, terutama pada bidang penlitian semiologi-strukturalis. Hal ini disebabkan karena gagasannya bahwa penelitian linguistik dapat menjadi pola semiologi.oleh karena itu, ia dianggap sebagai “bapak” linguistik modern.
Ia mengadakan pembaharuan besar-besaran di bidang linguistik. Pada abad ke-19 penelitian linguistik dilakukan dengan pendekatan diakronis, yaitu bedasarkan sejarah atau perkembangan bahasa. Namun, Saussure berpendapat  bahwa bahasa tidak hanya dapat diteliti secara diakronis, tetapi juga dilakukan dengan pendekatan sinkronis.
Saussure (1969) menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu-tuli, upacara simbolik. Bentuk sopan santun, dan lain-lain. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. jadi, kita dapat menanam benih dri suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah hidup kemasyarakatan; dan akan menjadi bagian dari psikologi umum, akan di namakan semiologi.

2.2 Pengertian Struktural

Karya sastra merupakan sebuah struktur. Struktur disini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hala-hal atau benda-benda yang terdiri sendiri-sendiri melainkan hal-hal itu saling terikat, saling terikat dan saling bergantungan.
Sedangkan strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan atau deskripsi struktur-struktur. Menurut fikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu. Dalam pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa struktural adalah unsur-unsur dan fungsi dalam struktur dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya,bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur.

2.3 Pengertian Semiotika

Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semieon adalah istilah yang digunakan oleh orang Greek untuk merujuk kepada sains yang mengkaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Dari akar kata inilah terbentuk istilah semiotik, yaitu kajian sastra yang bersifat saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang berhubung dengan tanggapan dalam karya.
Teori semiotik tidak terlepas dari kode-kode untuk member makna terhadap tanda yang ada dalam karya sastra. Kode-kode merupakan objek semiotik sebab kode-kode itu merupakan sistem-sistem yang mengatasi dan menguasai pengirim dan penerima tanda atau manusia pada umumnya (Pradopo, 1995: 26).

2.4 Teori Struktural-Semiotik  

 Teori Struktural-Semiotik merupakan penggabungan dua teori strukturalisme dan teori semiotik. Strukturalisme dan semiotik itu berhubungan erat, semiotik itu merupakan perkembangan strukturalisme. Melalui puisi maupun cerita seseorang ingin mencurahkan segala isi hatinya. Isi hati tersebut tidak hanya berupa perasaan, tetapi juga pikiran, sikap, dan harapan penulis terhadap objek yang sedang dihayatinya.
 Dalam struktur itu unsur-unsur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya tetapi maknanya ditentukan oleh saling hubungannya dengan unsur-unsur lainnya dan keseluruhan atau totalitasnya (Hawkes, 1978:17-1 8).
Antara unsur karya sastra itu ada koherensi atau pertautan erat. Unsur-unsur itu tidak otonom, tetapi merupakan bagian dari situasi yang rumit, dan hubungannya dengan bagian lain unsur-unsur itu mendapatkan maknanya. Akan tetapi, analisis berdasarkan teori strukturalisme murni, yaitu hanya menekankan otonom karya sastra, mempunyai keberatan juga. Strukturalisme murni mempunyai kelemahan antara lain:
1. Melepaskan karya sastra dari kerangka sejarah sastra.
2. Mengasingkan karya sastra dari rangka sosial budayanya.
 Hal ini disebabkan analisis struktural itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak memerlukan pertolongan dari luar struktur. Padahal karya sastra itu tidak terlepas dari situasi kesejarahannya dan kerangka sosial. Disamping itu, peranan pembaca dalam pemberi makna dalam interpretasi karya sastra tidak dapat diabaikan.
Maka dari itu menganalisis karya sastra, selain berdasarkan strukturalisme diperlukan juga analisis berdasarkan  teori lain yang sesuai dengan teori ini yaitu teori semiotik. Teori sastra yang memahami karya sastra sebagai tanda yaitu semiotik. Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Karena sastra (karya sastra) merupakan sistem tanda yang lebih tinggi (atas) kedudukannya dari bahasa.
Prinsip kedua daripada pendekatan semiotik menuntut penganalisis memperhatikan hubungan sistem sebuah teks yang dikaji dengan sistem yang ada di luar teks tersebut yaitu segala perkara yang membawa kepada lahirnya teks tersebut. Segala ungkapan atau tanda-tanda yang dicerakinkan dari dalam teks memainkan peranan yang penting bagi kewujudan satu bentuk sistem dalam pembinaan teks tersebut. Maka, prinsip ketiga dalam pendekatan semiotik memberi penghargaan terhadap pengarang dan keperangannya. Ini menjelaskan bahawa terdapat sebab bagi penggunaan setiap ungkapan yang dihasilkan dalam teks kerana segalanya mempunyai pengertiannya yang tersendiri.


BAB III
PENUTUP

Simpulan

 Dalam Teori Struktural-Semiotika ini tidak terlepas dari situasi kesejarahannya dan kerangka sosial. Di samping itu peranan pembaca dalam pemberi makna dalam interpretasi karya sastra tidak dapat diabaikan.Oleh karena itu, maka menganalisis karya sastra, selain berdasarkan strukturalisme diperlukan juga analisis berdasarkan  teori lain yang sesuai dengan teori ini yaitu teori semiotik. Dengan adanya puisi maupun cerita seseorang ingin mencurahkan segala isi hatinya. Isi hati tersebut tidak hanya berupa perasaan, tetapi juga pikiran, sikap, dan harapan penulis terhadap objek yang sedang dihayatinya. Hal ini disebabkan analisis struktural itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak memerlukan pertolongan dari luar struktur. Jadi dalam teori ini memiliki keterkaitan secara utuh.
 Akhirnya perlu dikemukakan bahwa kajian semiotik pada dekade terakhir ini tampak sedang mendapat “pasaran”. Kajian struktural, dipihak lain, seolah-olah menjadi ketinggalan zaman, atau kurang memberikan sumbangan yang berarti. Namun sebenarnya, seperti dikatakan Wahl, perbedaan antara srukturalisme dengan semiotik kabur. Yang jelas, semiotik merupakan perkembangan yang lebih kemudian dari strukturalisme. Selain itu, dalam praktik kajian teks kesastraan, kedua pendekatan tersebut sama-sama muncul, dan yang membedakannya barangkali “hanya” masalah penekanan atau niat peneliti. Oleh karena itu, kajian yang “lebih aman” dapat berupa penggabungan keduanya : struktural-semiotik, baik hanya terhadap satu teks maupun antarteks (kesastraan), seperti yang berupa kajian intertekstual.


Daftar Pustaka

Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa. Jakarta : PT.Rineka Cipta
Okke, Zaimar K.S. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat  Bahasa Departemen Pendidikan.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan Penerapannya. Jakarta :  Pustaka Pelajar.
Santoso, Bambang. 2012. ”Mengenal Semiotika Michael Riffaterre”. https://bambangsantoso.wordpress.com/2012/12/03/mengenal-semiotika-michael-riffaterre/ diakses pada tanggal 3 November 2015 pukul 20.17 WIB.

Wachid, Abdul.2010. Analisis Struktural Semiotik.Yogyakarta: Cinta Buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar