Minggu, 01 April 2018

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

PENDAHULUAN
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, “philosophia”, yang tersusun dari kata “philos” yang berarti cinta atau “philia” yang berartikan persahabatan, dan kata “shopos” yang berartikan kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi (Bagus, 1996: 242).
Menurut Endang Saifuddin Anshari, MA (1979: 157), filsafat diartikan sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada yaitu hakekat Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Pancasila dianggap sebagai sistem filsafat karena pada hakikatnya kelima sila yang terdapat didalamnya merupakan sistem filsafat. Pancasila yang terdiri atas sila-sila memiliki suatu fungsi yang berbeda-beda, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Menurut Kaelan (2010: 57-58). Sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk suatu tujuan tertentu, dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sebagai sistem filsafat, pancasila mengandung pemikiran tentang manusia yang berhubungan Tuhan yang dapat dilihat dalam sila pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan diri sendiri yang terlihat dalam sila kedua yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradap, dengan sesama masyararakat Indonesia yang terlihat dalam sila ketiga, keempat, dan kelima yakni “Persatuan Indonesia”, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”, dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Filsafat pancasila juga dapat diartikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dari kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila merupakan hasil dari perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul Gani: 1998).



PEMBAHASAN
I.     HAKIKAT SILA-SILA PANCASILA
Menurut Notonagoro (1975: 58), hakikat adalah segala sesuatu yang mengandung kesatuan mutlak dari unsur-unsur yang menyusun atau membentuknya. Terkait dengan sila-sila pancasila, pengertian hakikat dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a.       Hakikat abstrak
Hakikat abstrak sila-sila pancasila menunjukan pada kata: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
b.      Hakikat pribadi
Hakikat pribadi sila-sila pancasila menunjukan pada ciri-ciri khusus pancasila yang ada pada bangsa Indonesia yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
c.       Hakikat kongkrit
Hakikat kongkrit sila-sila pancasila terletak pada fungsi pancasila sebagai dasar filsafat negara.

Pancasila sebagai sistem filsafat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
2.    Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut:
·      Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
·      Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4 dan 5;
·      Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5;
·      Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai sila 5;
·      Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Sehingga, inti dari sila-sila Pancasila meliputi:
§ Tuhan, yaitu sebagai kausa prima.
§ Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial.
§ Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri.
§ Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong
Royong.
§ Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
Pancasila yang teridiri dari kelima sila sebagai sistem filsafat meiliki dasar-dasar menyusunnya, yakni dasar ontologis, dasar epistimologis, dan dasar aksiologis (Kaelan: 2010).
a.       Dasar Ontologis (Dasar Antropologis)
Pancasila yang terdiri atas lima sila tidak memiliki asas sendiri-sendiri, melainkan memiliki suatu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis.
Subjek pendukung sila-sila pancasila yakni manusia, sehingga secara ontologis manusia memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa jasmani dan rokhani. Susunan kodrat tersebut dibagi menjadi dua, yakni sifat kodrat manusia (sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan kedudukan kodrat manusia (sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa).
b.      Dasar Epistimologis
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatya juga merupakan sebuah pengetahuan, yang merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Dasar epistemologis pancasila pada tidak dapat dipisahkan dari dasar ontologis pancasila, karena pancasila tidak dapat dipisahkan tentang konsep dasarnya tentang hakikat manusia sebagai pendukung pokok pancasila.
c.       Dasar Aksiologis
Sila-sila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan yang akan diwujudkan dalam kehidupan.
Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
                           1.     Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
                           2.     Nilai instrumental adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan  terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
                           3.     Nilai praktis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
            Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
            Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berke­manusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.  Pengakuan, penerimaan dan penghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencer­min­kan sifat khas sebagai Manusia Indonesia.

II.      KETELADANAN DALAM BERPANCASILA
Pancasila tidak akan memiliki makna tanpa pengalaman. Pancasila bukan sekedar simbol persatuan dan kebanggaan bangsa. Tetapi, pancasila adalah acuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kita wajib mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku kita sehari-hari harus mencerminkan nilai-nilai luhur pancasila. Untuk mengamalkan pancasila kita tidak harus menjadi aparat Negara. Kita juga tidak harus menjadi tentara dan mengangkat senjata. Kita dapat mengamalkan nilai-nilai pancasila di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kita dapat memulai dari hal-hal kecil dalam keluarga. Misalnya melakukan musyawarah keluarga. Setiap keluarga pasti mempunyai masalah. Masalah dalam keluarga akan terselesaikan dengan baik melalui musyawarah. Kita dapat belajar menyatukan pendapat dan menghargai perbedaan dalam keluarga. Dalam lingkungan sekolahpun kita harus membiasakan bermusyawarah. Hal ini sangat penting karena teman-teman kita berbeda. Berbagai perbedaan akan dengan mudah jika di musyawarahkan. Permasalahan yang berat akan terasa ringan. Keputusan yang diambilpun menjadi keputusan bersama. Hal itu akan mempererat kebersamaan di sekolah. Tanpa musyawarah, perbedaan bukannya saling melengkapi. Tetapi, jusru akan saling bertentangan. Oleh karena itu, kita harus terbiasa bermusyawarah di sekolah. Kerukunan hidup disekolah akan terjaga. Dengan demikian, kita tidak akan kesulitan dalam menghadapi lingkungan yang lebih luas. Berawal dari keluarga kemudian meningkat dalam sekolah, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Keteladanan dalam perpancasia sendiri juga memiliki pedoman untuk pengamalannya, yakni dituangkan dalam ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Noor Ms. Bakry: 1994, 183-185):
1.      Sila ketuhanan Yang Maha Esa
1)      Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agamanya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2)      Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3)      Mengembangkan saling hormat menghormati kemerdekaan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4)      Menghargai setiap bentuk ajaran agama, dan tidak boleh memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2.      Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
1)      Mengakui dan memperlakukan manusia dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2)      Memandang persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia tanpa membedakan suku, turunan dan kedudukan sosial.
3)      Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tepa selira dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
4)      Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan berani membela kebenaran dan keadilan.
5)      Merasa sebagai bagian dari seluruh umat manusia dan karena itu berkewajiban mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
3.      Sila persatuan Indonesia
1)      Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2)      Cinta tnah air dan bangsa Indonesia, sehingga sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa, apabila diperlukan.
3)      Bangga sebagai bangsa Indonesia ber-Tanah air Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dunia.
4)      Mengembangkan rasa persatuan dan kesatuan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika dalam memajukan pergaulan hidup bersama.
            4.      Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
1)      Sebagai warga negara dan warga-masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sma dalam.
2)      Keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlabih dahulu diadakan musyawarah, dan keputusan musyawarah diusahakan secara mufakat, diliputi oleh semangat kekeluargaan.
3)      Menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggungjawab.
4)      Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan hati nurani yang luhur, dengan mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, serta tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
5)      Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
            5.      Sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
1)      Menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat indonesia.
2)      Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur menceminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
3)      Bersikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati ha-hak orang lain.
4)      Memupuk sikap suka memberi pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan agar dapat berdiri sendiri, tidak menggunakan hak milik untuk pemerasan, pemborosan, bergaya hidup mewah dan perbuatan lain yang bertentangan dan merugikan kepentingan umum.
5)      Memupuk sikap suka bekerja keras dan menghargai karya orang lain yang bermanfaat, serta bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan kesejahteraan bersama.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani, Ruslan. 1998. “Pancasila dan Reformasi”, Makalah Seminar Nasional KAGAMA. 8 Juli 1998. Yogyakarta.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia.
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Ms Bakry, Noor. 1994. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Liberti.
Notonagoro. 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.

Purwasturi, Andriani dkk. 2002. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar