Senin, 18 Februari 2019

Sistem Genre Sastra Melayu Klasik

Merekonstruksi ‘kesadaran diri’ sastra Melayu dalam zaman klasik, kerangka-kerangka pokok sistem hierarkisnya akan bisa dilukiskan. Dengan mencari tiga ‘lingkup’ yang dibedakan menjadi dalam sistem sastra itu (yaitu ‘lingkup keindahan’, ‘lingkup faedah’ dan ‘lingkup kesempurnaan rohani’) merupakan bagian-bagian dari sistem ini yang paling luas. Masing-masing ‘lingkup’ itu memenuhi tugasnya dengan pertolongan sejumlah ‘unsur genre’ tertentu, sebagai pembagian lebih lanjut dari sistem sastra, yang memang lebih rendah dari tingkat ‘lingkup fungsional’. Kemudian akan beralih dari doktrin sastra kepada praktek sastra, dan membuat analisis mengenai ‘struktur-struktur genre’ serta hubungannya dengan ‘lingkup-lingkup fungaional’.
Puisi-puisi naratif, atau syair (kata Melayu ‘syair’ berasal dari kata Arab syi’r, yang berarti ‘sajak’, ‘puisi’), menjadi ‘bentuk genre’ pokok puisi tertulis Melayu selama periode klasik. Syair ini berupa kuatren-kuatren berima tunggal yang berpola aaaa, bbbb, cccc, dll dan yang dari segi irama agak sederhana.
Asal muasal syair menarik perhatian para sarjana sejak 1952, ketika P. Voorhoeve (1968) mengemukakan sebuah hipotesis tentang timbulnya bentuk puisi ini. Selanjutnya dibahas oleh A. Teeww (1996a), Naugib Al-Attas (1968), dan A. Sweeney (1971). Sekalipun pendapat mereka berbeda-beda, namun semuanya sampai pada kesimpulan dan dasar yang sama yakni:
Suatu bentuk puisi yang persis memenuhi syarat untuk disebut sebagai syair tidak terdapat di dalam sastra lisan bangsa Melayu, atau bangsa-bangsa lain di Nusantara, namun pengaruh puisi lisan terhadap syair cukup dimungkinkan. Syair berkembang dalam pengaruh puisi Parsi da Arab di dalam kalangan Sufi.
Masalah asal muasal dua ‘struktur genre’ baru yang lain, yaitu karangan pengajaran atau kitab dan cermin didaktis atau hidayat (kadang-kadang disebut juga nasihat), lebih sederhana pemecahannya disbandingkan dengan masalah asal muasal syair. Dua ‘struktur genre’ ini merupakan bagian kesusastraan Melayu dalam periode klasik, dan muncul untuk pertama kalinya di Aceh.
L. Brakel (1979:23-24) menegaskan, bahwa Syarab al-Asyikin merupakan contoh pertama dari ‘struktur genre’ kitab, yang dibuktikan dengan kenyataan, bahwa Hamzah Fansuri merasa perlu untuk mengemukakan definisi tentang karangannya. Sehingga, kitab tiada lain ialah analog Melayu untuk karangan-karangan sistematis Arab dan Parsi (khususnya karangan-karangan tentang keagamaaan dan mistik), yang juga merupakan sumber asal muasal kitab.
Bukhari al-Jauhari menegaskan tentang genre bukunya sebagai suatu hidayat (buku pedoman, pendidikan), yaitu sebuah ‘cermin didaktis’ karena, pertama, membuka “jalan kepada segala kebajikan dunia [dan] akhirat”. Kedua, di dalamnya dikandung segala “yang terindah dan terpilih dan tertinggi”. Ketiga, karena “kitab ini dengan sebenarnya dan sempurnanya [adalah] suatu ni’mat (karunia) Allah SWT akan memberi kuat kepada ruh [para pembaca].
Dengan demikian, serentah dengan kitab keagamaan, sebagai genre paling penting dalam ‘lingkup kesempurnaan rohani’, ‘cermin didaktis’ atau hidayat, sebagai genre utama dalam ‘lingkup faedah’ itu, telah masuk ke dalam sastra Melayu klasik melalui sastra Parsi.
Istilah-istilah tentang ‘struktur genre’ berbeda-beda, mengingat sifatnya masing-masing, dan terbagi dalam dua golongan. Golongan pertama, ialah sejarah/salsasilah dan hidayat/nasihat, yang menunjukkan pada karangan-karangan yang sifatnya, baik sifat isi maupun bentuk, ialah kurang-lebih stabil dan homogeny (seragam). Golongan kedua, ialah istilah-istilah hikayat, syair, dan kitab, yang menunjuk pada karangan-karangan yang sifat isinya ialah heterogen atau berbeda-beda belaka. Istilah-istilah dalam golongan pertama dapat dipandang sebagai penentuan terhadap istilah-istilah dalam golongan kedua.

Lingkup Keindahan

Menanam harmoni dalam jiwa (hati) manusia melalui bunyi dan arti, dan dengan demikian menciptakan syarat-syarat untuk membantu perkembangan tingkah-tingkah laku yang halus dan sopan, ialah tugas kalangan luas karya-karya sastra baik pinjaman maupun yang asli, yang tampil di depan pembaca sebagai semacam kesinabungan tertulis-lisan-teatral. Pada bidang inilah yaitu periferi tidak hanya bagi struktur rohani manusia menurut pengertiannya secara tradisional, tetapi juga bagi kebudayaan Melayu yang telah diislamisasikan, yang terhadapnya terkaitkan warisan dari zaman pra-Islam yang terus disalin. Karya-karya zaman Islam awal, yang berasal dari sastra Parsi atau Indo-Parsi, juga terus merupakan satu komponen yang sangat penting dalam beletri Melayu pada periode klasik.
Setelah itu, ‘hikayat-hikayat sintetis’ mulai dibicarakan, tanpa catatan khusus apa pun, sebagai genre yang muncul dalam zaman sastra Melayu klasik. Lahirnya ‘hikayat sintetis’ adalah suatu gejala yang sejalan dengan pembentukan “kesadaran diri” Islam dalam sastra Melayu dan timbulnya ‘bentuk-bentuk genre’ baru, yaitu syair dan kitab yang lebih sesuai dengan tuntutan Islam, dalam bidang kegiatan sastra, serta kejayaan tasawuf atas Hinduisme dan Budhisme dalam bidang keagamaan.
Selain dari berbagai macam ‘hikayat pertualangan ajaib’, ‘lingkup keindahan’ meliputi ‘syair romantis’ (atau asmara), yang dalam hal isi tak kurang beraneka-warna dibanding dengan hikayat, dan ‘syair alegoris’ yang berbeda dari ‘syair romantis’ hanya dalam sifat tokoh-tokoh utamanya yang zoomorfik. Genre ‘syair romantis’ itu mencakup paraphrase-parafrase puisi secara langsung dari ‘hikayat petualangan ajaib’ dan dari lakon-lakon wayang.
Fungsi utama baik ‘hikayat petualangan ajaib’ maupun ‘syair romantis’ dan ‘syair alegoris’ ialah penghibur hati, yaitu memulihkan keseimbangan afek-afek (perasaan) di dalam jiwa, dengan jalan mempengaruhinya melalui keindahan yang inheren pada ‘strutur verbal’ dan ‘struktur mental’ karangan sastra dalam genre-genre itu, atau sebagaimana orang Melayu menyebutnya: melalui keindahan bunyi dan isi-nya.

Lingkup Faedah

Walaupun pertama-tama berorientasi pada keindahan kata dan pelukisan tentang tokoh utama yang sopan-satun, namun ‘hikayat pertualangan ajaib’ dan ‘syair romantis’ menyerap segala macam bahan didaktis dengan amat mudahnya. Oleh karenanya bisa berpengaruh terhadap akal, dan kadang-kadang juga hati nurani.  Namun demikian khususnya sastra ;cermin didaktis’ dan ‘kronik historis’ yang berorientasi pada bidang akal. Menjadi keyakinan di dalam tradisi Isla, bahwa akal dikaruniakan pada manusia dari saat dia lahir.
Dalam ‘hikayat-hikayat petualangan ajaib’, dengan melalui akal, keindahan dapat merupakan pengaruh tambahan terhadap jiwa, yaitu berkat tamsil-tamsilnya atau pernyataan-pernyataannya yang tidak langsung, maka di dalam ‘sastra cermin’ keindahan membantu membuat ide tidak saja “berguna bagi akal”, tetapi juga menyenangkan bagi jiwa sehingga ide itu memasuki seluruh hakikat kemanusiaan.
Struktur karangan-karangan dalam ‘sastra cermin’ juga ditentukan oleh tujuan-tujuan adab. Bentuk-bentuk komposisinya mengakibatkan lebih suka pada penyajian sebaik-baiknya sesuatu cerita, atau serangkaian cerita-cerita yang ideologis homogen, atau perwujudan ide-ide.
Apabila ‘sastra cermin’ terutama terdiri dari karya-karya pinjaman, maka kelompok karya-karya kedua yang termasuk dalam ‘lingkup faedah’, yaitu historiografi’ barangkali merupakan bagian yang paling asli dari sastra Melayu tradisional. Sangat banyak jumlah kronik dan ‘syair sejarah’ dari periode klasik. Berbeda dari kronik, ‘syair sejarah’ itu tidak melukiskan rangkaian kejadian-kejadian yang bertalian, tetapi satu kejadian tersendiri dan yang lebih sering lagi tentang sesuatu peperangan.
Berikut merupakan tahap dari evolusi historiografi Melayu:
1.      Tahap pertama: mitos Melayu tentang asal-usul dinasti sebagai hasil perkawinan tiga unsur alam semesta telah dicatat di dalam Salasilah Kutai dan Hikayat Banjar. (Abad ke-15 sampai awal abad 16).
2.      Tahap kedua: dicerminkan oleh Sejarah Melayu dan Hikayat Raja Pasai. (Abad ke-15 sampai awal abad 16).
3.      Tahap ketiga:  memiliki kekhasa ‘histiografi puji-pujian’ yakni contoh pertamanya Hikayat Aceh. (Paro pertama abad ke-17 sampai paro kedua abad ke-18).
4.      Tahap keempat: jenis kronik yang hanya menyanjung pada satu orang raja. Contohnya Peringatan Sejarah Negeri Johor, atau lebih dkenal dengan ‘histiografi Johor-Riau masa belakangan’. (Akhir abad ke-18 sampai abad ke-19).
Periodisasi tahap evolusi histiografi Melayu tidak lebih dari garis vector dalam evolusi histiografi Melayu secara menyeluruh, yang ditentukan oleh Islamisasinya yang makin lama makin mendalam. Adapun gambaran empiris, pertama-tama, sedikit-banyak memperlihatkan lancarnya transisi dari jenis kronik yang satu ke yang lain. Kedua, gambaran empiris ini membuktikan koeksistensi antara jenis-jenis kronik Melayu dari tahap-tahap evolusi yang berbeda. Koeksistensi tersebut ialah hasil korelasi istimewa antara unsur-unsur pra-Islam, Islam awal dan klasik di dalam setiap pusat sastra, artinya heterogenitas Islamisasi atas daerah-daerah pusat dan pinggiran dari dunia Melayu.

Lingkup Kesempurnaan Rohani

Tercerahinya hati nurani merupakan tugas karangan-karangan yang bersifat keagamaan dan mistik. Berbeda dengan dua ‘lingkup fungsional’, karangan-karangan ‘lingkup kesempurnaan rohani’ ini memenuhi tugasnya tidak secara langsung melainkan secara tidak langsung. Menurut ajaran Islam, hanya oleh Rahmat yang dikaruniakan Allah “kepada barang siapa Ia berkenan”, yang bukannya karena pahala tetapi karena cinta, dapat membukakan hati nurani, artinya mengaruniainya dengan kemampuan untuk menangkap Realitas Tertinggi. Dalam hal itu hati nurani harus diam terus-menerus siap menerima karunia itu, dan ‘sastra religious-mistik’ mempunyai dampaknya terhadap hati nurani “musafir” atau “penuntut”, emmbantu menyucikannya dan menyiapkannya untuk tercerahi.
Adapun dalam karya-karya, ‘lingkup kesempurnaan rohani’ jauh lebih banyak dibanding dengan semua ‘lingkup’ lainnya di dalam sistem sastra Melayu.
Dalam sistem sastra Islam Melayu, ‘sastra mistik-keagamaan’ merupakan suatu lingkaran yang paling dekat dengan pusatnya. Tafsir yaitu ulasan terhadap Al-Quran dan ditulis dalam bahasa Arab.
Kitab, sejenis karangan keagamaan yang khas ilmiah dalam metode penyampaian isinya, disusun terutama untuk murid-murid pesantren dan anggota-anggota tarekat Sufi. Pada keseluruhannya ‘sastra kitab’ terdiri dari karangan yang sebagai berikut:
-          Kitab tentang ilmu fikih
-          Kitab tentang kalam
-          Kitab tentang tasawuf
-          Tafsir-tafsir
-          Kitab tentang tajwid
-          Kitab tentang nahu
Dari sudut sastra, yang lebih penting dalam ‘lingkup kesempurnaan rohani’ ialah genre ‘hikayat hagiografi’. Walaupun dalam banyak hal mirip dengan ‘hikayat petualangan ajaib’ dab ‘sastra cermin’, hikayat jenis ini tidak melukiskan rokoh satria dan sopan-santun yang mencapai sukses dalam kehidupan duniawi. Tetapi yang dilukiskannya tokoh yang, pertama-tama, lurus hari dan tidak mementingkan diri, penuh keimanan dan dikaruniai ilmu keagamaan atau mencarinya. Karenanya ‘hikayat hagiografi’ lazim dipenuhi dengan motif-motif kegaiban dan petualangan, serta menawari pembaca dengan kebenaran iman Islam dalam bentuk yang memikat.
Berikut merupakan siklus mengenai ‘hikayat-hikayat hagiografi’ Melayu:
1.      Siklus pertama: hikayat-hikayat yang menceritakan tentang nabi-nabi dan tokoh-tokoh Al-Quran.
2.      Siklus kedua: hikayat-hikayat tentang bermacam-macam tingkatan dan mukjizat dalam kehidupan Nabi Muhammad, tera dan mahkota nabi-nabi.
3.      Siklus ketiga: karangan-karangan tentang tokoh-tokoh semasa Nabi Muhammad, baik sahabat maupun lawannya.
‘Sastra Sufi’ memegang peranan penting dalam pembentukan sastra Melayu dan ‘kesadaran dirinya’. Pertama-tama karena sifat-sifat tertentu dari doktrinnya dan berkat gaya khotbahnya yang memilkukan, ‘sastra Sufi’ dengan mahirnya menggunakan cara pengungkapan ide-ide yang simbolis dan ekspresif, yang seringkali mencari bahannya dari kebudayaan lokal.
‘SYAIR-MISTIK KEAGAMAAN’
Seperti semua ‘lingkup’ sistem sastra lainnya, prosa mistik-keagamaan Melayu mempunyai rangkapannya, yaitu ‘syair mistik-keagamaan’. Sebenarnya semua genre ‘lingkup kesempurnaan rohani’ tersebut di atas mempunyai rangkapannya yang berbentuk syair, yaitu ‘syair-syair hagiografi’ dan syair yang serupa dengan kitab (syair tentang dasar-dasar Islam).
TIMBULNYA KONSEP KEPENGARANGAN PRIBADI

Dalam periode klasik dari evolusi sastra Melayu, tidak saja terbentuk ‘kesadaran diri’ sastra, dan berdasarkan itu lahirlah sistem ‘bentuk-bentuk genre’ serta genre-genre tersendiri. Tetapi juga pada saat inilah ketika transisi dari kepengarangan tanpa-nama ke bernama mulai terjadi. Tak peduli seorang penulis benar-benar mengarang suatu karangan tertentu (atau suatu resensinya), ataukah hanya oleh berbagai alasan nama dibubuhkan padanya, tendensi memberikan sesuatu tulisan pada seseorang tertentu itu sendiri lebih mencolok dari sebelumnya, dan menjadi bukti tentang perubahan-perubahan penting di dalam konsep kreativitas sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar