BAB I
PENDAHULUAN
I.
1 Latar Belakang
Pada
masa positivisme ditegaskan bahwa hanya ada satu metode untuk menemukan suatu
penemuan yang dapat diakui kebenarannya menurut ilmu pengetahuan. Metode
tersebut mengharuskan untuk mengikuti prosedur guna memperoleh pengetahuan
tentang suatu fenomena yang bersih dari unsur-unsur yang bersifat evaluatif.
Fenomena sebagai objek sains secara nominal adalah realitas di alam indrawi.
Menurut kaum positivis, dalam sains tidak perlu orang mempersoalkan isi
kandungan yang substantif, normatif, etis, dan estetis, yang ada pada fenomena
baik yang bersifat objektif maupun subjektuf.
Akibat
persoalan tersebut, para pemikir sosial mempersoalkan bagaimana mungkin
fenomena manusia bisa direduksi secara konseptual. Sehingga, muncullah paham
anti positivisme yang dengan tegas menolak keberadaan positivisme.
Anti
positivisme atau Pospositivisme adalah sudut pandang dalam bidang sosiologi di
mana ilmu sosial membutuhkan metode ilmiah yang berbeda dengan metode yang umum
digunakan dalam bidang ilmu alam.
Anti
positivisme mulai berkembang sejak abad ke-19, dimana positivisme dan
naturalisme mulai dipertanyakan oleh para peneliti seperti Wilhelm Dilthey dan
Heinrich Rickert, yang berpendapat bahwa dunia kemasyarakatan berbeda dengan
dunia fisik alam, dimana masyarakat memiliki aspek yang unik, seperti manka,
simbol, norma, dan nilai-nilai yang kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi
budaya.
Cara
pandang Dilthey dan Rickert ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Max
Weber, yang mengenalkan istilah anti positivisme yang kemudian disebut juga
sebagai sosiologi humanistik. Menurut cara pandang ini, penelitian harus
menggunakan metode dan alat bantu yang khusus, dan menitikberatkan pada
nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. Sehingga, mengakibatkan kontroversi tentang
bagaimana membedakan antara penelitian subjektif dan objektif.
I.
2 Rumusan Masalah
1. Apakah anti
positivisme itu?
2. Bagaimana
kebenaran dan kenyataan ilmiah menurut paradigma anti positivisme?
I.
3 Tujuan
1.
Memahami mengenai anti positivisme.
2.
Memahami tokoh-tokoh dari anti positivisme.
3.
Memahami kebenaran dan kenyataan ilmiah menurut paradigm anti
positivisme.
4.
Memenuhi tugas makalah filsafat ilmiah.
I.
4 Manfaat
1.
Mengetahui mengenai anti positivisme.
2.
Mengetahui tokoh-tokoh dari anti positivisme.
3.
Mengetahui kebenaran dan kenyataan ilmiah menurut paradigm anti
positivisme.
BAB II
BIOGRAFI TOKOH
II.
1 Max Weber
Maximillian Weber atau yang
dikenal dengan Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tanggal 21 April 1864. Ia
adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog asal Jerman yang dianggap
sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern.
Karya utamanya berhubungan dengan
rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meskipun ia juga menulis
di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul
“Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”, yang mewakili penelitiannya tentang
sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama
bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya
yang terkenal lainnya, “Politik sebagai Panggilan”, ia mendefinisikan negara
sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik
secara sah, sebuauh definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu
politik Barat modern.
Max Weber meninggal dunia pada
umur 56 tahun di Munchen, Jerman pada tanggal 14 Juni 1920.
II.
2 Karl R. Popper
Karl R. Popper lahir di Vienna,
Austria pada tanggal 28 Juli 1902. Ia adalah salah satu dari sekian banyak
filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Ia dikenal dengan gagasan
falsifikasi sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Pada tahun 1928,
Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi “Masalah Psikologi dalam
Psikologi Pemikiran”.
Karya-karyanya yang paling
terkenal antara lain The Poverty of
Historicism (1945), The Logic of
Scientific Discovery (1959), Conjectures
and Refutations, The Growt of Scientific Knowledge (1963).
Karl R. Popper meninggal dunia
pada umur 92 tahun di London, Inggris pada tanggal 17 September 1994.
II.
3 Thomas Kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir pada
tanggal 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio. Ayahnya bernama Samuel L. Kuhn
seorang Insinyur insdustri dan ibunya bernama Minette Stroock Kuhn. Ia adalah
seorang filsuf, fisikawan, dan sejarawan Amerika Serikat. Ia merupakan salah
peneliti yang beraliran analitis yang menghasilkan gagasan pergeseran paradigma
dan ketidaksepadanan sains normal. Ia mendapatkan gelar B.S di dalam ilmu
fisika dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. pada tahun 1946.
Karyanya yang paling terkenal
adalah buku The Stucture of Scientific
Revolutions pada tahun 1962 yang sangat berpengaruh pada dunia akademik.
Pada tahun 1964 hingga tahun 1979, ia menjadi profesor filsafat dan sejarah
seni di Princeton. Kemudian di MIT sebagai profesor filsafat hingga tahun 1991.
Kuhn mendapatkan banyak
penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel Lecturer pada tahun 1951, Guggeheim Fellow dari tahun 1954 hingga
tahun 1955.
Kuhn meninggal dunia pada umur 73
tahun di Cambridge, Massachusetts.
II.
4 Paul Feyerabend
Paul Feyerabend lahir pada tanggal
13 Januari 1924 di Wina, Austria. Ia dikenal akan gagasan anarkisme
epistemologisnya dan penolakannya terhadap peraturan metodologis yang
universal. Ia merupakan tokoh yang berpengaruh dalam filsafat sains dan
sosiologi pengetahuan ilmiah. Selama hidupnya, ia pernah tinggal di Inggris,
Amerika Serikat, Selandia Baru, Italia, Jerman, dan Swiss.
Karya utamanya adalah Against Method (1975), Science in a Free Society (1978), dan Farewell to Reason (1987).
Feyerabend meninggal pada umur 70
tahun di Genolier, Vaud, Swiss pada tanggal 11 Februari 1994.
II.
5 Richard Rorty
Richard Rorty lahir di New York
pada tanggal 4 Oktober 1931. Ia adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat yang
terkenal dengan pemikiran filsafatnya maupun karena pemikiran dalam bidang
budaya. Pada tahun 1949, ia lulus dari Universitas Chicago, dan tahun 1952 dari
Universitas Yale.
Karyanya yang paling terkenal
adalah Philosophy and The Mirror of
Nature yang diterbitkan pada tahun 1979, buku ini berisi tentang kritik
terhadap filsafat analitis yang berkembang pada masanya.
Rorty meninggal dunia pada umur 75
tahun di Palo Alto, California pada tanggal 8 Juni 2007.
BAB III
PEMBAHASAN
III.
1 Anti Positivisme/Postpositivisme
Anti
positivisme adalah sudut pandang dalam bidang sosiologi di mana ilmu sosial
membutuhkan metode ilmiah yang berbeda dengan metode yang umum digunakan dalam bidang
ilmu alam. Tokoh-tokoh dari anti positivisme antara lain Max Weber, Karl. R.
Popper, Thomas Kuhn, Feyerabend, dan Richard Rorty. Paham ini menentang
positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia
dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu
penjelasan yang mutlak, sebab manusia selalu berubah.
Anti
positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan,
dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek
yang diteliti. Hasil
penelitian yang berasal dari manipulasi statistical modelling relatif semakin
kontradiktif, parsial dan kurang memberi gambaran yang jelas tentang situasi
masyarakat dimana penelitian itu dilakukan. Terjadi pergeseran paradigma dari
positivisme ke neopositivisme yang kemudian bermetamorfose menjadi
postpositivisme.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical
realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat
dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara
metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi
harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam
metode, sumber data, peneliti dan teori. Seperti
halnya realitas dalam klaim positivisme, namun penganut paradigma ini
menyatakan bahwa realitas tak pernah bisa dipahami secara utuh, karena
keterbatasan kemampuan manusia. Selain itu sifat alam (fisik dan sosial) itu
tidak akan pernah ditemukan secara utuh.
Secara epistemologis aliran ini bersifat modified
dualism –objectivity, hubungan antara pengamat atau
peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan,
seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal
yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di
belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Sehingga, objektivitas tetap sesuatu yang ideal, tak ada
perdebatan tentang perlunya objektivitas dalam suatu penelitian, tetapi hal
tersebut hanya bisa didekati. Peneliti sosial tidak akan pernah menghindari
efek interaksi antara peneliti dengan obyek yang diteliti. Jadi klaim objektivitas
dari penganut pasitivisme adalah suatu kemustahilan.
Secara
aksiologis aliran ini bersifat controlled
value-free, para penganut paradigma pospositivisme mempercayai bahwa sistem
nilai memegang peranan dalam suatu penelitian, tetapi peneliti bisa
mengontrolnya. Jadi menolak prinsip aksiologis paradigma positivisme.
Secara
metodologis aliran ini bersifat modified
experimental-manipulative, Para penganut pospositivisme tetap mengandalkan
model-model eksperimen, manipulasi dan mengontrol variabel penelitian,
menggunakan metode survey, menyusun hipotesis, seperti halnya klaim
positivisme, tetapi mereka juga mengakui metode kualitatif sebagai metode
ilmiah yang dapat digunakan dalam mendekati kebenaran ilmiah.
Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah
paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman
yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu
sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan
berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang
dipelajarinya.Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka
dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan
Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis
realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali
dan Chariri, 2007).
III. 2 Kebenaran
dan Kenyataan Ilmiah
Mustansyir
(2002) menyatakan bahwa postmodernisme pada dasarnya merupakan sebuah gerekan
intelektual yang berusaha mencari kesatuan menuju kemajemukan, dengan inti
pemikiran: desentralisasi vs sentralisasi, dekonstruksi vs konstruksi,
subkultur vs kultur, nihilisme vs hermeneutika, anarki vs hirarki, sekte-sekte
vs agama, delegitimasi vs legitimasi.
Dengan
karakteristik tersebut, maka corak postmodernisme pemikiran Feyerabend dalam
bidang filasafat ilmu terletak pada anarkisme epostemologisme. Pemikiran Feyerabend
ini berimplikasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, bahwa dalam pengembangan
ilmu pengetahuan alangkah baiknya ilmuan ketika melakukan penelitian
membebaskan diri dari metode-metode yang ada, meskipun terbuka kemungkinan
menggunakan metode itu, tidak ada metode tunggal, setiap ilmuwan perlu
menerapkan pluralitas teori, sistema pemikiran sesuai dengan kecenderungan
masing-masing karena setiap orang memiliki pilihan (Feyerabend, dalam Brody,
1989: 105). Ibarat pasar swalayan, pembatasan kreativitas intelektual akan
menghilangkan produk unggulan yang dibutuhkan. Siapa pun dapat secara langsung
merasakan keberagaman pilihan ini.
Dengan
demikian, setiap lingkungan harus menyadari bahwa bidang ilmunya memiliki
kekhususan yang tidak dimiliki oleh ilmu lain, sehingga tidak perlu terjebak
untuk menggunakan metode-metode yang tidak tepat oleh karena ingin
mempertahankan mitos “ilmiah”.
Bertolak
dari padangan dasar Feyerabend di atas, maka pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan
(geisteswissenschaft) misalnya, tidak
boleh terjebak pada penggunaan metode ilmu alam (naturwissenschaften) ansich,
karena ini hanya akan mendehumanisasikan manusia, mensubordinasikan manusia
pada taraf infrahuman (bukan manusia). Gejala manusia adalah unik dengan tidak
berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala
alam yang lain. Manusia adalah subjek, bukan objek. Manusia adalah roh, yang
tidak dapat diobjektifkan secara sewenang-wenang tanpa menghapuskan
kerohaniannya. Manusia adalah makhluk yang bukan hanya masuk dalam kategori
“alam”, tetapi juga hidup. Manusia hidup dengan pengalaman-pengalamannya,
ide-idenya, nilai-nilainya, imajinasi-imajinasinya, dan harapan-harapannya.
Penggunaan metode ilmu-ilmu alam pada gejala alam manusia, akan menghapuskan
keunikan, subjektivitas dan kerohanian manusia.
Dalam
pengembangan ilmu pengetahuan perlu ditumbuhkan sikap keterbukaan terhadap
alternatif metodologis termasuk filsafat yang melandasinya. Artinya, silakan
memilih sendiri metode yang dipandang lebih sesuai dengan ilmu yang
dikembangkan. Lebih sesuai dalam makna profesional, maka harus didasarkan pada
karakteristik objek, filsafatnya, dan atau tujuan yang hendak dicapai dari
studi tersebut. Memang tidak dapat disanggah bahwa sering terjadi pemilihan
metodologi yang lebih didasarkan pada penguasaan metoodologi seseorang.
Kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu keagamaan tidak sepenuhnya salah.
Tetapi kuantifikasi pada segala objek studi itu adalah salah. Menggunakan
teknik kuantifikasi dalam landasan filsafat positivisme-titik untuk studi
keagamaan juga tidak dapat dibenarkan, karena hal ini berarti akan
menyederhanakan masalah yang sebenarnya sangat kompleks.
BAB IV
SIMPULAN
Anti
positivisme adalah paham yang menentang positivisme. Anti positivisme sender
berarti suatu sudut pandang dalam bidang sosiologi di mana ilmu sosial membutuhkan
metode ilmiah yang berbeda dengan metode yang umum digunakan dalam bidang ilmu
alam. Tokoh-tokoh dari anti positivisme antara lain Max Weber, Karl. R. Popper,
Thomas Kuhn, Feyerabend, dan Richard Rorty. Mereka menentang positivisme karena
beranggapan bahwa tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan
yang mutlak, sebab manusia itu selalu berubah. Sebenarya anti positivisme
adalah perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan, dan dianggap
hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Dalam
paradigma antipositivisme, kebenaran dan kenyataan ilmiah memberikan
keterbukaan terhadap alternatif metodologis termasuk filsafat yang
melandasinya. Artinya, silakan memilih sendiri metode yang dipandang lebih
sesuai dengan ilmu yang dikembangkan. Lebih sesuai dalam makna profesional,
maka harus didasarkan pada karakteristik objek, filsafatnya, dan atau tujuan
yang hendak dicapai dari studi tersebut. Memang tidak dapat disanggah bahwa
sering terjadi pemilihan metodologi yang lebih didasarkan pada penguasaan
metoodologi seseorang. Kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu keagamaan
tidak sepenuhnya salah. Tetapi kuantifikasi pada segala objek studi itu adalah
salah. Menggunakan teknik kuantifikasi dalam landasan filsafat
positivisme-titik untuk studi keagamaan juga tidak dapat dibenarkan, karena hal
ini berarti akan menyederhanakan masalah yang sebenarnya sangat kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. https://id.wikipedia.org/
diakses pada 25 April 2015. Online.
Kattsof, Louis. 2004. Pengantar
Filasafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Santoso,
Listiyono dkk. 2003. Epistemologi Kiri.
Yogyakarta: AR-RUZZ Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar