Minggu, 01 April 2018

Antipositivisme

BAB I
PENDAHULUAN

I.     1  Latar Belakang
Pada masa positivisme ditegaskan bahwa hanya ada satu metode untuk menemukan suatu penemuan yang dapat diakui kebenarannya menurut ilmu pengetahuan. Metode tersebut mengharuskan untuk mengikuti prosedur guna memperoleh pengetahuan tentang suatu fenomena yang bersih dari unsur-unsur yang bersifat evaluatif. Fenomena sebagai objek sains secara nominal adalah realitas di alam indrawi. Menurut kaum positivis, dalam sains tidak perlu orang mempersoalkan isi kandungan yang substantif, normatif, etis, dan estetis, yang ada pada fenomena baik yang bersifat objektif maupun subjektuf.
Akibat persoalan tersebut, para pemikir sosial mempersoalkan bagaimana mungkin fenomena manusia bisa direduksi secara konseptual. Sehingga, muncullah paham anti positivisme yang dengan tegas menolak keberadaan positivisme.
Anti positivisme atau Pospositivisme adalah sudut pandang dalam bidang sosiologi di mana ilmu sosial membutuhkan metode ilmiah yang berbeda dengan metode yang umum digunakan dalam bidang ilmu alam.
Anti positivisme mulai berkembang sejak abad ke-19, dimana positivisme dan naturalisme mulai dipertanyakan oleh para peneliti seperti Wilhelm Dilthey dan Heinrich Rickert, yang berpendapat bahwa dunia kemasyarakatan berbeda dengan dunia fisik alam, dimana masyarakat memiliki aspek yang unik, seperti manka, simbol, norma, dan nilai-nilai yang kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi budaya.
Cara pandang Dilthey dan Rickert ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Max Weber, yang mengenalkan istilah anti positivisme yang kemudian disebut juga sebagai sosiologi humanistik. Menurut cara pandang ini, penelitian harus menggunakan metode dan alat bantu yang khusus, dan menitikberatkan pada nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. Sehingga, mengakibatkan kontroversi tentang bagaimana membedakan antara penelitian subjektif dan objektif.
I.     2   Rumusan Masalah
1.  Apakah anti positivisme itu?
2.  Bagaimana kebenaran dan kenyataan ilmiah menurut paradigma anti positivisme?

I.     3   Tujuan
1.    Memahami mengenai anti positivisme.
2.    Memahami tokoh-tokoh dari anti positivisme.
3.    Memahami kebenaran dan kenyataan ilmiah menurut paradigm anti positivisme.
4.    Memenuhi tugas makalah filsafat ilmiah.

I.     4   Manfaat
1.    Mengetahui mengenai anti positivisme.
2.    Mengetahui tokoh-tokoh dari anti positivisme.
3.    Mengetahui kebenaran dan kenyataan ilmiah menurut paradigm anti positivisme.





BAB II
BIOGRAFI TOKOH

II.  1   Max Weber
Maximillian Weber atau yang dikenal dengan Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tanggal 21 April 1864. Ia adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog asal Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern.
Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meskipun ia juga menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”, yang mewakili penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, “Politik sebagai Panggilan”, ia mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuauh definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Max Weber meninggal dunia pada umur 56 tahun di Munchen, Jerman pada tanggal 14 Juni 1920.

II.  2   Karl R. Popper
Karl R. Popper lahir di Vienna, Austria pada tanggal 28 Juli 1902. Ia adalah salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Ia dikenal dengan gagasan falsifikasi sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi “Masalah Psikologi dalam Psikologi Pemikiran”.
Karya-karyanya yang paling terkenal antara lain The Poverty of Historicism (1945), The Logic of Scientific Discovery (1959), Conjectures and Refutations, The Growt of Scientific Knowledge (1963).
Karl R. Popper meninggal dunia pada umur 92 tahun di London, Inggris pada tanggal 17 September 1994.
II.  3   Thomas Kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir pada tanggal 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio. Ayahnya bernama Samuel L. Kuhn seorang Insinyur insdustri dan ibunya bernama Minette Stroock Kuhn. Ia adalah seorang filsuf, fisikawan, dan sejarawan Amerika Serikat. Ia merupakan salah peneliti yang beraliran analitis yang menghasilkan gagasan pergeseran paradigma dan ketidaksepadanan sains normal. Ia mendapatkan gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. pada tahun 1946.
Karyanya yang paling terkenal adalah buku The Stucture of Scientific Revolutions pada tahun 1962 yang sangat berpengaruh pada dunia akademik. Pada tahun 1964 hingga tahun 1979, ia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton. Kemudian di MIT sebagai profesor filsafat hingga tahun 1991.
Kuhn mendapatkan banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel Lecturer pada tahun 1951, Guggeheim Fellow dari tahun 1954 hingga tahun 1955.
Kuhn meninggal dunia pada umur 73 tahun di Cambridge, Massachusetts.

II.  4   Paul Feyerabend
Paul Feyerabend lahir pada tanggal 13 Januari 1924 di Wina, Austria. Ia dikenal akan gagasan anarkisme epistemologisnya dan penolakannya terhadap peraturan metodologis yang universal. Ia merupakan tokoh yang berpengaruh dalam filsafat sains dan sosiologi pengetahuan ilmiah. Selama hidupnya, ia pernah tinggal di Inggris, Amerika Serikat, Selandia Baru, Italia, Jerman, dan Swiss.
Karya utamanya adalah Against Method (1975), Science in a Free Society (1978), dan Farewell to Reason (1987).
Feyerabend meninggal pada umur 70 tahun di Genolier, Vaud, Swiss pada tanggal 11 Februari 1994.


II.  5   Richard Rorty
Richard Rorty lahir di New York pada tanggal 4 Oktober 1931. Ia adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat yang terkenal dengan pemikiran filsafatnya maupun karena pemikiran dalam bidang budaya. Pada tahun 1949, ia lulus dari Universitas Chicago, dan tahun 1952 dari Universitas Yale.
Karyanya yang paling terkenal adalah Philosophy and The Mirror of Nature yang diterbitkan pada tahun 1979, buku ini berisi tentang kritik terhadap filsafat analitis yang berkembang pada masanya.
Rorty meninggal dunia pada umur 75 tahun di Palo Alto, California pada tanggal 8 Juni 2007.
BAB III
PEMBAHASAN

III.   1   Anti Positivisme/Postpositivisme
Anti positivisme adalah sudut pandang dalam bidang sosiologi di mana ilmu sosial membutuhkan metode ilmiah yang berbeda dengan metode yang umum digunakan dalam bidang ilmu alam. Tokoh-tokoh dari anti positivisme antara lain Max Weber, Karl. R. Popper, Thomas Kuhn, Feyerabend, dan Richard Rorty. Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak, sebab manusia selalu berubah.
Anti positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Hasil penelitian yang berasal dari manipulasi statistical modelling relatif semakin kontradiktif, parsial dan kurang memberi gambaran yang jelas tentang situasi masyarakat dimana penelitian itu dilakukan. Terjadi pergeseran paradigma dari positivisme ke neopositivisme yang kemudian bermetamorfose menjadi postpositivisme.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.  Seperti halnya realitas dalam klaim positivisme, namun penganut paradigma ini menyatakan bahwa realitas tak pernah bisa dipahami secara utuh, karena keterbatasan kemampuan manusia. Selain itu sifat alam (fisik dan sosial) itu tidak akan pernah ditemukan secara utuh.
Secara epistemologis aliran ini bersifat modified dualism –objectivity, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Sehingga, objektivitas tetap sesuatu yang ideal, tak ada perdebatan tentang perlunya objektivitas dalam suatu penelitian, tetapi hal tersebut hanya bisa didekati. Peneliti sosial tidak akan pernah menghindari efek interaksi antara peneliti dengan obyek yang diteliti. Jadi klaim objektivitas dari penganut pasitivisme adalah suatu kemustahilan.
Secara aksiologis aliran ini bersifat controlled value-free, para penganut paradigma pospositivisme mempercayai bahwa sistem nilai memegang peranan dalam suatu penelitian, tetapi peneliti bisa mengontrolnya. Jadi menolak prinsip aksiologis paradigma positivisme.
Secara metodologis aliran ini bersifat modified experimental-manipulative, Para penganut pospositivisme tetap mengandalkan model-model eksperimen, manipulasi dan mengontrol variabel penelitian, menggunakan metode survey, menyusun hipotesis, seperti halnya klaim positivisme, tetapi mereka juga mengakui metode kualitatif sebagai metode ilmiah yang dapat digunakan dalam mendekati kebenaran ilmiah.
Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya.Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).

III.   2   Kebenaran dan Kenyataan Ilmiah
Mustansyir (2002) menyatakan bahwa postmodernisme pada dasarnya merupakan sebuah gerekan intelektual yang berusaha mencari kesatuan menuju kemajemukan, dengan inti pemikiran: desentralisasi vs sentralisasi, dekonstruksi vs konstruksi, subkultur vs kultur, nihilisme vs hermeneutika, anarki vs hirarki, sekte-sekte vs agama, delegitimasi vs legitimasi.
Dengan karakteristik tersebut, maka corak postmodernisme pemikiran Feyerabend dalam bidang filasafat ilmu terletak pada anarkisme epostemologisme. Pemikiran Feyerabend ini berimplikasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, bahwa dalam pengembangan ilmu pengetahuan alangkah baiknya ilmuan ketika melakukan penelitian membebaskan diri dari metode-metode yang ada, meskipun terbuka kemungkinan menggunakan metode itu, tidak ada metode tunggal, setiap ilmuwan perlu menerapkan pluralitas teori, sistema pemikiran sesuai dengan kecenderungan masing-masing karena setiap orang memiliki pilihan (Feyerabend, dalam Brody, 1989: 105). Ibarat pasar swalayan, pembatasan kreativitas intelektual akan menghilangkan produk unggulan yang dibutuhkan. Siapa pun dapat secara langsung merasakan keberagaman pilihan ini.
Dengan demikian, setiap lingkungan harus menyadari bahwa bidang ilmunya memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh ilmu lain, sehingga tidak perlu terjebak untuk menggunakan metode-metode yang tidak tepat oleh karena ingin mempertahankan mitos “ilmiah”.
Bertolak dari padangan dasar Feyerabend di atas, maka pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaft) misalnya, tidak boleh terjebak pada penggunaan metode ilmu alam (naturwissenschaften) ansich, karena ini hanya akan mendehumanisasikan manusia, mensubordinasikan manusia pada taraf infrahuman (bukan manusia). Gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subjek, bukan objek. Manusia adalah roh, yang tidak dapat diobjektifkan secara sewenang-wenang tanpa menghapuskan kerohaniannya. Manusia adalah makhluk yang bukan hanya masuk dalam kategori “alam”, tetapi juga hidup. Manusia hidup dengan pengalaman-pengalamannya, ide-idenya, nilai-nilainya, imajinasi-imajinasinya, dan harapan-harapannya. Penggunaan metode ilmu-ilmu alam pada gejala alam manusia, akan menghapuskan keunikan, subjektivitas dan kerohanian manusia.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan perlu ditumbuhkan sikap keterbukaan terhadap alternatif metodologis termasuk filsafat yang melandasinya. Artinya, silakan memilih sendiri metode yang dipandang lebih sesuai dengan ilmu yang dikembangkan. Lebih sesuai dalam makna profesional, maka harus didasarkan pada karakteristik objek, filsafatnya, dan atau tujuan yang hendak dicapai dari studi tersebut. Memang tidak dapat disanggah bahwa sering terjadi pemilihan metodologi yang lebih didasarkan pada penguasaan metoodologi seseorang. Kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu keagamaan tidak sepenuhnya salah. Tetapi kuantifikasi pada segala objek studi itu adalah salah. Menggunakan teknik kuantifikasi dalam landasan filsafat positivisme-titik untuk studi keagamaan juga tidak dapat dibenarkan, karena hal ini berarti akan menyederhanakan masalah yang sebenarnya sangat kompleks.





BAB IV
SIMPULAN

Anti positivisme adalah paham yang menentang positivisme. Anti positivisme sender berarti suatu sudut pandang dalam bidang sosiologi di mana ilmu sosial membutuhkan metode ilmiah yang berbeda dengan metode yang umum digunakan dalam bidang ilmu alam. Tokoh-tokoh dari anti positivisme antara lain Max Weber, Karl. R. Popper, Thomas Kuhn, Feyerabend, dan Richard Rorty. Mereka menentang positivisme karena beranggapan bahwa tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak, sebab manusia itu selalu berubah. Sebenarya anti positivisme adalah perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Dalam paradigma antipositivisme, kebenaran dan kenyataan ilmiah memberikan keterbukaan terhadap alternatif metodologis termasuk filsafat yang melandasinya. Artinya, silakan memilih sendiri metode yang dipandang lebih sesuai dengan ilmu yang dikembangkan. Lebih sesuai dalam makna profesional, maka harus didasarkan pada karakteristik objek, filsafatnya, dan atau tujuan yang hendak dicapai dari studi tersebut. Memang tidak dapat disanggah bahwa sering terjadi pemilihan metodologi yang lebih didasarkan pada penguasaan metoodologi seseorang. Kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu keagamaan tidak sepenuhnya salah. Tetapi kuantifikasi pada segala objek studi itu adalah salah. Menggunakan teknik kuantifikasi dalam landasan filsafat positivisme-titik untuk studi keagamaan juga tidak dapat dibenarkan, karena hal ini berarti akan menyederhanakan masalah yang sebenarnya sangat kompleks.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim. https://id.wikipedia.org/ diakses pada 25 April 2015. Online.
Kattsof, Louis. 2004. Pengantar Filasafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Santoso, Listiyono dkk. 2003. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: AR-RUZZ Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar