PENDAHULUAN
Istilah filsafat berasal
dari bahasa Yunani, “philosophia”,
yang tersusun dari kata “philos” yang
berarti cinta atau “philia” yang
berartikan persahabatan, dan kata “shopos”
yang berartikan kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,
inteligensi (Bagus, 1996: 242).
Menurut Endang Saifuddin Anshari, MA (1979: 157), filsafat diartikan sebagai hasil daya upaya manusia dengan
akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan
integral hakikat sarwa yang ada yaitu hakekat Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Pancasila dianggap sebagai
sistem filsafat karena pada hakikatnya kelima sila yang terdapat didalamnya
merupakan sistem filsafat. Pancasila yang terdiri atas sila-sila memiliki suatu
fungsi yang berbeda-beda, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan
yang sistematis. Menurut Kaelan (2010: 57-58). Sistem adalah suatu kesatuan
bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk suatu tujuan
tertentu, dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sebagai sistem filsafat,
pancasila mengandung pemikiran tentang manusia yang berhubungan Tuhan yang
dapat dilihat dalam sila pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan diri
sendiri yang terlihat dalam sila kedua yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradap,
dengan sesama masyararakat Indonesia yang terlihat dalam sila ketiga, keempat,
dan kelima yakni “Persatuan Indonesia”, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”, dan “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Filsafat pancasila juga
dapat diartikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai
dasar negara dari kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan
pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila merupakan
hasil dari perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia yang
dituangkan dalam suatu sistem (Abdul Gani: 1998).
PEMBAHASAN
I.
HAKIKAT
SILA-SILA PANCASILA
Menurut Notonagoro (1975:
58), hakikat adalah segala sesuatu yang mengandung kesatuan mutlak dari
unsur-unsur yang menyusun atau membentuknya. Terkait dengan sila-sila pancasila,
pengertian hakikat dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a. Hakikat abstrak
Hakikat abstrak sila-sila pancasila menunjukan pada
kata: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
b. Hakikat pribadi
Hakikat pribadi sila-sila pancasila menunjukan pada
ciri-ciri khusus pancasila yang ada pada bangsa Indonesia yang membedakan
bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
c. Hakikat kongkrit
Hakikat kongkrit sila-sila pancasila terletak pada
fungsi pancasila sebagai dasar filsafat negara.
Pancasila sebagai sistem filsafat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Sila-sila
Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan kata lain,
apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah
maka itu bukan Pancasila.
2.
Susunan Pancasila
dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut:
· Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
· Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai
sila 3, 4 dan 5;
· Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai
sila 4, 5;
· Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3, dan mendasari dan menjiwai
sila 5;
· Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Sehingga,
inti dari sila-sila Pancasila meliputi:
§
Tuhan, yaitu sebagai kausa prima.
§
Manusia, yaitu makhluk
individu dan makhluk sosial.
§
Satu, yaitu kesatuan memiliki
kepribadian sendiri.
§
Rakyat, yaitu unsur
mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong
Royong.
§ Adil, yaitu memberi
keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
Pancasila yang teridiri dari
kelima sila sebagai sistem filsafat meiliki dasar-dasar menyusunnya, yakni
dasar ontologis, dasar epistimologis, dan dasar aksiologis (Kaelan: 2010).
a. Dasar Ontologis
(Dasar Antropologis)
Pancasila yang terdiri atas
lima sila tidak memiliki asas sendiri-sendiri, melainkan memiliki suatu
kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah
manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis
oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis.
Subjek pendukung sila-sila
pancasila yakni manusia, sehingga secara ontologis manusia memiliki hal-hal
yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa jasmani dan
rokhani. Susunan kodrat tersebut dibagi menjadi dua, yakni sifat kodrat manusia
(sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan kedudukan kodrat manusia
(sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa).
b. Dasar
Epistimologis
Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat pada hakikatya juga merupakan sebuah pengetahuan, yang
merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas
alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang makna hidup serta
sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
hidup dan kehidupan. Dasar epistemologis pancasila pada tidak dapat dipisahkan
dari dasar ontologis pancasila, karena pancasila tidak dapat dipisahkan tentang
konsep dasarnya tentang hakikat manusia sebagai pendukung pokok pancasila.
c. Dasar Aksiologis
Sila-sila sebagai suatu
sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai
yang terkandung dalam pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan cita-cita, harapan,
dambaan yang akan diwujudkan dalam kehidupan.
Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai
dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1. Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat
mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi.
Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,
nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
2. Nilai instrumental adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma
hukum yang selanjutnya akan
terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
3. Nilai praktis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam
kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai
instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nila-nilai
dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang
mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara
aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber
of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan,
yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan atas
nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan
bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia.
II.
KETELADANAN
DALAM BERPANCASILA
Pancasila tidak akan memiliki makna
tanpa pengalaman. Pancasila bukan sekedar simbol persatuan dan kebanggaan
bangsa. Tetapi, pancasila adalah acuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, kita wajib mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam
kehidupan sehari-hari. Tingkah laku kita sehari-hari harus mencerminkan
nilai-nilai luhur pancasila. Untuk mengamalkan pancasila kita tidak harus
menjadi aparat Negara. Kita juga tidak harus menjadi tentara dan mengangkat
senjata. Kita dapat mengamalkan nilai-nilai pancasila di lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Kita dapat memulai dari hal-hal kecil dalam keluarga.
Misalnya melakukan musyawarah keluarga. Setiap keluarga pasti mempunyai
masalah. Masalah dalam keluarga akan terselesaikan dengan baik melalui
musyawarah. Kita dapat belajar menyatukan pendapat dan menghargai perbedaan
dalam keluarga. Dalam lingkungan sekolahpun kita harus membiasakan
bermusyawarah. Hal ini sangat penting karena teman-teman kita berbeda. Berbagai
perbedaan akan dengan mudah jika di musyawarahkan. Permasalahan yang berat akan
terasa ringan. Keputusan yang diambilpun menjadi keputusan bersama. Hal itu
akan mempererat kebersamaan di sekolah. Tanpa musyawarah, perbedaan bukannya
saling melengkapi. Tetapi, jusru akan saling bertentangan. Oleh karena itu,
kita harus terbiasa bermusyawarah di sekolah. Kerukunan hidup disekolah akan
terjaga. Dengan demikian, kita tidak akan kesulitan dalam menghadapi lingkungan
yang lebih luas. Berawal dari keluarga kemudian meningkat dalam sekolah,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Keteladanan
dalam perpancasia sendiri juga memiliki pedoman untuk pengamalannya, yakni dituangkan dalam ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Noor Ms. Bakry: 1994, 183-185):
1.
Sila ketuhanan Yang Maha Esa
1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agamanya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antar
pemeluk agama dan penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3) Mengembangkan saling hormat menghormati kemerdekaan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4) Menghargai setiap bentuk ajaran agama, dan tidak boleh
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada
orang lain.
2.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
1) Mengakui dan memperlakukan manusia dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2) Memandang persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama
manusia tanpa membedakan suku, turunan dan kedudukan sosial.
3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tepa
selira dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
4) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan
kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan berani membela kebenaran dan keadilan.
5) Merasa sebagai bagian dari seluruh umat manusia dan karena
itu berkewajiban mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan
bangsa-bangsa lain.
3.
Sila persatuan Indonesia
1) Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2) Cinta tnah air dan bangsa Indonesia, sehingga sanggup dan
rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa, apabila diperlukan.
3) Bangga sebagai bangsa Indonesia ber-Tanah air Indonesia dalam
rangka memelihara ketertiban dunia.
4) Mengembangkan rasa persatuan dan kesatuan atas dasar Bhinneka
Tunggal Ika dalam memajukan pergaulan hidup bersama.
4.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
1) Sebagai warga negara dan warga-masyarakat Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sma dalam.
2) Keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlabih dahulu
diadakan musyawarah, dan keputusan musyawarah diusahakan secara mufakat,
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
3) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan
musyawarah dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggungjawab.
4) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan hati nurani yang
luhur, dengan mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, serta tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain.
5) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5.
Sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
1) Menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat indonesia.
2) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur menceminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
3) Bersikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban serta menghormati ha-hak orang lain.
4) Memupuk sikap suka memberi pertolongan kepada orang lain yang
membutuhkan agar dapat berdiri sendiri, tidak menggunakan hak milik untuk pemerasan,
pemborosan, bergaya hidup mewah dan perbuatan lain yang bertentangan dan
merugikan kepentingan umum.
5) Memupuk sikap suka bekerja keras dan menghargai karya orang
lain yang bermanfaat, serta bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan
kesejahteraan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gani, Ruslan. 1998. “Pancasila dan Reformasi”,
Makalah Seminar Nasional KAGAMA. 8 Juli 1998. Yogyakarta.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia.
Kaelan. 2010. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Ms Bakry, Noor. 1994. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Liberti.
Notonagoro. 1975. Pancasila
Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.
Purwasturi,
Andriani dkk. 2002. Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: UNY Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar