UMBERTO ECO SEBAGAI JEMBATAN DALAM PARADOKS
TEORI STRUKTURAL-SEMIOTIK SAUSSURE DAN PEIRCE
Semiotika sebagai sebuah ilmu yang
memiliki ‘ruang kontradiksi’ yang secara historis dibangun di antara dua ‘kubu’
semiotika, yaitu semiotika kontinental Ferdinan deSaussure dan semiotika
Amerika Charles Sander Peirce. (Sobur: 2004).
Saussure dan Peirce (serta
penganutnya) bahkan menyebut semiotik dengan bahasa yang berbeda. Saussure
menyebut semiotik dengan istilah semiologie,
sedangkan Pierce menyebutnya dengan istilah semiotics. Sesungguhnya, tidak ada yang berbeda dari kedua istilah
tersebut. Kedua istilah tersebut hanyalah digunakan untuk menunjukkan pemikiran
tokoh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang menganut faham Saussure akan
menyebut semiotik dengan istilah semiologie
dan begitupun sebaliknya, penganut Pierce akan menyebut dengan istilah semiotics. Namun, pada saat ini istilah
semiotika (semiotics) dianggap lebih
populer daripada istilah semiologi.
Umberto Eco sering disebut-sebut
sebagai penengah antara semiotika Saussure dan semiotika Peirce. Menurutnya,
keharusan untuk memilih salah satu dari Saussure atau Peirce merupakan salah
kaprah. Eco menjelaskan bahwa sesungguhnya yang berbeda dalam teori semiotika
Saussure dan Peirce adalah penamaannya saja, sesungguhnya kedua teori tersebut
saling berkaitan, saling mengisi, saling mempengaruhi, dan tidak dapat
dipisahkan menjadi dua kubu yang berbeda.
Eco memberikan sebuah elaborasi yang lebih
kritis mengenai konsep ‘dinamika tanda’ yang tidak dikembangkan secara khusus
oleh Saussure, dan tidak diuraikan secara detail oleh Peirce. Menurut Eco,
ketika seseorang ‘menututurkan’ kata, maka ia terlibat di dalam sebuah proses
‘produksi tanda’, yang melibatkan berbagai labisan pekerja, khususnya pekerja
tanda (Sobur: 2004).
Semiotika Ferdinand deSaussure
Ferdinand deSaussure adalah seorang
yang sangat terkenal dengan teorinya tentang tanda. Ia memiliki teori yang
dikenal dengan nama ‘semiotika struktural’ dimana teori ini merupakan teori
pokok yang menjabarkan mengenai ‘semiotika signifikasi’.
Menurut Saussure, semiotik adalah
ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.
Penjabaran yang lebih luas mengenai definisi tersebut adalah sebuah relasi
bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari
aturan-aturan sosial yang berlaku. Ada sistem tanda (sign system) dan ada sistem sosial (social system).
Terdapat lima pandangan Saussure
mengenai struktural-semiotik, yakni:
(1) ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified)
Saussure mengungkapkan bahwa bahasa
adalah suatu sistem tanda (sign) yang
tersusun dari dua bagian yaitu ‘penanda’ dan ‘petanda’. Ia mengatakan bahwa,
tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk ‘penanda’ dengan sebuah ide atau
‘petanda’. Sebagai contoh, sebuah kata yang diucapkan merupakan sebuah penanda,
dan konsep atau pikiran mengungkapkan kata tersebut adalah sebuah petanda.
Sehingga, penanda dan petanda adalah sebuah unsur yang tidak dapat dipisahkan.
(2) ‘bentuk’ (form) dan ‘isi’ (content)
Saussure menjelaskan bahwa ‘bentuk’
dan ‘isi’ ibaratnya seperti sebuah permainan catur, dimana papan dan bidak
catur tidaklah penting. Yang penting adalah aturan-aturan permainan catur itu
sendiri. Sehingga, bentuk adalah sebuah wadah (tidak berubah-ubah) yang
menampung berbagai isi (dapat berubah-ubah).
(3) ‘bahasa’ (langue) dan ‘tuturan, ujaran’ (parole)
Langue
menurut Saussure adalah bahasa sebagai objek sosial
yang murni, dimana bahasa tersebut tidak dapat diubah-ubah karena merupakan
kontrak kolektif yang harus dipatuhi untuk berkomunikasi. Sedangkan, parole adalah penggunaan sebuah bahasa.
Sehingga, setiap individu dapat berkreasi sesuai keinginan untuk mengungkapkan
sebuah bahasa. Secara sederhana, langue adalah
‘kata’ dan parole adalah ‘kalimat’.
makna yang sama, sekalipun menggunakan kalimat yang berbeda.
(4) ‘sinkronik’ (synchronic) dan ‘diakronik’ (diachronic)
Studi sinkronis sebuah bahasa adalah
deskripsi tentang keadaan tertentu sebuah bahasa pada suatu masa. Sedangkan,
studi diakronis adalah deskripsi tentang perkembangan atas bahasa tertentu
melalui waktu. Jadi, Saussure berpendapat bahwa sebelum melakukan penyelidikan
diakronis harus melewati penyelidikan sinkronis terlebih dahulu. Karena, tidak
mungkin mempelajari perkembangan sebuah bahasa (diakronis) tanpa mengetahui
tentang sistem bahasa itu sendiri (sinkronis).
(5) ‘sintagmatik’ (syntagmatic) dan ‘paradigmatik’ (associative).
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik
terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai
konsep. Misal, pada kalimat “seekor singa memakan daging”,
seekor-singa-memakan-daging merupakan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda yang berurut
secara logis). Hubungan paradigmatiknya dapat dilihat dengan cara mengganti
elemen penting (fleksibel) pada sebuah rangkaian dengan elemen yang lain selama
pergantian elemen tersebut tidak mempengaruhi hubungan sintagmatik. Misal, pada
kalimat “seekor singa memakan daging”, elemen yang fleksibel adalah singa
dimana elemen tersebut dapat diganti menjadi harimau, serigala, dan sebagainya.
Semiotika Charles Sanders Peirce
Peirce
adalah orang yang sangat terkenal dengan teori tandanya, ia menjelaskan
beberapa kali bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi
seseorang.
Pierce
mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh Kepertamaan, objeknya
adalah Kekeduaan, dan penafsirnya—unsur pengantara—adalah contoh dari
Keketigaan (Sobur, 41: 2004).
Bagi
Peirce, tanda selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan itulah, Peirce mengadakan
klasifikasi tanda. Tanda yang berkaitan dengan ground dibagi menjadi ‘qualisign’
(kualitas yang ada pada tanda), ‘sinsign’
(eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda), dan ‘legisign’ (norma yang dikandung oleh
tanda).
Berdasarkan
objeknya, Peirce membagi tanda atas ‘ikon’ (tanda yang hubungan antara penanda
dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah; hubungan antara tanda dan
objek yang bersifat kemiripan), ‘ideks’ (tanda yang menunjukkan adanya hubungan
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab
akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan), dan ‘simbol’ (tanda
yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya yang bersifat
arbitrer dan berdasarkan konvensi masyarakat).
Berdasarkan
interpretant, menurut Peirce tanda
dibagi atas ‘rheme’ (tanda yang
memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan), ‘dicent sign’ atau ‘dicisign’
(tanda sesuai kenyataan), dan ‘argument’
(tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
Pateda
dalam bukunya Semantik Leksikal (2001)
menjelaskan bahwa berdasarkan klasifikasi tersebut, Pierce membagi tanda
menjadi sepuluh jenis, yakni:
(1) Qualisign, yakni
kualitas sejauh yang dimiliki tanda.
(2) Iconic Sinsign, yakni tanda yang menandakan
kemiripan.
(3) Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman
langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan
oleh sesuatu.
(4) Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan
informasi tentang sesuatu.
(5) Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan
norma atau hukum.
(6) Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada
objek tertentu.
(7) Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi
dan menunjuk subjek informasi.
(8) Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni
tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum.
(9) Dicent Symbol atau proposition, yakni tanda
yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak.
(10) Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu
berdasarkan alasan tertentu.
Semiotika Umberto Eco
Umberto Eco
disebut sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai
tanda yang paling komprehensif dan kontemporer, karena ia mengintegrasikan teori-teori
semiotika yang telah ada sebelumnya dan menjelaskan mengenai semiotika itu
sendiri dengan lebih mendalam. Eco membuat pengandaian bahwa jika semiotika
ditakdirkan untuk melampai salah satu batas laminya dan menjadi bukan hanya
sekedar teori kode dan teori produksi-tanda, tapi juga teori asal usul individu
‘yang dalam’ dari setiap pihak ‘yang ingin memproduksi tanda’.
Berbeda
dengan konsep semiotika oleh Ferdinand deSaussure tentang tanda dan pendekatan
taksonomis semiotika, serta pendekatan semiotika yang bersifat taksonomis oleh
Charles Sanders Peirce, Eco memilih untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis
tanda.
Eco
mengganti konsep tanda menjadi fungsi tanda, dimana fungsi tanda merupakan
interaksi antara berbagai norma. Ia mengatakan bahwa, kode memberikan kondisi
untuk hubungan timbal balik fungsi-sungsi tanda secara kompleks. Menurutnya,
sistem aturan yaitu kode yang terdiri atas hierarki subkode-subkode yang
kompleks.
Eco
menjelaskan perkembangan dan pembaruan kode dengan konsep abduksi, ia melihat
bahwa “suatu konteks ambigu yang tidak terkodekan yang ditafsirkan secara
konsisten, jika diterima masyarakat, menghasilkan konvensi, dan dengan demikian
menimbukan pasangan pengkodean”.
Selain
menjelaskan mengenai perkembangan dan pembaruan kode, Eco juga menjelaskan
mengenai unsur-unsur pokok dalam tipologi cara pembentukan tanda, yakni:
(1) Kerja Fisik,
yakni upaya yang dilakukan untuk membuat tanda.
(2) Pengenalan,
yakni objek atau peritiwa dilihat sebagai suatu ungkapan kansungan tanda,
seperti tanda, gejala, atau bukti.
(3) Penampilan,
yakni suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek atau tindakan.
(4) Replika,
yakni kecenderungan ke arah ratio
difficilis secara prinsip, tetapi mengambil bentuk-bentuk kodifikasi
melalui pengayaan.
(5) Penemuan,
yakni kasus yang paling jelas dari ratio
difficilis. Sebagai yang tidak terlihat oleh kode; menjadi landasan suatu
continuum materi baru.
Referensi
Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika. Cetakan Kedua. Bantul:
Kreasi Wacana.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Edisi Kedua. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Cetakan Kedua. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar