BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan struktur yang sangat komplek, sehingga untuk
memahami sebuah karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut
merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna kepada
teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang dikemukakan
Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda dan sebagai suatu tanda
bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna.
Munculnya kajian structural-semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan
terhadap kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik,
semiotik juga memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Oleh karena
itu, muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan
tanda-tanda. Konsep dasar dari teori strukturalisme adalah adanya anggapan
bahwa didalam dirinya sendiri karya sastra
merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu
kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunan yang saling berjalinan. Semiotik sendiri
berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang
ilmu yang berurusan dengan penkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tanda.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Siapa
tokoh dalam teori struktural semiotik?
1.2.2
Apa yang dimaksud dengan struktural ?
1.2.3
apa yang dimaksud dengan semiotik ?
1.2.4
apa yang dimaksud struktural semiotik ?
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1
Untuk
mengetahui siapa saja tokoh pada teori struktural semiotik.
1.3.2
untuk mengertahui pengertian
struktural.
1.3.3
untuk mengetahui pengertian semiotik.
1.3.4
untuk mengetahui lebih dalam tentang kajian struktural
semiotik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tokoh Teori Struktural Semiotika
·
Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics
of Poetry, mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam
memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah:
1.
puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal
dengan arti yang lain
2. pembacaan heuristik
dan hermeneutik (retroaktif)
3. matriks, model, dan
varian
4. hipogram (Riffatere
dalam Salam, 2009:3).
Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah
puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung.
Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain. Hal inilah yang
membedakan puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara khusus dalam
membawakan maknanya (Faruk, 2012:141).
Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang
lebih tinggi. Proses dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap
pertama yang dilakukan dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini
disebut sebagai pembacaan heuristik sedangkan pembacaan tahap kedua disebut
sebagai pembacaan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai
dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan
heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif
dengan sistem semiotik tingkat pertama. Kemudian Setelah melalui pembacaan
tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai
pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses
interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya. Artinya pembaca mulai
dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap
pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta
yang berhubungan.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks
hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah
kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu
diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur
aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model,
dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks
pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks
merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata
cara pemerolehannya atau pengembangannya.
Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon
terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau
penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya.
Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang
dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau alam dan
kehidupan yang dialami sastrawan.
Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi
dengan kerangka teori Riffaterre adalah “arti” (significance). Karena
“arti” itu berpusat pada m”atriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam
puisinya sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya tidak
dapat ditemukan di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun
“pengarang” (Faruk, 2012:147).
·
Teori Ferdinand de Saussure
Saussure seorang ahli linguistik dari Swiss. Saussure meramalkan bahwa akan
hadir ilmu tanda yang disebutnya semiologi. Pengaruh Saussure sangat kuat,
terutama pada bidang penlitian semiologi-strukturalis. Hal ini disebabkan
karena gagasannya bahwa penelitian linguistik dapat menjadi pola semiologi.oleh
karena itu, ia dianggap sebagai “bapak” linguistik modern.
Ia mengadakan pembaharuan besar-besaran di bidang linguistik. Pada abad
ke-19 penelitian linguistik dilakukan dengan pendekatan diakronis, yaitu
bedasarkan sejarah atau perkembangan bahasa. Namun, Saussure berpendapat bahwa bahasa tidak hanya dapat diteliti
secara diakronis, tetapi juga dilakukan dengan pendekatan sinkronis.
Saussure (1969) menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang
mengungkapan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad
orang-orang bisu-tuli, upacara simbolik. Bentuk sopan santun, dan lain-lain.
Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. jadi, kita dapat
menanam benih dri suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di
tengah-tengah hidup kemasyarakatan; dan akan menjadi bagian dari psikologi
umum, akan di namakan semiologi.
2.2 Pengertian Struktural
Karya sastra merupakan sebuah struktur. Struktur disini dalam arti bahwa
karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara
unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi,
kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan
hala-hal atau benda-benda yang terdiri sendiri-sendiri melainkan hal-hal itu
saling terikat, saling terikat dan saling bergantungan.
Sedangkan strukturalisme itu pada dasarnya
merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan
tanggapan atau deskripsi struktur-struktur. Menurut fikiran strukturalisme,
dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan
susunan hubungan dari pada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap
unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan
maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung
dalam struktur itu. Dalam pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
struktural adalah unsur-unsur dan fungsi dalam struktur dan penguraian bahwa
tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur
lainnya,bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur.
2.3 Pengertian Semiotika
Semiotika
berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semieon adalah
istilah yang digunakan oleh orang Greek untuk merujuk kepada sains yang
mengkaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Dari
akar kata inilah terbentuk istilah semiotik, yaitu kajian sastra yang bersifat
saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang berhubung dengan tanggapan
dalam karya.
Teori semiotik
tidak terlepas dari kode-kode untuk member makna terhadap tanda yang ada dalam
karya sastra. Kode-kode merupakan objek semiotik sebab kode-kode itu merupakan
sistem-sistem yang mengatasi dan menguasai pengirim dan penerima tanda atau
manusia pada umumnya (Pradopo, 1995: 26).
2.4 Teori Struktural-Semiotik
Teori
Struktural-Semiotik merupakan penggabungan dua teori strukturalisme dan teori
semiotik. Strukturalisme dan semiotik itu berhubungan erat, semiotik itu
merupakan perkembangan strukturalisme. Melalui puisi maupun cerita seseorang
ingin mencurahkan segala isi hatinya. Isi hati tersebut tidak hanya berupa
perasaan, tetapi juga pikiran, sikap, dan harapan penulis terhadap objek yang
sedang dihayatinya.
Dalam
struktur itu unsur-unsur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya tetapi
maknanya ditentukan oleh saling hubungannya dengan unsur-unsur lainnya dan keseluruhan
atau totalitasnya (Hawkes, 1978:17-1 8).
Antara unsur karya sastra itu ada koherensi
atau pertautan erat. Unsur-unsur itu tidak otonom, tetapi merupakan bagian dari
situasi yang rumit, dan hubungannya dengan bagian lain unsur-unsur itu
mendapatkan maknanya. Akan tetapi, analisis berdasarkan teori strukturalisme
murni, yaitu hanya menekankan otonom karya sastra, mempunyai keberatan juga.
Strukturalisme murni mempunyai kelemahan antara lain:
1. Melepaskan karya sastra dari kerangka sejarah sastra.
2. Mengasingkan karya sastra dari rangka sosial budayanya.
Hal ini
disebabkan analisis struktural itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh,
tidak memerlukan pertolongan dari luar struktur. Padahal karya sastra itu tidak
terlepas dari situasi kesejarahannya dan kerangka sosial. Disamping itu, peranan
pembaca dalam pemberi makna dalam interpretasi karya sastra tidak dapat
diabaikan.
Maka dari itu menganalisis karya sastra, selain
berdasarkan strukturalisme diperlukan juga analisis berdasarkan teori lain yang sesuai dengan teori ini yaitu
teori semiotik. Teori sastra yang memahami karya sastra sebagai tanda yaitu
semiotik. Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Karena
sastra (karya sastra) merupakan sistem tanda yang lebih tinggi (atas) kedudukannya
dari bahasa.
Prinsip kedua daripada pendekatan semiotik menuntut penganalisis memperhatikan
hubungan sistem sebuah teks yang dikaji dengan sistem yang ada di luar teks
tersebut yaitu segala perkara yang membawa kepada lahirnya teks tersebut. Segala
ungkapan atau tanda-tanda yang dicerakinkan dari dalam teks memainkan peranan
yang penting bagi kewujudan satu bentuk sistem dalam pembinaan teks tersebut.
Maka, prinsip ketiga dalam pendekatan semiotik memberi penghargaan terhadap
pengarang dan keperangannya. Ini menjelaskan bahawa terdapat sebab bagi
penggunaan setiap ungkapan yang dihasilkan dalam teks kerana segalanya
mempunyai pengertiannya yang tersendiri.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dalam Teori Struktural-Semiotika ini tidak terlepas dari situasi kesejarahannya dan kerangka sosial. Di samping
itu peranan pembaca dalam pemberi makna dalam interpretasi karya sastra tidak
dapat diabaikan.Oleh karena itu, maka menganalisis karya sastra, selain
berdasarkan strukturalisme diperlukan juga analisis berdasarkan teori lain yang sesuai dengan teori ini yaitu
teori semiotik. Dengan adanya puisi maupun cerita seseorang ingin mencurahkan
segala isi hatinya. Isi hati tersebut tidak hanya berupa perasaan, tetapi juga
pikiran, sikap, dan harapan penulis terhadap objek yang sedang dihayatinya. Hal
ini disebabkan analisis struktural itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh,
tidak memerlukan pertolongan dari luar struktur. Jadi dalam teori ini memiliki
keterkaitan secara utuh.
Akhirnya perlu dikemukakan bahwa kajian
semiotik pada dekade terakhir ini tampak sedang mendapat “pasaran”. Kajian
struktural, dipihak lain, seolah-olah menjadi ketinggalan zaman, atau kurang
memberikan sumbangan yang berarti. Namun sebenarnya, seperti dikatakan Wahl,
perbedaan antara srukturalisme dengan semiotik kabur. Yang jelas, semiotik
merupakan perkembangan yang lebih kemudian dari strukturalisme. Selain itu,
dalam praktik kajian teks kesastraan, kedua pendekatan tersebut sama-sama
muncul, dan yang membedakannya barangkali “hanya” masalah penekanan atau niat
peneliti. Oleh karena itu, kajian yang “lebih aman” dapat berupa penggabungan
keduanya : struktural-semiotik, baik hanya terhadap satu teks maupun antarteks
(kesastraan), seperti yang berupa kajian intertekstual.
Daftar Pustaka
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi
Massa. Jakarta : PT.Rineka Cipta
Okke, Zaimar K.S. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan
Penerapannya. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Santoso, Bambang. 2012. ”Mengenal Semiotika
Michael Riffaterre”. https://bambangsantoso.wordpress.com/2012/12/03/mengenal-semiotika-michael-riffaterre/ diakses pada tanggal 3 November 2015 pukul
20.17 WIB.
Wachid, Abdul.2010. Analisis Struktural Semiotik.Yogyakarta:
Cinta Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar