Merekonstruksi
‘kesadaran diri’ sastra Melayu dalam zaman klasik, kerangka-kerangka pokok
sistem hierarkisnya akan bisa dilukiskan. Dengan mencari tiga ‘lingkup’ yang
dibedakan menjadi dalam sistem sastra itu (yaitu ‘lingkup keindahan’, ‘lingkup
faedah’ dan ‘lingkup kesempurnaan rohani’) merupakan bagian-bagian dari sistem
ini yang paling luas. Masing-masing ‘lingkup’ itu memenuhi tugasnya dengan
pertolongan sejumlah ‘unsur genre’ tertentu, sebagai pembagian lebih lanjut
dari sistem sastra, yang memang lebih rendah dari tingkat ‘lingkup fungsional’.
Kemudian akan beralih dari doktrin sastra kepada praktek sastra, dan membuat
analisis mengenai ‘struktur-struktur genre’ serta hubungannya dengan
‘lingkup-lingkup fungaional’.
Puisi-puisi
naratif, atau syair (kata Melayu ‘syair’ berasal dari kata Arab syi’r, yang berarti ‘sajak’, ‘puisi’),
menjadi ‘bentuk genre’ pokok puisi tertulis Melayu selama periode klasik. Syair
ini berupa kuatren-kuatren berima tunggal yang berpola aaaa, bbbb, cccc, dll
dan yang dari segi irama agak sederhana.
Asal muasal
syair menarik perhatian para sarjana sejak 1952, ketika P. Voorhoeve (1968)
mengemukakan sebuah hipotesis tentang timbulnya bentuk puisi ini. Selanjutnya
dibahas oleh A. Teeww (1996a), Naugib Al-Attas (1968), dan A. Sweeney (1971).
Sekalipun pendapat mereka berbeda-beda, namun semuanya sampai pada kesimpulan
dan dasar yang sama yakni:
Suatu
bentuk puisi yang persis memenuhi syarat untuk disebut sebagai syair tidak
terdapat di dalam sastra lisan bangsa Melayu, atau bangsa-bangsa lain di
Nusantara, namun pengaruh puisi lisan terhadap syair cukup dimungkinkan. Syair
berkembang dalam pengaruh puisi Parsi da Arab di dalam kalangan Sufi.
Masalah
asal muasal dua ‘struktur genre’ baru yang lain, yaitu karangan pengajaran atau
kitab
dan cermin didaktis atau hidayat (kadang-kadang disebut juga
nasihat), lebih sederhana pemecahannya disbandingkan dengan masalah asal muasal
syair. Dua ‘struktur genre’ ini merupakan bagian kesusastraan Melayu dalam
periode klasik, dan muncul untuk pertama kalinya di Aceh.
L. Brakel
(1979:23-24) menegaskan, bahwa Syarab
al-Asyikin merupakan contoh pertama dari ‘struktur genre’ kitab,
yang dibuktikan dengan kenyataan, bahwa Hamzah Fansuri merasa perlu
untuk mengemukakan definisi tentang karangannya. Sehingga, kitab tiada lain ialah
analog Melayu untuk karangan-karangan sistematis Arab dan Parsi (khususnya
karangan-karangan tentang keagamaaan dan mistik), yang juga merupakan sumber
asal muasal kitab.
Bukhari
al-Jauhari menegaskan tentang genre bukunya sebagai suatu hidayat (buku pedoman,
pendidikan), yaitu sebuah ‘cermin didaktis’ karena, pertama, membuka “jalan
kepada segala kebajikan dunia [dan] akhirat”. Kedua, di dalamnya dikandung
segala “yang terindah dan terpilih dan tertinggi”. Ketiga, karena “kitab ini
dengan sebenarnya dan sempurnanya [adalah] suatu ni’mat (karunia) Allah SWT
akan memberi kuat kepada ruh [para pembaca].
Dengan
demikian, serentah dengan kitab keagamaan, sebagai genre
paling penting dalam ‘lingkup kesempurnaan rohani’, ‘cermin didaktis’ atau hidayat,
sebagai genre utama dalam ‘lingkup faedah’ itu, telah masuk ke dalam
sastra Melayu klasik melalui sastra Parsi.
Istilah-istilah
tentang ‘struktur genre’ berbeda-beda, mengingat sifatnya masing-masing, dan
terbagi dalam dua golongan. Golongan
pertama, ialah sejarah/salsasilah dan hidayat/nasihat, yang menunjukkan
pada karangan-karangan yang sifatnya, baik sifat isi maupun bentuk, ialah
kurang-lebih stabil dan homogeny (seragam). Golongan kedua, ialah istilah-istilah hikayat, syair, dan kitab,
yang menunjuk pada karangan-karangan yang sifat isinya ialah heterogen atau
berbeda-beda belaka. Istilah-istilah dalam golongan pertama dapat dipandang
sebagai penentuan terhadap istilah-istilah dalam golongan kedua.
Lingkup Keindahan
Menanam
harmoni dalam jiwa (hati) manusia melalui bunyi dan arti, dan dengan demikian
menciptakan syarat-syarat untuk membantu perkembangan tingkah-tingkah laku yang
halus dan sopan, ialah tugas kalangan luas karya-karya sastra baik pinjaman
maupun yang asli, yang tampil di depan pembaca sebagai semacam kesinabungan
tertulis-lisan-teatral. Pada bidang inilah yaitu periferi tidak hanya bagi struktur
rohani manusia menurut pengertiannya secara tradisional, tetapi juga bagi
kebudayaan Melayu yang telah diislamisasikan, yang terhadapnya terkaitkan
warisan dari zaman pra-Islam yang terus disalin. Karya-karya zaman Islam awal,
yang berasal dari sastra Parsi atau Indo-Parsi, juga terus merupakan satu
komponen yang sangat penting dalam beletri Melayu pada periode klasik.
Setelah
itu, ‘hikayat-hikayat sintetis’ mulai dibicarakan, tanpa catatan khusus apa
pun, sebagai genre yang muncul dalam zaman sastra Melayu klasik. Lahirnya
‘hikayat sintetis’ adalah suatu gejala yang sejalan dengan pembentukan
“kesadaran diri” Islam dalam sastra Melayu dan timbulnya ‘bentuk-bentuk genre’
baru, yaitu syair dan kitab yang lebih sesuai dengan
tuntutan Islam, dalam bidang kegiatan sastra, serta kejayaan tasawuf atas
Hinduisme dan Budhisme dalam bidang keagamaan.
Selain dari
berbagai macam ‘hikayat pertualangan ajaib’, ‘lingkup keindahan’ meliputi
‘syair romantis’ (atau asmara), yang dalam hal isi tak kurang beraneka-warna
dibanding dengan hikayat, dan ‘syair alegoris’ yang berbeda dari ‘syair
romantis’ hanya dalam sifat tokoh-tokoh utamanya yang zoomorfik. Genre ‘syair
romantis’ itu mencakup paraphrase-parafrase puisi secara langsung dari ‘hikayat
petualangan ajaib’ dan dari lakon-lakon wayang.
Fungsi
utama baik ‘hikayat petualangan ajaib’ maupun ‘syair romantis’ dan ‘syair
alegoris’ ialah penghibur hati, yaitu memulihkan keseimbangan
afek-afek (perasaan) di dalam jiwa, dengan jalan mempengaruhinya melalui
keindahan yang inheren pada ‘strutur verbal’ dan ‘struktur mental’ karangan
sastra dalam genre-genre itu, atau sebagaimana orang Melayu menyebutnya:
melalui keindahan bunyi dan isi-nya.
Lingkup Faedah
Walaupun
pertama-tama berorientasi pada keindahan kata dan pelukisan tentang tokoh utama
yang sopan-satun, namun ‘hikayat pertualangan ajaib’ dan ‘syair romantis’
menyerap segala macam bahan didaktis dengan amat mudahnya. Oleh karenanya bisa
berpengaruh terhadap akal, dan kadang-kadang juga hati
nurani. Namun demikian khususnya
sastra ;cermin didaktis’ dan ‘kronik historis’ yang berorientasi pada bidang akal.
Menjadi keyakinan di dalam tradisi Isla, bahwa akal dikaruniakan pada
manusia dari saat dia lahir.
Dalam
‘hikayat-hikayat petualangan ajaib’, dengan melalui akal, keindahan dapat
merupakan pengaruh tambahan terhadap jiwa, yaitu berkat tamsil-tamsilnya atau
pernyataan-pernyataannya yang tidak langsung, maka di dalam ‘sastra cermin’
keindahan membantu membuat ide tidak saja “berguna bagi akal”, tetapi juga
menyenangkan bagi jiwa sehingga ide itu memasuki seluruh hakikat kemanusiaan.
Struktur
karangan-karangan dalam ‘sastra cermin’ juga ditentukan oleh tujuan-tujuan adab. Bentuk-bentuk komposisinya
mengakibatkan lebih suka pada penyajian sebaik-baiknya sesuatu cerita, atau
serangkaian cerita-cerita yang ideologis homogen, atau perwujudan ide-ide.
Apabila
‘sastra cermin’ terutama terdiri dari karya-karya pinjaman, maka kelompok
karya-karya kedua yang termasuk dalam ‘lingkup faedah’, yaitu historiografi’
barangkali merupakan bagian yang paling asli dari sastra Melayu tradisional.
Sangat banyak jumlah kronik dan ‘syair sejarah’ dari periode klasik. Berbeda
dari kronik, ‘syair sejarah’ itu tidak melukiskan rangkaian kejadian-kejadian
yang bertalian, tetapi satu kejadian tersendiri dan yang lebih sering lagi
tentang sesuatu peperangan.
Berikut
merupakan tahap dari evolusi historiografi Melayu:
1.
Tahap pertama: mitos Melayu tentang asal-usul
dinasti sebagai hasil perkawinan tiga unsur alam semesta telah dicatat di dalam
Salasilah Kutai dan Hikayat Banjar. (Abad ke-15 sampai awal
abad 16).
2.
Tahap kedua: dicerminkan oleh Sejarah Melayu dan Hikayat Raja Pasai. (Abad ke-15 sampai awal abad 16).
3.
Tahap ketiga: memiliki kekhasa ‘histiografi puji-pujian’
yakni contoh pertamanya Hikayat Aceh. (Paro
pertama abad ke-17 sampai paro kedua abad ke-18).
4.
Tahap keempat: jenis kronik yang hanya menyanjung
pada satu orang raja. Contohnya Peringatan
Sejarah Negeri Johor, atau lebih dkenal dengan ‘histiografi Johor-Riau masa
belakangan’. (Akhir abad ke-18 sampai abad ke-19).
Periodisasi
tahap evolusi histiografi Melayu tidak lebih dari garis vector dalam evolusi
histiografi Melayu secara menyeluruh, yang ditentukan oleh Islamisasinya yang
makin lama makin mendalam. Adapun gambaran empiris, pertama-tama,
sedikit-banyak memperlihatkan lancarnya transisi dari jenis kronik yang satu ke
yang lain. Kedua, gambaran empiris ini membuktikan koeksistensi antara
jenis-jenis kronik Melayu dari tahap-tahap evolusi yang berbeda. Koeksistensi
tersebut ialah hasil korelasi istimewa antara unsur-unsur pra-Islam, Islam awal
dan klasik di dalam setiap pusat sastra, artinya heterogenitas Islamisasi atas
daerah-daerah pusat dan pinggiran dari dunia Melayu.
Lingkup Kesempurnaan
Rohani
Tercerahinya
hati
nurani merupakan tugas karangan-karangan yang bersifat keagamaan dan
mistik. Berbeda dengan dua ‘lingkup fungsional’, karangan-karangan ‘lingkup
kesempurnaan rohani’ ini memenuhi tugasnya tidak secara langsung melainkan
secara tidak langsung. Menurut ajaran Islam, hanya oleh Rahmat yang
dikaruniakan Allah “kepada barang siapa Ia berkenan”, yang bukannya karena
pahala tetapi karena cinta, dapat membukakan hati nurani, artinya
mengaruniainya dengan kemampuan untuk menangkap Realitas Tertinggi. Dalam hal
itu hati
nurani harus diam terus-menerus siap menerima karunia itu, dan ‘sastra
religious-mistik’ mempunyai dampaknya terhadap hati nurani “musafir”
atau “penuntut”, emmbantu menyucikannya dan menyiapkannya untuk tercerahi.
Adapun
dalam karya-karya, ‘lingkup kesempurnaan rohani’ jauh lebih banyak dibanding
dengan semua ‘lingkup’ lainnya di dalam sistem sastra Melayu.
Dalam
sistem sastra Islam Melayu, ‘sastra mistik-keagamaan’ merupakan suatu lingkaran
yang paling dekat dengan pusatnya. Tafsir yaitu ulasan terhadap Al-Quran dan
ditulis dalam bahasa Arab.
Kitab, sejenis karangan keagamaan yang khas
ilmiah dalam metode penyampaian isinya, disusun terutama untuk murid-murid
pesantren dan anggota-anggota tarekat Sufi. Pada keseluruhannya ‘sastra kitab’
terdiri dari karangan yang sebagai berikut:
-
Kitab
tentang ilmu fikih
-
Kitab
tentang kalam
-
Kitab
tentang tasawuf
-
Tafsir-tafsir
-
Kitab
tentang tajwid
-
Kitab
tentang nahu
Dari sudut
sastra, yang lebih penting dalam ‘lingkup kesempurnaan rohani’ ialah genre
‘hikayat hagiografi’. Walaupun dalam banyak hal mirip dengan ‘hikayat
petualangan ajaib’ dab ‘sastra cermin’, hikayat jenis ini tidak melukiskan
rokoh satria dan sopan-santun yang mencapai sukses dalam kehidupan duniawi.
Tetapi yang dilukiskannya tokoh yang, pertama-tama, lurus hari dan tidak
mementingkan diri, penuh keimanan dan dikaruniai ilmu keagamaan atau
mencarinya. Karenanya ‘hikayat hagiografi’ lazim dipenuhi dengan motif-motif
kegaiban dan petualangan, serta menawari pembaca dengan kebenaran iman Islam
dalam bentuk yang memikat.
Berikut
merupakan siklus mengenai ‘hikayat-hikayat hagiografi’ Melayu:
1.
Siklus pertama: hikayat-hikayat yang menceritakan
tentang nabi-nabi dan tokoh-tokoh Al-Quran.
2.
Siklus kedua: hikayat-hikayat tentang
bermacam-macam tingkatan dan mukjizat dalam kehidupan Nabi Muhammad, tera dan
mahkota nabi-nabi.
3.
Siklus ketiga: karangan-karangan tentang
tokoh-tokoh semasa Nabi Muhammad, baik sahabat maupun lawannya.
‘Sastra
Sufi’ memegang peranan penting dalam pembentukan sastra Melayu dan ‘kesadaran
dirinya’. Pertama-tama karena sifat-sifat tertentu dari doktrinnya dan berkat
gaya khotbahnya yang memilkukan, ‘sastra Sufi’ dengan mahirnya menggunakan cara
pengungkapan ide-ide yang simbolis dan ekspresif, yang seringkali mencari
bahannya dari kebudayaan lokal.
‘SYAIR-MISTIK KEAGAMAAN’
Seperti
semua ‘lingkup’ sistem sastra lainnya, prosa mistik-keagamaan Melayu mempunyai
rangkapannya, yaitu ‘syair mistik-keagamaan’. Sebenarnya semua genre ‘lingkup
kesempurnaan rohani’ tersebut di atas mempunyai rangkapannya yang berbentuk
syair, yaitu ‘syair-syair hagiografi’ dan syair yang serupa dengan kitab
(syair tentang dasar-dasar Islam).
TIMBULNYA KONSEP KEPENGARANGAN PRIBADI
Dalam
periode klasik dari evolusi sastra Melayu, tidak saja terbentuk ‘kesadaran
diri’ sastra, dan berdasarkan itu lahirlah sistem ‘bentuk-bentuk genre’ serta
genre-genre tersendiri. Tetapi juga pada saat inilah ketika transisi dari
kepengarangan tanpa-nama ke bernama mulai terjadi. Tak peduli seorang penulis
benar-benar mengarang suatu karangan tertentu (atau suatu resensinya), ataukah
hanya oleh berbagai alasan nama dibubuhkan padanya, tendensi memberikan sesuatu
tulisan pada seseorang tertentu itu sendiri lebih mencolok dari sebelumnya, dan
menjadi bukti tentang perubahan-perubahan penting di dalam konsep kreativitas
sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar