Review: Equilibrium | Bramantio



"Di jantung senja kupetik bunha matahari sekarat untuk merayakan metamorfosismu di pantai yang menyimpan rahasia samsara."

DOSENKU PSIKOPAT! Yap, kalimat itu paling menggambarkan peraasnku selama baca Equilibrium (EQ) karya Pak Bramantio. Cuma ada 9 cerpen, tapi sukses membuatku stres berat! Menurutku, ini bukan tipe buku yang bisa dicerna oleh orang yang tak terbiasa baca sastra. Pasti belum apa-apa udah mau tutup buku, andai mau dipaksa juga gak bakal paham maunya apa!

EQ membuatku berhenti menebak setelah cerpen ke-2. Semua tebakanku salah! Aku langsung berpikir, "gini amat kalau kritikus sastra nulis sastra". Diksi-diksi ajaib ala Pak Bram agaknya gak pernah aku temui di karya apa pun yang kubaca sebelumnya. Sesekali aku harus buka app KBBI yang untung saja tak pernah kuhapus meski hampir tak pernah digunakan. Kadang, aku harus baca kalimat 2-3 kali sampai ngeh INI PAK BRAM MAUNYA APA?!

Kalau penulis biasanya bikin pembukaan simpel, Pak Bram sengaja bikin frustasi. Aku gak pernah melihat kalimat sepanjang itu dengan tanda baca amat minim. Belum-belum udah diminta FOKUS! Ketika cerpen kedua, aku dengan sombongnya bilang "ah, ini tuh konsepnya dikasih bumbu fantasi sebagai plot twist". KESOMBONGANKU KEKNYA DITERTAWAKAN PAK BRAM!

Bizarroseania, cerpen ke-2, menggelitikku di bagian akhir. Awalnya semua terasa biasa aja, membawa premis yang cukup menarik tapi ya gak yang spesial menurutku. Lalu, jeng jeng! Aku mulai bertatapan dengan tema yang ajaib, fantasi multiverse yang tak disangka-sangka nongol sebagai antiklimaks.

Cerpen ke-3, Chimera, membuatku BLANK seusai membacanya. Hanya kata PSIKOPAT ditulis kapital segede gaban untuk menggambarkan Pak Bram. Walau ngeri, Chimera kunobatkan sebagai favoritku di EQ.

Sama halnya dengan Chimera, Doppleganger, masih membuatku ngilu. Cara Pak Bram bermain dengan psikologisku sepertinya patut diacungi jempol. Sebuah cerpen yang membuatku melek seketika.

Kalau Equilibrium, yang dijadikan judul buku ini, aku punya satu kata: ANEH. Bukan aneh dalam artian negatif sebenarnya, aneh yang cerdas. Baca cerpen ini juga cukup menarik untukku karena bahas mitologi. Menariknya lagi, karya ini tepat ada di tengah dan memang bermaksud sebagai "penyeimbang" di antara 8 cerpen lainnya.

Fabelofobia menjadi cerpen paling manis dibandingkan ke-8 teman-temannya. Kayaknya, cerpen ini yang punya dialog antarkarakter paling banyak? Meski begitu, bagian akhir tetap bikin aku kedap-kedip karena KOK BISA ENDING-NYA GINI?

Setelah diberi manis-manis, aku diajak menyelidiki kasus melalui Grostesque. Agaknya, aku punya selera yang mirip dengan Pak Bram haha. Misteri yang melibatkan lukisan dan puisi cocok sekali dengan seleraku. Selama baca, aku ikut menebak-nebak siapa dalangnya. Biasannya, orang terdekat yang justru jadi pelaku. Cerpen ini seakan bilang "ya gak salah, tapi gak benar juga".

Grostesque yang membuat punyeng tak membuat cerpen selanjutnya dibuat santai. Hominivorax malah bikin aku berkelana ketika lagi pusing-pusingnya. Genre misteri-thriller-legenda yang beradu manis dan unik. Aku merasa paling ngeri waktu baca ini hahaha.

Last but not least, Inkubus, kisahnya simpel sebenarnya, seorang kakak-adik yang berpisah. Walau premisnya biasa aja, Pak Bram masih berhasil membuat melongo dengan antiklimaks yang dikemas sat set dan berefek "udah nih? eh? gimana?"

Walau tema gado-gado, 9 cerpen di EQ konsisten membuatku blank, pusing, ingin muntah, lalu hmm ingin mencekik Pak Bram wkwk. EQ membuka banyak pandangan soal menulis. Bikin aku menyadari bahwa aku gak bisa berhenti belajar diksi dan menulis 1 genre doang. Kamu gak bakal tahu mana genre terbaikmu sebelum mencoba semua!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama