Senin, 18 Februari 2019

POSTKOLONIALISME DALAM NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin "kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes (Budianta, 2004).
Pada tahapan yang paling mendasar, postkolonial mengacu kepada praktik-praktik yang berkaitan dan menggugat hierarki sosial, struktur kekuasaan, dan wacana kolonialisme. Pembacaan poskolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan kolonial, atau bagaimana teks-teks tersebut mengedepankan efek kolonialisme. Postkolonial merujuk kesan ataupun reaksi kepada kolonialisme semenjak ataupun selepas penjajahan. Sebenarnya, penjajahan masih berlangsung di setengah negara, dan pengalaman negara-negara ini diterjemahkan sebagai neokolonialisme oleh para golongan Markis. Mereka berpendapat bahwa penjajahan kini bukan lagi dalam konteks politik saja tetapi ekonomi serta budaya. Dalam koneks kesusasteraan paskolonial, karya-karya yang dihasilkan semasa atau selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan paskolonial apabila karya itu merekamkan atau memancarkan wancana pascakolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana poskolonial.
Munculnya poskolonial sendiri membawa banyak pengaruh bagi setiap unsur di dunia, mulai dari budaya, perilaku, dan lain sebagainya. Karya-karya sastra pun secara jelas telah terpengaruh dengan poskolonial. Penulis-penulis karya sastra terdorong untuk menciptakan karya-karya sastra yang menceritakan atau mengisahkan sebuah karya yang dilator belakangi dengan postkolonialisme. Karya-karya sastra yang bertemakan atau berlatar postkolonialisme banyak tersebar di Indonesia.
Makalah berjudul “Postkolonialisme dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung” ini akan mengupas mengenai bentuk-bentuk postkolonialisme yang terdapat di dalam novel karya Mochtar Lubis ini. Penyusun akan menjabarkan bagaimana Mochtar Lubis berhasil membawa masuk pembaca ke dalam suasana postkolonialisme pada novel dari tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.


1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana isi cerita novel “Jalan Tak Ada Ujung”?
1.2.2 Bagaimana kaitan novel “Jalan Tak Ada Ujung” dengan teori postkolonialisme?

1.3 Tujuan

1.3.1  Untuk mengetahui isi cerita dan makna dari novel “Jalan Tak Ada Ujung”.
1.3.2 Untuk mengetahui kaitan dari novel “Jalan Tak Ada Ujung” dengan teori postkolonialisme.


BAB II
ISI


Identitas Novel Jalan Tak Ada Ujung

Pengarang: Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tebal buku : vi + 167 hlm.
Keterangan:
- Cetakan pertama Balai Pustaka, 1952
- Cetakan ke-1 Yayasan Obor Indonesia, April 1992
- Cetakan ke-6 Yayasan Obor Indonesia, Agustus 2003



Sinopsis Novel Jalan Tak Ada Ujung

Jalan Tak Ada Ujung adalah sebuah novel karya Mochtar Lubis yang menceritakan tentang perjuangan dari tokoh yang terlibat di dalamnya pada masa revolusi. Tokoh-tokoh tersebut berjuang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, novel ini juga menceritakan tokoh utama bernama Guru Isa yang memiliki ketakutan-ketakutan dalam hidupnya. Perjuangan yang dilakukan berupa perlawanan terhadap tentara asing. Hal ini disebabkan oleh keinginan tentara sekutu (Belanda) untuk menguasai Indonesia.  Secara tidak langsung, novel ini menceritakan tentang kondisi bangsa Indonesia selepas masa kolonial. Hal ini dibuktikan pada unsur intrinsik novel berupa latar tempat, waktu, dan suasana yang berlatarkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Guru Isa merupakan tokoh sentral baik secara langsung maupun tidak langsung dalam struktur naratif novel. Peristiwa yang terjadi dalam novel memiliki banyak keterkaitan dengan tokoh Guru Isa ini. Novel “Jalan Tak Ada Ujung” ini, mencitrakan Guru Isa sebagai tokoh yang memiliki seifat takut dalam hidupnya. Ketakutan tersebut disebabkan oleh berbagai alasan. Akan tetapi, ketakutan yang dimiliki oleh Guru Isa tidak sepenuhnya memiliki nilai yang negatif. Ketakutan-ketakutan tersebut, antara lain:
1.      ­­Ketakutan pada istrinya, Fatimah
Ketakutan Guru Isa ini terjadi akibat ketidakmampuan Guru Isa dalam memenuhi kebutuhan biologis istrinya, Fatimah. Guru Isa memiliki penyakit impoten, sehingga tidak dapat memberikan keturunan bagi mereka. Hal tersebut juga menjadi penyebab hilangnya cinta Fatimah terhadap Guru Isa.
2.      Ketakutan pada kekerasan
Salah satu penyebab ketakutan ini adalah pengalaman Guru Isa yang melihat secara langsung penyerangan yang dilakukan oleh tentara sekutu yang dalam novel disebut “ubel-ubel”. Selain itu, ketakutan ini timbul karena Guru Isa memiliki sifat bawaan seperti menyayangi sesama manusia, tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, jujur, dan lain sebagainya.
3.      Ketakutan pada kenyataan
Ketakutan ini dapat dicermati saat Guru Isa menemukan pipa milik Hazil di bawah bantal kamar tidurnya. Ia takut mengetahui kenyataan yang terjadi antara Hazil dan Fatimah. Oleh karena itu, ia terus menyimpan rahasia tersebut karena takut terhadap kenyataan yang akan diterima.
Sumber ketakutan Guru Isa juga berasal dari tokoh Hazil. Tokoh Hazil memiliki sifat yang bernegasi dengan Guru Isa. Terutama dalam hal pandangan hidup dan filsafah Hazil. Hazzil cenderung dikisahkan sebagai pemuda yang “berapi-api” atau dapat dikatakan sebagai pemuda yang mudah terkobar semangatnya untuk perjuangan dalam melawan tentara sekutu, mudah dalam menyampaikan pikiran serta gagasannya (pemikiran terbuka), serta menantang kekerasan. Bahkan, Hazil menjelaskan tentang makna Jalan Tak Ujung terutama dalam hal mempertahankan kemerdekaan. Sifat-sifat Hazil tersebut menunjukkan bahwa keduanya memiliki pertentangan satu sama lain.
Akan tetapi, diakhir cerita dikisahkan bahwa Guru Isa telah berdamai dengan rasa takutnya karena berhasil untuk memahaminya. Hal itu terjadi saat Guru Isa tertangkap oleh tentara sekutu dan Ia disiksa dengan sangat kejam oleh mereka. Novel tersebut menceritakan bahwa Guru Isa disiksa oleh tentara sekutu dengan tujuan agar Ia mengaku terlibat dalam aksi pengeboman sebuah bioskop. Namun, ketakutan yang dirasakan membuatnya sulit untuk berbicara. Padahal dalam hatinya, Guru Isa ingin mengakui bahwa ia terlibat dalam aksi pengeboman tersebut karena tidak tahan dengan siksa tentara sekutu. Berbeda halnya dengan yang dialami Hazil. Ia justru mulai merasa memiliki ketakutan yang tinggi setelah disiksa oleh tentara sekutu. Penyiksaan itu menyebabkan Hazil menyerah dan mengakui segala tindakannya kepada tentara sekutu.

Postkolonialisme dalam Novel “Jalan Tak Ada Ujung”

Novel ini mengandung unsur postkolonial, dimana novel ini berlatar pada tahun setelah proklamasi. Novel ini sangat menggambarkan keadaan Indonesia sebenarnya setelah masa proklamasi. Pada masa tersebut Belanda masih mejajaki tanah air dan membabi buta menyerang warga karena tak terima akan kekalahannya. Pada tahun 1946, dimana tahun yang sangat mencekam. Masyarakat dilanda rasa takut akan setiap deru suara pasukan “ubel-ubel”. Tiap orang yang lari akan ditembak. Bukan hanya mencekam, namun tahun dimana juga segalanya serba susah, untuk makan dan bertempat tinggal saja harus berhutang. Tak kecuali guru Isa dan istrinya. Namun guru Isa tak gentar begitu saja, ia akhirnya bersatu dengan para warga untuk melawan pasukan ubel-ubel. Guru Isa bergabung bersama Hazil dan Rakhmat yang juga haus akan kemerdekaan, namun dalam aksi mereka tak jalan sesuai rencana. Satu persatu dari mereka diangkap oleh polisi. Mereka disiksa disebuah ruangan yang sangat mengerikan.
Secara definitif, postkolonialisme berfokus pada analisis era kolonial dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Postkolonialisme berkaitan dengan nasionalisme. Oleh karena itu, postkolonialisme memberikan suatu pemahaman bagi masing-masing individu. Salah satunya adalah mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Selain itu, postkolonialisme memberikan pelajaran dan hikmah dari masa lampau, terutama saat terjadi kolonialisme Belanda.
Novel “Jalan Tak Ada Ujung” memiliki kaitan erat dengan era kolonialisme. Perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh dalam mempertahankan kemerdekaan menunjukkan hasil dari pembelajaran terhadap masa lampau, yakni penjajahan. Mereka saling bahu-membahu dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut. Akan tetapi, perjuangan tersebut juga menimbulkan dampak negatif berupa rasa kecurigaan yang tinggi antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa seseorang yang tidak mendukung aksi perjuangan dapat dianggap sebagai “mata-mata musuh” dan lain sebagainya. Oleh karena itu, semangat perjuangan ini juga memberikan situasi yang rawan seperti tidak mudah percaya terhadap orang lain.
Berikut beberapa kutipan-kutipan dalam novel yang membuktikan bahwa novel karya Mochtar Lubis ini merupakan salah satu karya yang berkaitan dengan postkolonialisme:
·         “Kemarin kampung Tanah Tinggi digeledah lagi sama si ubel-ubel,” cerita tukang loak, mulutnya penuh dengan pisang goreng. –halaman 3.
 ‘si ubel-ubel’ yang dimaksudkan dalam novel ini adalah tentara Belanda. Sehingga, dari kutipan-kutipan tersebut terlihat bahwa Belanda kembali menjajah Indonesia setelah Indonesia merdeka, karena waktu yang dikisahkan dalam novel itu berawal pada bulan september tahun 1946 hingga tahun 1947. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa novel ini menceritakan mengenai penjajahan ulang Belanda setelah Indonesia merdeka. Penjajahan ulang tidak lagi dapat dikatakan sebagai penjajahan seperti sebelumnya, karena dunia telah mengakui secara de facto bahwa Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945.
·         “Aku tolong tiga orang pemuda kemaren di Tanah Tinggi,” kata tukang loak meneruskan ceritanya. “Mereka titipkan dua pistol dan lima granat tangan padaku, disimpan dalam keranjang loak, dan aku pergi duduk menunggu geledahan habis dekat truk si ubel-ubel—halaman 4.
·         Dari rumah sebelah melompat seorang pemuda ke pekarangan rumah tempat dia bersembunyi. Pemuda ini hanya bersenjata pistol…”Truk ubel-ubel di ujung jalan. Mereka mau ke mari dari Tanah Abang Bukit. Hati-hati.” –halaman 9.
·         Mereka akan melemparkan granat tangan itu bersama-sama, dan kemudian lari. Melemparkan granat ke tengah-tengah serdadu-serdadu Belanda yang berdesak-desak keluar dari bioskop.—halaman 129.
‘pistol’ dan ‘granat’ dalam dialog tersebut sedikit menjelaskan mengenai perlawanan yang dilakukan tiga orang pemuda yang terdapat dalam novel kepada si ubel-ubel. Dalam dialog tersebut juga terlihat bahwa peredaran senjata berapi masih mudah ditemukan, beberapa masyarakat bahkan memilikinya. Hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa novel tersebut menggunakan postkolonialisme sebagai latar, dikarenakan pada masa itu peredaran senjata berapi masih dianggap biasa berbeda pada masa setelahnya dimana senjata berapi sudah dianggap sebagai benda illegal bagi masyarakat biasa.
·         “Kasih saya beras dua liter,” katanya pada anak Baba Tan yang menjaga warung. Anak itu membungkus beras dua liter dan diletakkannya di atas meja di depan perempuan itu.
“Enam rupiah!”
Ah, naik lagi. Kemarin dulu juga seringgit,” bantah perempuan itu.
‘naik lagi’ dalam dialog antartokoh tersebut menjelaskan bahwa harga bahan-bahan yang semakin melambung tinggi. Melambungnya bahan-bahan pokok juga merupakan salah satu bukti bahwa novel ini menggunakan postkolonialisme, dikarenakan pada masa postkolonialisme harga bahan-bahan pokok tidak stabil dan terus melambung tinggi. Dimana melambungnya bahan-bahan pokok tersebut tidak diikuti dengan gaji masyarakat yang masih rendah.
·         “Aku juga terlambat! Aku tiba sekolah sudah kosong. Barangkali karena pertempuran di Jalan Asam Lama,” jawab Guru Isa.
“Kawan-kawan lain?”
Hamid dan Zubair telah pulang duluan.”
“Tempat aku tinggal digeledah, baru sejam yang lalu selesai!”
“Ada yang tertangkap?”
“Tidak.”—halaman 31.
·         Dia teringat pertemuan mereka dua bulan yang lalu. Pertempuran pertama kali. Dua hari setelah penembakan di Gang Ajudan. Pemuda-pemuda di Kebon Sirih berkumpul, dan karena dia menjadi wakil ketua panitia keamanan rakyat, maka ia dipanggil hadir.—halaman 38.
·         Dalam perjuangan kemerdekaan ini, tiak ada tempat pikiran kacau dan ragu-ragu,” kata Hazil.—halaman 49.
·         “Dalam revolusi ini,” dia menyusun pikirannya, “banyak orang terpaksa melakukan rolnya yang acapkali tidak dikehendakinya.”—halaman 73.
·         “Kalau mau perang juga bukan di Jakarta lagi,” kata Hazil. “Di sini kita tak bisa perang. Musuh terlalu kuat. Karena itu kita sekarang bikin persediaan di luar kota. Sebab itu senjata-senjata mesti dikirim ke luar kota.—halaman 78.
·         “Geledahan,” kata orang pertama kepada kedua orang yang ditahan itu.
“Siapa yang khianat?” tanya seorang dari yang berdua, mukanya agak pucat. Tetapi ditahannya suaranya supaya jangan gemetar.—halaman 103.
·         Dan Guru Isa menjadi takut amat sangat kembali, tetapi ketakutan yang dirasanya sekarang tidaklah sehebat yang dibayang-bayangkannya.—halaman 151.
‘pertempuran’, ‘digeledah’, ‘tertangkap/ditangkap’, ‘penembakan’, ‘perjuangan’, ‘kemerdekaan/merdeka’, ‘revolusi’, ‘perang’, ‘senjata’, ‘khianat/pengkhianatan’, dan ‘takut’ merupakan kata-kata yang sering terdengar pada masa ketika Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan menguasai kembali Indonesia. Masyarakat Indonesia, terlebih pemuda-pemuda tak henti menyusun siasat demi menunjukkan kemerdekaan Indonesia. Perlawanan sengit pemuda-pemuda Indonesia yang melawan takut demi satu kata, merdeka membuat mereka mendapat siksaan-siksaan yang luar biasa. Namun, tak menghentikan perjuangan mereka mengusir pasukan Belanda. Pertempuran antara pemuda-pemuda Indonesia dan serdadu Belanda ini juga menjadi salah satu bukti bahwa novel ini menggunakan latar postkolonialisme, karena pada kenyataannya pada masa itu adu serang masih membumi.
·         “Bukankah persetujuan Linggarjati sudah ditandatangani. Masa kita masih terus berperang? Bukankah kita disuruh berdamai?”—halaman 106.
·         Linggarjati dipakai Belanda hanya untuk menipu dunia internasional saja. kita mesti lekas bersiap-siap.”—halaman 107.
‘Linggarjati/Perjanjian Linggarjati’ dalam novel ini sejatinya mengacu pada kenyataan dimana Perjanjian Linggarjati merupakan adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belandadi LinggarjatiJawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947. Dari hal tersebut dapat dibuktikan secara jelas bahwa novel Jalan Tak Ada Ujung ini merupakan salah satu karya pada masa postkolonialisme.

Makna Novel “Jalan Tak Ada Ujung”

Kata “Jalan” dapat mengacu pada konteks sesuatu yang panjang dan tidak tentu batasnya. Hal itu karena “jalan” bisa saling berkesinambungan satu dengan yang lain, bercabang, dan lain sebagainya. Kata “jalan” ketika mengalami penambahan “tak ada ujung” dapat mengacu pada penegasan sebuah jalan yang panjang dan tidak berujung. Akan tetapi, hal tersebut bukanlah mana sebenarnya dari novel ini. Sifat teks sastra adalah menyatakan sesuatu hal yang berarti hal lain (Riffatere, 1978: 1). Oleh karena itu, makna “Jalan Tak Ada Ujung” tidak dapat diartikan sebagai jalan yang tidak memiliki ujung. Akan tetapi, bisa diartikan sebagai kehidupan manusia yang berisikan perjuangan dan pencarian terhadap sesuatu. Misalkan dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung”, hal yang diperjuangkan dan dicari sampai saat ini adalah mengenai kemerdekaan. Berbagai pertanyaan muncul, seperti: 1) Apakah merdeka itu sebatas kata “merdeka”, 2) Apakah merdeka itu sebatas hidup yang bebas dari penjajahan?, dan lain sebagainya. Manusia hidup untuk berjuang dan mencari tentang kebahagiaan. Apabila kebahagiaan itu telah didapatkan, kehidupannya tidak bisa jika dikatakan selesai sampai pada titik “bahagia” itu. Ketika manusia mendapatkan suatu kebahagiaan, kelak akan muncul persoalan, masalah, serta rintangan yang baru untuk menguji mereka.
Dalam novel “Jalan Tak Ada Ujung” ini sendiri menyebutkan secara tersirat mengenai makna dari novel ini dari dialog para tokoh Hazil pada halaman 49, yakni:
Saya tidak pernah ragu, dari mulai. Saya sudah tahu –semanjak mula— bahwa jalan yang kutempuh ini adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus, tidak ada ujungnya. Perjuangan ini, meskipun kita sudah merkeda, belum juga sampai ke ujungnya. Di mana ada ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjuangan, maka itu tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya, telah memilih jalan perjuangan.”
Selain terlihat dari dialog tokoh, deskripsi mengenai Guru Isa juga mengaitkan secara emplisit makna dari novel tersebut. Deskripsi tersebut terlihat pada halaman 92, yakni:
Dan. Guru Iisa ingat jalan tidak ada ujung. Sekali dijalani harus dijalani terus, tiada habis-habisnya. Terutama sekali ketakutannya sendiri. Dia takut ikut dengan mereka yang memperolok-olok maut ini. Dan lebih takut lagi untuk tidak ikut.
Telah begitu lama ia mengikuti anak-anak perjuangan ini yang dapat tertawa bercakap-cakap dengan maut, masih saja dalam hati Guru Isan tidak bisa timbul kegembiraan untuk perjuangan. Hatinya terlalu takut untuk merasa gembira.
Sehingga, “Jalan Tak Ada Ujung” mencerminkan segala sesuatu yang timbul tiada berkesudahan. Permasalahan, perjuangan, dan pencarian yang dilakukan oleh manusia akan tetap berlangsung hingga ia meninggal. Akan tetapi, novel “Jalan Tak Ada Ujung” menyampaikan hal tersebut melalui ketakutan-ketakutan yang dirasakan oleh tokoh sentral dan beberapa tokoh lain di dalamnya. Oleh sebab itu, kata “Jalan Tak Ada Ujung” seakan mengalami penggantian arti.


BAB III
PENUTUP

Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis ini memang menarik untuk di apresiasi. Meskipun pada kenyataannya novel ini termasuk dalam novel angkatan 45, namun justru disinilah orang akan tertarik untuk membacanya. Karena pada hakikatnya sebuah karya sastra bisa dijadikan sebagai sumber referensi sejarah, dengan karya sastra kita bisa mengetahui realitas dunia sebelum kita terlahir melalui gaya penceritaan yang disampaikan oleh penulis karya sastra dalam karyanya, termasuk dalam novel Jalan Tak Ada Ujung yang sangat kental dengan unsur-unsur sejarahnya. Secara garis besar semua setting, baik itu setting waktu, tempat, dan suasana merefleksikan atau menggambarkan kepada pembaca bagaimana situasi kota Jakarta yang begitu mencekam dan sangat tidak kondusif setelah kemerdekaan. Membaca novel ini tidaklah sekedar membaca sejarah masa kemerdekaan, lebih jauh konflik-konflik dalam novel pun sangat menarik untuk diberi penilaian tersendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Budianta. 2004. “Tragedi yang Menuai Berkah: Munculnya Aktivisme Perempuan dalam Masa Reformasi”, dalam Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
https://id.wikipedia.org/wiki/Perundingan_Linggarjati diunduh pada 15 Juni 2016 pukul 14.35 WIB.
Lubis, Mochtar. 2003. Jalan Tak Ada Ujung. Cetakan Keenam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar