Senin, 18 Februari 2019

Teori Struktural-Semiotik Umberto Eco

UMBERTO ECO SEBAGAI JEMBATAN DALAM PARADOKS TEORI STRUKTURAL-SEMIOTIK SAUSSURE DAN PEIRCE

Semiotika sebagai sebuah ilmu yang memiliki ‘ruang kontradiksi’ yang secara historis dibangun di antara dua ‘kubu’ semiotika, yaitu semiotika kontinental Ferdinan deSaussure dan semiotika Amerika Charles Sander Peirce. (Sobur: 2004).
Saussure dan Peirce (serta penganutnya) bahkan menyebut semiotik dengan bahasa yang berbeda. Saussure menyebut semiotik dengan istilah semiologie, sedangkan Pierce menyebutnya dengan istilah semiotics. Sesungguhnya, tidak ada yang berbeda dari kedua istilah tersebut. Kedua istilah tersebut hanyalah digunakan untuk menunjukkan pemikiran tokoh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang menganut faham Saussure akan menyebut semiotik dengan istilah semiologie dan begitupun sebaliknya, penganut Pierce akan menyebut dengan istilah semiotics. Namun, pada saat ini istilah semiotika (semiotics) dianggap lebih populer daripada istilah semiologi.
Umberto Eco sering disebut-sebut sebagai penengah antara semiotika Saussure dan semiotika Peirce. Menurutnya, keharusan untuk memilih salah satu dari Saussure atau Peirce merupakan salah kaprah. Eco menjelaskan bahwa sesungguhnya yang berbeda dalam teori semiotika Saussure dan Peirce adalah penamaannya saja, sesungguhnya kedua teori tersebut saling berkaitan, saling mengisi, saling mempengaruhi, dan tidak dapat dipisahkan menjadi dua kubu yang berbeda.
Eco memberikan sebuah elaborasi yang lebih kritis mengenai konsep ‘dinamika tanda’ yang tidak dikembangkan secara khusus oleh Saussure, dan tidak diuraikan secara detail oleh Peirce. Menurut Eco, ketika seseorang ‘menututurkan’ kata, maka ia terlibat di dalam sebuah proses ‘produksi tanda’, yang melibatkan berbagai labisan pekerja, khususnya pekerja tanda (Sobur: 2004).  


Semiotika Ferdinand deSaussure

Ferdinand deSaussure adalah seorang yang sangat terkenal dengan teorinya tentang tanda. Ia memiliki teori yang dikenal dengan nama ‘semiotika struktural’ dimana teori ini merupakan teori pokok yang menjabarkan mengenai ‘semiotika signifikasi’.
Menurut Saussure, semiotik adalah ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Penjabaran yang lebih luas mengenai definisi tersebut adalah sebuah relasi bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan  sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Ada sistem tanda (sign system) dan ada sistem sosial (social system).
Terdapat lima pandangan Saussure mengenai struktural-semiotik, yakni:
(1)   ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified)
Saussure mengungkapkan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda (sign) yang tersusun dari dua bagian yaitu ‘penanda’ dan ‘petanda’. Ia mengatakan bahwa, tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk ‘penanda’ dengan sebuah ide atau ‘petanda’. Sebagai contoh, sebuah kata yang diucapkan merupakan sebuah penanda, dan konsep atau pikiran mengungkapkan kata tersebut adalah sebuah petanda. Sehingga, penanda dan petanda adalah sebuah unsur yang tidak dapat dipisahkan.
(2)   ‘bentuk’ (form) dan ‘isi’ (content)
Saussure menjelaskan bahwa ‘bentuk’ dan ‘isi’ ibaratnya seperti sebuah permainan catur, dimana papan dan bidak catur tidaklah penting. Yang penting adalah aturan-aturan permainan catur itu sendiri. Sehingga, bentuk adalah sebuah wadah (tidak berubah-ubah) yang menampung berbagai isi (dapat berubah-ubah).
(3)   ‘bahasa’ (langue) dan ‘tuturan, ujaran’ (parole)
Langue menurut Saussure adalah bahasa sebagai objek sosial yang murni, dimana bahasa tersebut tidak dapat diubah-ubah karena merupakan kontrak kolektif yang harus dipatuhi untuk berkomunikasi. Sedangkan, parole adalah penggunaan sebuah bahasa. Sehingga, setiap individu dapat berkreasi sesuai keinginan untuk mengungkapkan sebuah bahasa. Secara sederhana, langue adalah ‘kata’ dan parole adalah ‘kalimat’. makna yang sama, sekalipun menggunakan kalimat yang berbeda.
(4)   ‘sinkronik’ (synchronic) dan ‘diakronik’ (diachronic)
Studi sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang keadaan tertentu sebuah bahasa pada suatu masa. Sedangkan, studi diakronis adalah deskripsi tentang perkembangan atas bahasa tertentu melalui waktu. Jadi, Saussure berpendapat bahwa sebelum melakukan penyelidikan diakronis harus melewati penyelidikan sinkronis terlebih dahulu. Karena, tidak mungkin mempelajari perkembangan sebuah bahasa (diakronis) tanpa mengetahui tentang sistem bahasa itu sendiri (sinkronis).
(5)   ‘sintagmatik’ (syntagmatic) dan ‘paradigmatik’ (associative).
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep. Misal, pada kalimat “seekor singa memakan daging”, seekor-singa-memakan-daging merupakan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda yang berurut secara logis). Hubungan paradigmatiknya dapat dilihat dengan cara mengganti elemen penting (fleksibel) pada sebuah rangkaian dengan elemen yang lain selama pergantian elemen tersebut tidak mempengaruhi hubungan sintagmatik. Misal, pada kalimat “seekor singa memakan daging”, elemen yang fleksibel adalah singa dimana elemen tersebut dapat diganti menjadi harimau, serigala, dan sebagainya.

Semiotika Charles Sanders Peirce

Peirce adalah orang yang sangat terkenal dengan teori tandanya, ia menjelaskan beberapa kali bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.
Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya—unsur pengantara—adalah contoh dari Keketigaan (Sobur, 41: 2004).
Bagi Peirce, tanda selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan itulah, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang berkaitan dengan ground dibagi menjadi ‘qualisign’ (kualitas yang ada pada tanda), ‘sinsign’ (eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda), dan ‘legisign’ (norma yang dikandung oleh tanda).
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas ‘ikon’ (tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah; hubungan antara tanda dan objek yang bersifat kemiripan), ‘ideks’ (tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan), dan ‘simbol’ (tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya yang bersifat arbitrer dan berdasarkan konvensi masyarakat).
Berdasarkan interpretant, menurut Peirce tanda dibagi atas ‘rheme’ (tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan), ‘dicent sign’ atau ‘dicisign’ (tanda sesuai kenyataan), dan ‘argument’ (tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
Pateda dalam bukunya Semantik Leksikal (2001) menjelaskan bahwa berdasarkan klasifikasi tersebut, Pierce membagi tanda menjadi sepuluh jenis, yakni:
(1)      Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda.
(2)      Iconic Sinsign, yakni tanda yang menandakan kemiripan.
(3)      Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu.
(4)      Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu.
(5)      Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum.
(6)      Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu.
(7)      Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subjek informasi.
(8)      Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum.
(9)      Dicent Symbol atau proposition, yakni tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak.
(10)  Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu.

Semiotika Umberto Eco

Umberto Eco disebut sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer, karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika yang telah ada sebelumnya dan menjelaskan mengenai semiotika itu sendiri dengan lebih mendalam. Eco membuat pengandaian bahwa jika semiotika ditakdirkan untuk melampai salah satu batas laminya dan menjadi bukan hanya sekedar teori kode dan teori produksi-tanda, tapi juga teori asal usul individu ‘yang dalam’ dari setiap pihak ‘yang ingin memproduksi tanda’.
Berbeda dengan konsep semiotika oleh Ferdinand deSaussure tentang tanda dan pendekatan taksonomis semiotika, serta pendekatan semiotika yang bersifat taksonomis oleh Charles Sanders Peirce, Eco memilih untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda.
Eco mengganti konsep tanda menjadi fungsi tanda, dimana fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai norma. Ia mengatakan bahwa, kode memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-sungsi tanda secara kompleks. Menurutnya, sistem aturan yaitu kode yang terdiri atas hierarki subkode-subkode yang kompleks.
Eco menjelaskan perkembangan dan pembaruan kode dengan konsep abduksi, ia melihat bahwa “suatu konteks ambigu yang tidak terkodekan yang ditafsirkan secara konsisten, jika diterima masyarakat, menghasilkan konvensi, dan dengan demikian menimbukan pasangan pengkodean”. 
Selain menjelaskan mengenai perkembangan dan pembaruan kode, Eco juga menjelaskan mengenai unsur-unsur pokok dalam tipologi cara pembentukan tanda, yakni:
(1)   Kerja Fisik, yakni upaya yang dilakukan untuk membuat tanda.
(2)   Pengenalan, yakni objek atau peritiwa dilihat sebagai suatu ungkapan kansungan tanda, seperti tanda, gejala, atau bukti.
(3)   Penampilan, yakni suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek atau tindakan.
(4)   Replika, yakni kecenderungan ke arah ratio difficilis secara prinsip, tetapi mengambil bentuk-bentuk kodifikasi melalui pengayaan.
(5)   Penemuan, yakni kasus yang paling jelas dari ratio difficilis. Sebagai yang tidak terlihat oleh kode; menjadi landasan suatu continuum materi baru.

Referensi

Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika. Cetakan Kedua. Bantul: Kreasi Wacana.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Edisi Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Cetakan Kedua. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar