BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Poskolonial adalah
pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan
poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin "kekecewaan"
kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama yang
diformulasikan oleh Derrida dan Barthes (Budianta, 2004).
Pada tahapan yang paling
mendasar, postkolonial mengacu kepada praktik-praktik yang berkaitan dan menggugat
hierarki sosial, struktur kekuasaan, dan wacana kolonialisme. Pembacaan
poskolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar
pikiran kekuatan kolonial, atau bagaimana teks-teks tersebut mengedepankan efek
kolonialisme. Postkolonial
merujuk kesan ataupun reaksi kepada kolonialisme semenjak ataupun selepas
penjajahan. Sebenarnya, penjajahan masih berlangsung di setengah negara, dan
pengalaman negara-negara ini diterjemahkan sebagai neokolonialisme oleh para
golongan Markis. Mereka berpendapat bahwa penjajahan kini bukan lagi dalam
konteks politik saja tetapi ekonomi serta budaya. Dalam koneks kesusasteraan
paskolonial, karya-karya yang dihasilkan semasa atau selepas penjajahan
diterima sebagai karya kesusasteraan paskolonial apabila karya itu merekamkan
atau memancarkan wancana pascakolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan
poskolonial tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana
poskolonial.
Munculnya poskolonial sendiri membawa banyak
pengaruh bagi setiap unsur di dunia, mulai dari budaya, perilaku, dan lain
sebagainya. Karya-karya sastra pun secara jelas telah terpengaruh dengan
poskolonial. Penulis-penulis karya sastra terdorong untuk menciptakan
karya-karya sastra yang menceritakan atau mengisahkan sebuah karya yang dilator
belakangi dengan postkolonialisme. Karya-karya sastra yang bertemakan atau
berlatar postkolonialisme banyak tersebar di Indonesia.
Makalah berjudul “Postkolonialisme dalam Novel
Jalan Tak Ada Ujung” ini akan mengupas mengenai bentuk-bentuk postkolonialisme
yang terdapat di dalam novel karya Mochtar Lubis ini. Penyusun akan menjabarkan
bagaimana Mochtar Lubis berhasil membawa masuk pembaca ke dalam suasana
postkolonialisme pada novel dari tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana isi
cerita novel “Jalan Tak Ada Ujung”?
1.2.2 Bagaimana kaitan
novel “Jalan Tak Ada Ujung” dengan teori postkolonialisme?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui isi cerita dan makna dari
novel “Jalan Tak Ada Ujung”.
1.3.2 Untuk mengetahui kaitan dari novel “Jalan
Tak Ada Ujung” dengan teori postkolonialisme.
BAB II
ISI
Identitas Novel Jalan Tak Ada
Ujung
Pengarang: Mochtar
Lubis
Penerbit : Yayasan
Obor Indonesia
Tebal buku : vi + 167
hlm.
Keterangan:
- Cetakan pertama Balai
Pustaka, 1952
- Cetakan ke-1 Yayasan
Obor Indonesia, April 1992
- Cetakan ke-6 Yayasan
Obor Indonesia, Agustus 2003
Sinopsis Novel Jalan Tak
Ada Ujung
Jalan
Tak Ada Ujung adalah sebuah novel karya Mochtar Lubis yang menceritakan tentang
perjuangan dari tokoh yang terlibat di dalamnya pada masa revolusi. Tokoh-tokoh
tersebut berjuang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, novel ini
juga menceritakan tokoh utama bernama Guru Isa yang memiliki
ketakutan-ketakutan dalam hidupnya. Perjuangan yang dilakukan berupa perlawanan
terhadap tentara asing. Hal ini disebabkan oleh keinginan tentara sekutu
(Belanda) untuk menguasai Indonesia.
Secara tidak langsung, novel ini menceritakan tentang kondisi bangsa
Indonesia selepas masa kolonial. Hal ini dibuktikan pada unsur intrinsik novel
berupa latar tempat, waktu, dan suasana yang berlatarkan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan.
Guru
Isa merupakan tokoh sentral baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
struktur naratif novel. Peristiwa yang terjadi dalam novel memiliki banyak
keterkaitan dengan tokoh Guru Isa ini. Novel “Jalan Tak Ada Ujung” ini,
mencitrakan Guru Isa sebagai tokoh yang memiliki seifat takut dalam hidupnya.
Ketakutan tersebut disebabkan oleh berbagai alasan. Akan tetapi, ketakutan yang
dimiliki oleh Guru Isa tidak sepenuhnya memiliki nilai yang negatif.
Ketakutan-ketakutan tersebut, antara lain:
1. Ketakutan pada istrinya, Fatimah
Ketakutan Guru Isa ini terjadi akibat ketidakmampuan Guru Isa dalam
memenuhi kebutuhan biologis istrinya, Fatimah. Guru Isa memiliki penyakit
impoten, sehingga tidak dapat memberikan keturunan bagi mereka. Hal tersebut
juga menjadi penyebab hilangnya cinta Fatimah terhadap Guru Isa.
2. Ketakutan pada kekerasan
Salah satu penyebab ketakutan ini adalah pengalaman Guru Isa yang melihat
secara langsung penyerangan yang dilakukan oleh tentara sekutu yang dalam novel
disebut “ubel-ubel”. Selain itu, ketakutan ini timbul karena Guru Isa memiliki
sifat bawaan seperti menyayangi sesama manusia, tidak berprasangka buruk
terhadap orang lain, jujur, dan lain sebagainya.
3. Ketakutan pada kenyataan
Ketakutan ini dapat dicermati saat Guru Isa menemukan pipa milik Hazil di
bawah bantal kamar tidurnya. Ia takut mengetahui kenyataan yang terjadi antara
Hazil dan Fatimah. Oleh karena itu, ia terus menyimpan rahasia tersebut karena
takut terhadap kenyataan yang akan diterima.
Sumber
ketakutan Guru Isa juga berasal dari tokoh Hazil. Tokoh Hazil memiliki sifat
yang bernegasi dengan Guru Isa. Terutama dalam hal pandangan hidup dan filsafah
Hazil. Hazzil cenderung dikisahkan sebagai pemuda yang “berapi-api” atau dapat
dikatakan sebagai pemuda yang mudah terkobar semangatnya untuk perjuangan dalam
melawan tentara sekutu, mudah dalam menyampaikan pikiran serta gagasannya
(pemikiran terbuka), serta menantang kekerasan. Bahkan, Hazil menjelaskan
tentang makna Jalan Tak Ujung terutama dalam hal mempertahankan kemerdekaan.
Sifat-sifat Hazil tersebut menunjukkan bahwa keduanya memiliki pertentangan
satu sama lain.
Akan
tetapi, diakhir cerita dikisahkan bahwa Guru Isa telah berdamai dengan rasa
takutnya karena berhasil untuk memahaminya. Hal itu terjadi saat Guru Isa
tertangkap oleh tentara sekutu dan Ia disiksa dengan sangat kejam oleh mereka.
Novel tersebut menceritakan bahwa Guru Isa disiksa oleh tentara sekutu dengan
tujuan agar Ia mengaku terlibat dalam aksi pengeboman sebuah bioskop. Namun,
ketakutan yang dirasakan membuatnya sulit untuk berbicara. Padahal dalam
hatinya, Guru Isa ingin mengakui bahwa ia terlibat dalam aksi pengeboman
tersebut karena tidak tahan dengan siksa tentara sekutu. Berbeda halnya dengan
yang dialami Hazil. Ia justru mulai merasa memiliki ketakutan yang tinggi
setelah disiksa oleh tentara sekutu. Penyiksaan itu menyebabkan Hazil menyerah
dan mengakui segala tindakannya kepada tentara sekutu.
Postkolonialisme dalam Novel “Jalan Tak Ada Ujung”
Novel ini mengandung unsur postkolonial,
dimana novel ini berlatar pada tahun setelah proklamasi. Novel ini sangat menggambarkan keadaan
Indonesia sebenarnya setelah masa proklamasi. Pada masa tersebut Belanda masih
mejajaki tanah air dan membabi buta menyerang warga karena tak terima akan
kekalahannya. Pada tahun 1946, dimana tahun yang sangat mencekam. Masyarakat
dilanda rasa takut akan setiap deru suara pasukan “ubel-ubel”. Tiap orang yang
lari akan ditembak. Bukan hanya mencekam, namun tahun dimana juga segalanya
serba susah, untuk makan dan bertempat tinggal saja harus berhutang. Tak
kecuali guru Isa dan istrinya. Namun guru Isa tak gentar begitu saja, ia
akhirnya bersatu dengan para warga untuk melawan pasukan ubel-ubel. Guru Isa
bergabung bersama Hazil dan Rakhmat yang juga haus akan kemerdekaan, namun
dalam aksi mereka tak jalan sesuai rencana. Satu persatu dari mereka diangkap
oleh polisi. Mereka disiksa disebuah ruangan yang sangat mengerikan.
Secara
definitif, postkolonialisme berfokus pada analisis era kolonial dan sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Postkolonialisme
berkaitan dengan nasionalisme. Oleh karena itu, postkolonialisme memberikan
suatu pemahaman bagi masing-masing individu. Salah satunya adalah mengutamakan
kepentingan kelompok atau golongan dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
Selain itu, postkolonialisme memberikan pelajaran dan hikmah dari masa lampau,
terutama saat terjadi kolonialisme Belanda.
Novel
“Jalan Tak Ada Ujung” memiliki kaitan erat dengan era kolonialisme. Perjuangan
yang dilakukan oleh para tokoh dalam mempertahankan kemerdekaan menunjukkan
hasil dari pembelajaran terhadap masa lampau, yakni penjajahan. Mereka saling
bahu-membahu dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut. Akan tetapi, perjuangan
tersebut juga menimbulkan dampak negatif berupa rasa kecurigaan yang tinggi
antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa seseorang
yang tidak mendukung aksi perjuangan dapat dianggap sebagai “mata-mata musuh”
dan lain sebagainya. Oleh karena itu, semangat perjuangan ini juga memberikan
situasi yang rawan seperti tidak mudah percaya terhadap orang lain.
Berikut beberapa kutipan-kutipan dalam novel
yang membuktikan bahwa novel karya Mochtar Lubis ini merupakan salah satu karya
yang berkaitan dengan postkolonialisme:
·
“Kemarin
kampung Tanah Tinggi digeledah lagi sama si
ubel-ubel,” cerita tukang loak, mulutnya penuh dengan pisang goreng. –halaman 3.
‘si ubel-ubel’ yang dimaksudkan
dalam novel ini adalah tentara Belanda. Sehingga, dari kutipan-kutipan tersebut
terlihat bahwa Belanda kembali menjajah Indonesia setelah Indonesia merdeka,
karena waktu yang dikisahkan dalam novel itu berawal pada bulan september tahun
1946 hingga tahun 1947. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa novel ini
menceritakan mengenai penjajahan ulang Belanda setelah Indonesia merdeka.
Penjajahan ulang tidak lagi dapat dikatakan sebagai penjajahan seperti
sebelumnya, karena dunia telah mengakui secara de facto bahwa Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945.
·
“Aku tolong
tiga orang pemuda kemaren di Tanah Tinggi,” kata tukang loak meneruskan
ceritanya. “Mereka titipkan dua pistol
dan lima granat tangan padaku, disimpan dalam keranjang loak, dan aku pergi
duduk menunggu geledahan habis dekat truk si ubel-ubel—halaman 4.
·
Dari rumah
sebelah melompat seorang pemuda ke pekarangan rumah tempat dia bersembunyi. Pemuda ini hanya bersenjata pistol…”Truk ubel-ubel di ujung jalan.
Mereka mau ke mari dari Tanah Abang Bukit. Hati-hati.” –halaman 9.
·
Mereka akan
melemparkan granat tangan itu
bersama-sama, dan
kemudian lari. Melemparkan granat ke
tengah-tengah serdadu-serdadu Belanda yang berdesak-desak keluar dari bioskop.—halaman
129.
‘pistol’ dan ‘granat’ dalam dialog tersebut sedikit menjelaskan mengenai
perlawanan yang dilakukan tiga orang pemuda yang terdapat dalam novel kepada si
ubel-ubel. Dalam dialog tersebut juga terlihat bahwa peredaran senjata berapi
masih mudah ditemukan, beberapa masyarakat bahkan memilikinya. Hal tersebut
menjadi salah satu bukti bahwa novel tersebut menggunakan postkolonialisme
sebagai latar, dikarenakan pada masa itu peredaran senjata berapi masih
dianggap biasa berbeda pada masa setelahnya dimana senjata berapi sudah
dianggap sebagai benda illegal bagi masyarakat biasa.
·
“Kasih saya
beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. Anak itu
membungkus beras dua liter dan diletakkannya di atas meja di depan perempuan
itu.
“Enam rupiah!”
“Ah, naik lagi. Kemarin dulu
juga seringgit,” bantah perempuan itu.
‘naik lagi’ dalam dialog antartokoh tersebut menjelaskan bahwa harga
bahan-bahan yang semakin melambung tinggi. Melambungnya bahan-bahan pokok juga
merupakan salah satu bukti bahwa novel ini menggunakan postkolonialisme,
dikarenakan pada masa postkolonialisme harga bahan-bahan pokok tidak stabil dan
terus melambung tinggi. Dimana melambungnya bahan-bahan pokok tersebut tidak
diikuti dengan gaji masyarakat yang masih rendah.
·
“Aku juga
terlambat! Aku tiba sekolah sudah kosong. Barangkali karena pertempuran di Jalan Asam Lama,” jawab
Guru Isa.
“Kawan-kawan lain?”
Hamid dan Zubair telah pulang duluan.”
“Tempat aku tinggal digeledah, baru sejam yang lalu selesai!”
“Ada yang tertangkap?”
“Tidak.”—halaman 31.
·
Dia teringat
pertemuan mereka dua bulan yang lalu. Pertempuran
pertama kali. Dua hari setelah penembakan
di Gang Ajudan. Pemuda-pemuda di Kebon Sirih berkumpul, dan karena dia menjadi
wakil ketua panitia keamanan rakyat, maka ia dipanggil hadir.—halaman 38.
·
Dalam perjuangan kemerdekaan ini, tiak ada tempat pikiran kacau dan ragu-ragu,” kata
Hazil.—halaman 49.
·
“Dalam revolusi ini,” dia menyusun pikirannya,
“banyak orang terpaksa melakukan rolnya yang acapkali tidak dikehendakinya.”—halaman 73.
·
“Kalau mau perang juga bukan di Jakarta lagi,”
kata Hazil. “Di sini kita tak bisa perang.
Musuh terlalu kuat. Karena itu kita sekarang bikin persediaan di luar kota.
Sebab itu senjata-senjata mesti dikirim ke luar kota.—halaman 78.
·
“Geledahan,”
kata orang pertama kepada kedua orang yang ditahan itu.
“Siapa yang khianat?” tanya seorang dari yang
berdua, mukanya agak pucat. Tetapi ditahannya suaranya supaya jangan gemetar.—halaman 103.
·
Dan Guru Isa
menjadi takut amat sangat kembali, tetapi ketakutan yang dirasanya sekarang tidaklah
sehebat yang dibayang-bayangkannya.—halaman 151.
‘pertempuran’, ‘digeledah’, ‘tertangkap/ditangkap’, ‘penembakan’,
‘perjuangan’, ‘kemerdekaan/merdeka’, ‘revolusi’, ‘perang’, ‘senjata’, ‘khianat/pengkhianatan’,
dan ‘takut’ merupakan kata-kata yang sering terdengar pada masa ketika Belanda
datang ke Indonesia dengan tujuan menguasai kembali Indonesia. Masyarakat
Indonesia, terlebih pemuda-pemuda tak henti menyusun siasat demi menunjukkan
kemerdekaan Indonesia. Perlawanan sengit pemuda-pemuda Indonesia yang melawan
takut demi satu kata, merdeka membuat mereka mendapat siksaan-siksaan yang luar
biasa. Namun, tak menghentikan perjuangan mereka mengusir pasukan Belanda. Pertempuran
antara pemuda-pemuda Indonesia dan serdadu Belanda ini juga menjadi salah satu
bukti bahwa novel ini menggunakan latar postkolonialisme, karena pada
kenyataannya pada masa itu adu serang masih membumi.
·
“Bukankah
persetujuan Linggarjati sudah
ditandatangani. Masa kita masih terus berperang? Bukankah kita disuruh
berdamai?”—halaman 106.
·
“Linggarjati dipakai Belanda hanya untuk
menipu dunia internasional saja. kita mesti lekas bersiap-siap.”—halaman 107.
‘Linggarjati/Perjanjian Linggarjati’ dalam novel ini sejatinya mengacu pada
kenyataan dimana Perjanjian Linggarjati merupakan adalah
suatu perundingan antara Indonesia dan Belandadi Linggarjati, Jawa Barat yang
menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil
perundingan ini ditandatangani di Istana
Merdeka Jakarta pada 15
November 1946 dan
ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947. Dari hal
tersebut dapat dibuktikan secara jelas bahwa novel Jalan Tak Ada Ujung ini
merupakan salah satu karya pada masa postkolonialisme.
Makna Novel “Jalan Tak Ada Ujung”
Kata
“Jalan” dapat mengacu pada konteks sesuatu yang panjang dan tidak tentu
batasnya. Hal itu karena “jalan” bisa saling berkesinambungan satu dengan yang
lain, bercabang, dan lain sebagainya. Kata “jalan” ketika mengalami penambahan
“tak ada ujung” dapat mengacu pada penegasan sebuah jalan yang panjang dan
tidak berujung. Akan tetapi, hal tersebut bukanlah mana sebenarnya dari novel
ini. Sifat teks sastra adalah menyatakan sesuatu hal yang berarti hal lain
(Riffatere, 1978: 1). Oleh karena itu, makna “Jalan Tak Ada Ujung” tidak dapat
diartikan sebagai jalan yang tidak memiliki ujung. Akan tetapi, bisa diartikan
sebagai kehidupan manusia yang berisikan perjuangan dan pencarian terhadap
sesuatu. Misalkan dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung”, hal yang diperjuangkan dan
dicari sampai saat ini adalah mengenai kemerdekaan. Berbagai pertanyaan muncul,
seperti: 1) Apakah merdeka itu sebatas kata “merdeka”, 2) Apakah merdeka itu
sebatas hidup yang bebas dari penjajahan?, dan lain sebagainya. Manusia hidup
untuk berjuang dan mencari tentang kebahagiaan. Apabila kebahagiaan itu telah
didapatkan, kehidupannya tidak bisa jika dikatakan selesai sampai pada titik
“bahagia” itu. Ketika manusia mendapatkan suatu kebahagiaan, kelak akan muncul
persoalan, masalah, serta rintangan yang baru untuk menguji mereka.
Dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung” ini sendiri
menyebutkan secara tersirat mengenai makna dari novel ini dari dialog para tokoh
Hazil pada halaman 49, yakni:
“Saya
tidak pernah ragu, dari mulai. Saya sudah tahu –semanjak mula— bahwa jalan yang
kutempuh ini adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita tempuh.
Mulai dari sini, terus, terus, terus, tidak ada ujungnya. Perjuangan ini,
meskipun kita sudah merkeda, belum juga sampai ke ujungnya. Di mana ada ujung jalan
perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu
setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan
dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita
memilih jalan perjuangan, maka itu tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku,
semuanya, telah memilih jalan perjuangan.”
Selain terlihat dari dialog tokoh, deskripsi
mengenai Guru Isa juga mengaitkan secara emplisit makna dari novel tersebut.
Deskripsi tersebut terlihat pada halaman 92, yakni:
Dan. Guru Iisa ingat jalan
tidak ada ujung. Sekali dijalani harus dijalani terus, tiada habis-habisnya.
Terutama sekali ketakutannya sendiri. Dia takut ikut dengan mereka yang
memperolok-olok maut ini. Dan lebih takut lagi untuk tidak ikut.
Telah begitu lama ia mengikuti
anak-anak perjuangan ini yang dapat tertawa bercakap-cakap dengan maut, masih
saja dalam hati Guru Isan tidak bisa timbul kegembiraan untuk perjuangan.
Hatinya terlalu takut untuk merasa gembira.
Sehingga, “Jalan Tak Ada Ujung” mencerminkan segala sesuatu yang timbul tiada
berkesudahan. Permasalahan, perjuangan, dan pencarian yang dilakukan oleh
manusia akan tetap berlangsung hingga ia meninggal. Akan tetapi, novel “Jalan
Tak Ada Ujung” menyampaikan hal tersebut melalui ketakutan-ketakutan yang
dirasakan oleh tokoh sentral dan beberapa tokoh lain di dalamnya. Oleh sebab
itu, kata “Jalan Tak Ada Ujung” seakan mengalami penggantian arti.
BAB III
PENUTUP
Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
ini memang menarik untuk di apresiasi. Meskipun pada kenyataannya novel ini
termasuk dalam novel angkatan 45, namun justru disinilah orang akan tertarik
untuk membacanya. Karena pada hakikatnya sebuah karya sastra bisa dijadikan
sebagai sumber referensi sejarah, dengan karya sastra kita bisa mengetahui
realitas dunia sebelum kita terlahir melalui gaya penceritaan yang disampaikan
oleh penulis karya sastra dalam karyanya, termasuk dalam novel Jalan Tak Ada
Ujung yang sangat kental dengan unsur-unsur sejarahnya. Secara garis besar
semua setting, baik itu setting waktu, tempat, dan suasana merefleksikan atau
menggambarkan kepada pembaca bagaimana situasi kota Jakarta yang begitu
mencekam dan sangat tidak kondusif setelah kemerdekaan. Membaca novel ini
tidaklah sekedar membaca sejarah masa kemerdekaan, lebih jauh konflik-konflik
dalam novel pun sangat menarik untuk diberi penilaian tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Budianta. 2004. “Tragedi
yang Menuai Berkah: Munculnya Aktivisme Perempuan dalam Masa Reformasi”,
dalam Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia
https://id.wikipedia.org/wiki/Perundingan_Linggarjati
diunduh pada 15 Juni 2016 pukul 14.35 WIB.
Lubis,
Mochtar. 2003. Jalan Tak Ada Ujung. Cetakan
Keenam. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar